
Duet Maut BI-Pemerintah Bawa Rupiah Jadi Raja di Asia Lagi!
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
16 November 2018 17:51

Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback sebenarnya bergerak cenderung stabil pada perdagangan hari ini. Investor nampaknya belum mau jauh-jauh dari mata uang Negeri Paman Sam.
Hingga pukul 16.00 WIB, indeks ini tercatat terkoreksi tipis 0,01%, namun pada siang hari (12.00 WIB) menguat sebesar 0,07%.
Greenback memang masih mendapatkan kekuatan dari rilis data ekonomi AS yang positif kemarin malam.
Departemen Perdagangan AS mengumumkan bahwa data penjualan ritel AS mampu rebound cukup signifikan sebesar 0,8% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Oktober, dari minus 0,1% pada bulan sebelumnya.
Capaian bulan juga mampu melampaui konsensus Reuters yang mengestimasikan pertumbuhan sebesar 0,5% MtM. Secara tahunan (year-on-year/YoY), penjualan ritel mampu tumbuh sebesar 4,6% di Oktober, mampu lebih kencang dari bulan sebelumnya sebesar 4,2% YoY.
Adapun data penjualan ritel inti (mengeluarkan komponen kendaraan bermotor, BBM, bahan bangunan, dan jasa makanan) juga mampu tumbuh positif 0,3% MtM di Oktober, sama dengan laju pertumbuhan bulan sebelumnya.Sebagai informasi, data ini berkorelasi erat dengan komponen konsumsi rumah tangga di Produk Domestik Bruto (PDB) AS.
Artinya, positifnya data penjualan ritel mampu menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi AS yang kuat di kuartal IV-2018. Pasalnya, konsumsi berkontribusi nyaris 70% bagi perekonomian Negeri Paman Sam.
Hal ini bisa kembali menjadi alasan bagi The Federal Reserve/The Fed untuk mengerek suku bunga acuannya sekali lagi di tahun ini, yakni di Bulan Desember mendatang.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 14 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 basis poin (bps) bulan Desember adalah sebesar 72,3%, peluang yang cukup besar.
Kemudian, perkembangan mengenai perang dagang AS-China cukup mengkhawatirkan. Financial Times sempat menyebut bahwa Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer telah bertemu dengan para pengusaha dan berjanji untuk menunda pengenaan bea masuk baru kepada China untuk sementara.
Namun, kantor Perwakilan Dagang AS kemudian mengeluarkan pernyataan yang menyanggah kabar tersebut.
"Tidak ada kehadiran beliau di hadapan para pengusaha dan menyatakan bahwa pengenaan bea masuk ditunda. Kerangka bea masuk masih sesuai dengan rencana. Laporan yang menyebutkan sebaliknya adalah tidak benar," tegas pernyataan tersebut.
Sebagai informasi, pada September 2018 AS resmi mengenakan bea masuk 10% atas importasi produk asal China senilai US$ 200 miliar. Presiden AS Donald Trump kemudian mengancam akan mengenakan bea masuk baru lainnya yang menyasar importasi produk China senilai US$ 267 miliar.
Kombinasi kedua sentimen di atas lantas membuat dolar AS masih digemari investor. Meski demikian, dolar AS juga tidak mampu menguat banyak-banyak. Pasalnya, pasca terdepresiasi sebesar 1,69% pada perdagangan kemarin, poundsterling mulai menunjukkan tajinya hari ini. Mata uang Negeri Ratu Elizabeth itu menguat 0,38% terhadap dolar AS hingga pukul 15.30 WIB.
Kemarin, pounds tertekan oleh keputusan Dominic Raab, Menteri Urusan Brexit Inggris, memutuskan mundur dari kabinet. Dia menyatakan tidak bisa menerima kesepakatan yang tercapai di level kabinet.
Perkembangan ini membuat situasi Brexit kembali runyam. Apalagi setelah selesai di kabinet, draft kesepakatan Brexit harus dibahas di parlemen. Pengunduran diri Raab bisa menjadi senjata bagi oposisi untuk menjegal.
Artinya, risiko besar bernama No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat apa-apa) kembali mengemuka. Jika ini terjadi, maka akan menjadi kerugian besar bagi pelaku usaha Inggris karena bisa dipersulit untuk masuk ke Eropa Daratan.
Namun demikian, hari ini pounds mampu pulih. Selain faktor technical rebound, pelaku pasar nampaknya masih percaya bahwa ada kesempatan ada referendum lainnya dengan pilihan hard Brexit atau Inggris tetap di Uni Eropa.
Berdasarkan polling dari Sky News kemarin, 55% memilih referendum tambahan, 54% mendukung no deal Brexit, 32% untuk hard Brexit, dan hanya 14% untuk kesepakatan yang diusung PM Inggris Theresa May. Akhirnya, ini jadi kekuatan pounds untuk menguat hari ini.
Memanfaatkan dolar AS yang tertekan oleh pounds, laju rupiah pun semakin tak tertahankan. Akhirnya, rupiah pun menutup akhir pekan ini dengan tersenyum lebar.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/dru)
Hingga pukul 16.00 WIB, indeks ini tercatat terkoreksi tipis 0,01%, namun pada siang hari (12.00 WIB) menguat sebesar 0,07%.
Departemen Perdagangan AS mengumumkan bahwa data penjualan ritel AS mampu rebound cukup signifikan sebesar 0,8% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Oktober, dari minus 0,1% pada bulan sebelumnya.
Capaian bulan juga mampu melampaui konsensus Reuters yang mengestimasikan pertumbuhan sebesar 0,5% MtM. Secara tahunan (year-on-year/YoY), penjualan ritel mampu tumbuh sebesar 4,6% di Oktober, mampu lebih kencang dari bulan sebelumnya sebesar 4,2% YoY.
Adapun data penjualan ritel inti (mengeluarkan komponen kendaraan bermotor, BBM, bahan bangunan, dan jasa makanan) juga mampu tumbuh positif 0,3% MtM di Oktober, sama dengan laju pertumbuhan bulan sebelumnya.Sebagai informasi, data ini berkorelasi erat dengan komponen konsumsi rumah tangga di Produk Domestik Bruto (PDB) AS.
Artinya, positifnya data penjualan ritel mampu menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi AS yang kuat di kuartal IV-2018. Pasalnya, konsumsi berkontribusi nyaris 70% bagi perekonomian Negeri Paman Sam.
Hal ini bisa kembali menjadi alasan bagi The Federal Reserve/The Fed untuk mengerek suku bunga acuannya sekali lagi di tahun ini, yakni di Bulan Desember mendatang.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 14 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 basis poin (bps) bulan Desember adalah sebesar 72,3%, peluang yang cukup besar.
Kemudian, perkembangan mengenai perang dagang AS-China cukup mengkhawatirkan. Financial Times sempat menyebut bahwa Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer telah bertemu dengan para pengusaha dan berjanji untuk menunda pengenaan bea masuk baru kepada China untuk sementara.
Namun, kantor Perwakilan Dagang AS kemudian mengeluarkan pernyataan yang menyanggah kabar tersebut.
"Tidak ada kehadiran beliau di hadapan para pengusaha dan menyatakan bahwa pengenaan bea masuk ditunda. Kerangka bea masuk masih sesuai dengan rencana. Laporan yang menyebutkan sebaliknya adalah tidak benar," tegas pernyataan tersebut.
Sebagai informasi, pada September 2018 AS resmi mengenakan bea masuk 10% atas importasi produk asal China senilai US$ 200 miliar. Presiden AS Donald Trump kemudian mengancam akan mengenakan bea masuk baru lainnya yang menyasar importasi produk China senilai US$ 267 miliar.
Kombinasi kedua sentimen di atas lantas membuat dolar AS masih digemari investor. Meski demikian, dolar AS juga tidak mampu menguat banyak-banyak. Pasalnya, pasca terdepresiasi sebesar 1,69% pada perdagangan kemarin, poundsterling mulai menunjukkan tajinya hari ini. Mata uang Negeri Ratu Elizabeth itu menguat 0,38% terhadap dolar AS hingga pukul 15.30 WIB.
Kemarin, pounds tertekan oleh keputusan Dominic Raab, Menteri Urusan Brexit Inggris, memutuskan mundur dari kabinet. Dia menyatakan tidak bisa menerima kesepakatan yang tercapai di level kabinet.
Perkembangan ini membuat situasi Brexit kembali runyam. Apalagi setelah selesai di kabinet, draft kesepakatan Brexit harus dibahas di parlemen. Pengunduran diri Raab bisa menjadi senjata bagi oposisi untuk menjegal.
Artinya, risiko besar bernama No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat apa-apa) kembali mengemuka. Jika ini terjadi, maka akan menjadi kerugian besar bagi pelaku usaha Inggris karena bisa dipersulit untuk masuk ke Eropa Daratan.
Namun demikian, hari ini pounds mampu pulih. Selain faktor technical rebound, pelaku pasar nampaknya masih percaya bahwa ada kesempatan ada referendum lainnya dengan pilihan hard Brexit atau Inggris tetap di Uni Eropa.
Berdasarkan polling dari Sky News kemarin, 55% memilih referendum tambahan, 54% mendukung no deal Brexit, 32% untuk hard Brexit, dan hanya 14% untuk kesepakatan yang diusung PM Inggris Theresa May. Akhirnya, ini jadi kekuatan pounds untuk menguat hari ini.
Memanfaatkan dolar AS yang tertekan oleh pounds, laju rupiah pun semakin tak tertahankan. Akhirnya, rupiah pun menutup akhir pekan ini dengan tersenyum lebar.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/dru)
Pages
Most Popular