Kekhawatiran Besar Menyelimuti Kenaikan Bunga BI
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
16 November 2018 10:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan Bank Indonesia (BI) mengerek bunga acuan untuk kesekian kalinya dianggap sebagai suatu bentuk kekhawatiran atas perkembangan ekonomi terkini.
Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, bank sentral dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini diproyeksikan bakal kembali mempertahankan bunga acuan di 5,75%.
Namun, Gubernur BI Perry Warjiyo memutuskan untuk kembali mengerek bunga acuan menjadi 6%, sebagai langkah lanjutan memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman.
"BI sepertinya mulai khawatir target defisit transaksi berjalan bisa di bawah 3% dan tahun depan di bawah 2% tidak tercapai [kalau tidak menaikkan bunga]," kata Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia.
"Karena beban besar dari defisit masih banyak akan ditanggung oleh bank sentral daripada pemerintah. Karena pemerintah belum akan menaikkan harga BBM sampai tahun depan," tegasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelum BI merilis hasil RDG mengumumkan bahwa neraca perdagangan Indonesia pada Oktober kembali mengalami defisit yang cukup dalam.
Defisit neraca perdagangan mencapai US$ 1,82 miliar, di mana eskpor hanya tumbuh 3,59% year on year (US$ 15,80 miliar) dan impor melesat hingga 23,66% yoy (US$ 17,62 miliar).
Kekhawatiran BI, tak lepas dari trend impor di akhir tahun yang diperkirakan akan kembali membengkak seiring dengan permintaan terhadap kebutuhan barang impor yang biasanya kencang di akhir tahun.
"Apalagi ada lonjakan impor migas dan non migas. kekhawatirannya itu, kenapa akhirnya [suku bunga] dinaikkan," katanya.
BI memang tak memungkiri, pengetatan likuiditas global membuat aliran modal asing kembali pulang ke negeri Paman Sam. Hal itu, menjadi salah satu masalah yang dihadapi Indonesia saat ini.
Pasalnya, transaksi modal dan finansial yang kerap kali digunakan untuk membiayai defisit transaksi berjalan tidak mampu membendung bengkaknya transaksi berjalan.
Dalam dua kuartal terakhir, posisi defisit transaksi berjalan tembus di atas 3% dari produk domestik bruto (PDB) dengan nominal yang cukup besar hingga US$ 8,8 miliar.
BI pun melihat, kenaikan bunga memang diperlukan untuk memperkuat kembali daya tarik pasar keuangan domestik, meskipun sejauh ini bank sentral sudah mengerek bunga hingga 175 basis poin.
"Kenaikan bunga tersebut juga untuk memperkuat daya tarik pasar keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan," kata Perry Warjiyo.
(roy) Next Article Bunga Acuan Naik 150 Bps, BI Tetap Pro Pertumbuhan Ekonomi?
Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, bank sentral dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini diproyeksikan bakal kembali mempertahankan bunga acuan di 5,75%.
Namun, Gubernur BI Perry Warjiyo memutuskan untuk kembali mengerek bunga acuan menjadi 6%, sebagai langkah lanjutan memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelum BI merilis hasil RDG mengumumkan bahwa neraca perdagangan Indonesia pada Oktober kembali mengalami defisit yang cukup dalam.
Defisit neraca perdagangan mencapai US$ 1,82 miliar, di mana eskpor hanya tumbuh 3,59% year on year (US$ 15,80 miliar) dan impor melesat hingga 23,66% yoy (US$ 17,62 miliar).
Kekhawatiran BI, tak lepas dari trend impor di akhir tahun yang diperkirakan akan kembali membengkak seiring dengan permintaan terhadap kebutuhan barang impor yang biasanya kencang di akhir tahun.
"Apalagi ada lonjakan impor migas dan non migas. kekhawatirannya itu, kenapa akhirnya [suku bunga] dinaikkan," katanya.
BI memang tak memungkiri, pengetatan likuiditas global membuat aliran modal asing kembali pulang ke negeri Paman Sam. Hal itu, menjadi salah satu masalah yang dihadapi Indonesia saat ini.
Pasalnya, transaksi modal dan finansial yang kerap kali digunakan untuk membiayai defisit transaksi berjalan tidak mampu membendung bengkaknya transaksi berjalan.
Dalam dua kuartal terakhir, posisi defisit transaksi berjalan tembus di atas 3% dari produk domestik bruto (PDB) dengan nominal yang cukup besar hingga US$ 8,8 miliar.
BI pun melihat, kenaikan bunga memang diperlukan untuk memperkuat kembali daya tarik pasar keuangan domestik, meskipun sejauh ini bank sentral sudah mengerek bunga hingga 175 basis poin.
"Kenaikan bunga tersebut juga untuk memperkuat daya tarik pasar keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan," kata Perry Warjiyo.
(roy) Next Article Bunga Acuan Naik 150 Bps, BI Tetap Pro Pertumbuhan Ekonomi?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular