Mampukah Pelonggaran DNI Selamatkan CAD Indonesia?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
14 November 2018 21:15
Mampukah Pelonggaran DNI Selamatkan CAD Indonesia?
Foto: Infografis/Provinsi yang Paling Banyak Diguyur Investasi Asing/Arie Pratama
Jakarta, CNBC IndonesiaRevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) akan difinalisasi pada Jumat, 16 Oktober 2018. Hal itu disampaikan Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, usai membahas terkait revisi DNI bersama Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution. Meski demikian, Airlangga mengatakan pembahasan DNI tersebut masih jauh dari kata final.

"Ada banyak, ada manufaktur, ada yang diusahakan untuk UMKM dan yang lain, masih banyak, masih longlist. Ini longlist-nya banyak, jadi masih pembahasan," jelas Airlangga di Gedung Ali Wardhana, Kementrian Perekonomian, Selasa (13/11/2018).

Pemerintah nampaknya menyadari permasalahan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) bukan hanya untuk 'dikendalikan', melainkan juga bagaimana defisit transaksi berjalan bisa 'dibiayai' dengan aliran modal finansial, seperti di tahun-tahun sebelumnya.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso pun mengakui melebarnya CAD menjadi alasan utama pemerintah merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang selama ini memang diakui kurang menarik minat investor (khususnya asing).

Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mengumumkan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada triwulan III-2018 tercatat sebesar US$ 8,85 miliar. Angka ini setara dengan 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Apabila ditelusuri secara historis, CAD kuartal lalu merupakan yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014. Kala itu, CAD mencapai US$ 9,58 miliar, atau sekitar 4,26% dari PDB. 



Lantas, apakah kebijakan pelonggaran DNI dapat menjadi aksi yang tepat di dalam misi penyelamatan CAD? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sebelum membahas lebih jauh, perlu diketahui bahwa pelonggaran DNI akan memperbesar peluang Penanaman Modal Asing (PMA) untuk berinvestasi di Indonesia. Beberapa bidang usaha dibuka untuk memberi kesempatan bagi kepemilikan asing.

Perihal DNI ini diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Aturan ini merevisi Perpres No. 39 Tahun 2014 dengan mengeluarkan 35 bidang usaha dari DNI, beberapa di antaranya seperti industri terkait pariwisata, perfilman, gudang pendingin, industri bahan baku obat, hingga pengusahaan jalan tol.

Beberapa contoh pelonggaran yang diatur dalam Perpres No. 44 Tahun 2016 adalah sebagai berikut:

1.  Industri perfilman termasuk peredaran film dinyatakan dibuka 100% untuk modal asing. Dalam Perpres No. 39/2014, bidang usaha ini hanya dibuka untuk PMDN. Melalui revisi DNI ini, asing diperbolehkan ikut bersaing dalam industri perfilman Indonesia;

2.  Jasa ruang pendingin (cold storage) terbuka 100% bagi modal asing, yang sebelumnya hanya dibuka sebesar 33%. Langkah ini kabarnya diusulkan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) untuk menarik minat investasi asing ke sektor yang dinilai penting untuk mendukung prioritas industri maritim. Dengan membuka bisnis cold storage, pemerintah berharap dapat meningkatkan daya saing sektor perikanan dan hasil laut Indonesia.

3.  Bidang usaha restoran juga turut dibuka untuk 100% modal asing, di mana sebelumnya hanya dibuka sebesar 51%. Selain itu, bidang usaha industri bahan baku obat juga dibuka 100%, dari semula 85%.

Hal itu jelas punya potensi besar untuk mengundang investor asing datang ke tanah air. Para penanam modal diberikan kejelasan tentang pilihan bidang usaha yang ada di Indonesia. Kepastian dan kejelasan adalah teman baik investor, sehingga kita bisa berharap RI bisa menjadi tempat yang nyaman untuk berinvestasi.

Sayangnya, kebijakan DNI sejauh ini belum mampu mengerek performa PMA di dalam negeri. Teranyar, pada kuartal III-2018, nilai PMA “hanya” sebesar Rp 89,1 triliun, menurun 6,9% secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ), atau minus 20% lebih secara tahunan (year-on-year/YoY).



Oleh karena itu, rencana pelonggaran DNI lebih jauh nampaknya menjadi salah satu ikhtiar pemerintah untuk bisa memperbaiki performa PMA yang tak memuaskan.

Semakin deras PMA yang masuk, tentunya akan meningkatkan arus devisa ke dalam negeri. Selain itu, kapasitas produksi industri domestik yang berorientasi ekspor pun akan meningkat. Pada akhirnya, PMA dapat menjadi juru penyelamat CAD yang melebar.

Pertanyaannya, bisakah sesederhana itu?

(BERLANJUT KE HALAMAN 3) Dalam membahas CAD di Indonesia, perlu diketahui bahwa variabel yang berkontribusi paling besar terhadap CAD ternyata datang defisit pendapatan primer.

Pada kuartal III-2018, defisit pendapatan primer mencapai US$ 8,03 miliar, atau menyumbang 90% lebih dari CAD secara keseluruhan. Tingginya angka komponen tersebut, bisa jadi penyebab utama mengapa transaksi berjalan masih sakit hingga saat ini. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?

Sebagai informasi, transaksi pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja dan pendapatan investasi dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya.

Selama ini, penyumbang terbesar defisit pendapatan primer adalah pembayaran hasil keuntungan penanaman modal asing langsung, yang akhirnya kembali ke negara asal.

Giatnya Jokowi mengundang investor asing ini lantas menjadi pedang bermata dua. Memang betul bahwa masuknya FDI akan membawa devisa dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, FDI justru menyedot devisa karena kewajiban pengiriman dividen ke negara asalnya.

Pada kuartal II-2018, Bank Indonesia (BI) mencatat kewajiban dari investasi langsung adalah US$ 3,48 miliar. Biasanya kewajiban ini akan memuncak pada kuartal III.



Oleh karena itu, mendorong penanaman modal dalam negeri (PMDN) untuk menjadi motor pertumbuhan investasi, memiliki urgensi yang lebih besar. Jika investor berada di dalam negeri, maka Indonesia akan menikmati sepenuhnya hasil dari investasi. Capital expenditure (CAPEX)-nya, pembangunan fasilitasnya, penyerapan tenaga kerjanya, pajaknya, dan sebagainya.

Pekerjaan Rumah (PR) sebenarnya bagi pemerintah adalah mengembangkan insentif fiskal maupun non fiskal demi merangsang minat investor domestik. Relaksasi pajak, kemudahan bea masuk, penyederhanaan perizinan, pengadaan lahan, sampai aturan ketenagakerjaan pun perlu disusun dengan lebih baik.

Ketika PMDN memiliki peran yang lebih besar, maka Indonesia akan lebih kuat. Indonesia tidak lagi terlalu tergantung terhadap dinamika eksternal, karena kekuatan domestik yang solid.

Lalu, terlarangkah PMA? Tentu tidak. Untuk negara berkembang seperti RI, PMA dibutuhkan sebagai katalis pertumbuhan ekonomi. Negara butuh asupan investasi multinasional yang besar, sekaligus untuk mengembangkan penjualan internasional.

Sayangnya, apabila melihat tren PMA terbaru, sektor yang paling banyak menerima manfaat justru bukan sektor-sektor yang berorientasi ekspor. Per kuartal III-2018, realisasi PMA paling banyak terjadi di sektor kelistrikan, gas, dan air bersih; transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi; serta perumahan dan pembangunan gedung.



Ketiganya jelas hanya berfokus pada pemenuhan pasokan dalam negeri saja, sehingga tidak ada nilai tambah yang bisa disumbangkan untuk peningkatan kinerja ekspor Indonesia. Ujung-ujungnya PMA malah tidak mampu mendukung perbaikan CAD, khususnya di pos perdagangan barang.

Oleh karena itu, jika memang ingin melonggarkan DNI untuk menarik PMA ke dalam negeri, pemerintah seharusnya berfokus pada sektor-sektor yang tradable. Akhirnya, tidak hanya nominal PMA yang semakin tinggi, tetapi kualitas PMA juga bisa menjadi keniscayaan.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)  
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular