Mampukah Pelonggaran DNI Selamatkan CAD Indonesia?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
14 November 2018 21:15
Sesungguhnya PMA adalah Pedang Bermata Dua
Foto: Biro Setpres RI
Dalam membahas CAD di Indonesia, perlu diketahui bahwa variabel yang berkontribusi paling besar terhadap CAD ternyata datang defisit pendapatan primer.

Pada kuartal III-2018, defisit pendapatan primer mencapai US$ 8,03 miliar, atau menyumbang 90% lebih dari CAD secara keseluruhan. Tingginya angka komponen tersebut, bisa jadi penyebab utama mengapa transaksi berjalan masih sakit hingga saat ini. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?

Sebagai informasi, transaksi pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja dan pendapatan investasi dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya.

Selama ini, penyumbang terbesar defisit pendapatan primer adalah pembayaran hasil keuntungan penanaman modal asing langsung, yang akhirnya kembali ke negara asal.

Giatnya Jokowi mengundang investor asing ini lantas menjadi pedang bermata dua. Memang betul bahwa masuknya FDI akan membawa devisa dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, FDI justru menyedot devisa karena kewajiban pengiriman dividen ke negara asalnya.

Pada kuartal II-2018, Bank Indonesia (BI) mencatat kewajiban dari investasi langsung adalah US$ 3,48 miliar. Biasanya kewajiban ini akan memuncak pada kuartal III.



Oleh karena itu, mendorong penanaman modal dalam negeri (PMDN) untuk menjadi motor pertumbuhan investasi, memiliki urgensi yang lebih besar. Jika investor berada di dalam negeri, maka Indonesia akan menikmati sepenuhnya hasil dari investasi. Capital expenditure (CAPEX)-nya, pembangunan fasilitasnya, penyerapan tenaga kerjanya, pajaknya, dan sebagainya.

Pekerjaan Rumah (PR) sebenarnya bagi pemerintah adalah mengembangkan insentif fiskal maupun non fiskal demi merangsang minat investor domestik. Relaksasi pajak, kemudahan bea masuk, penyederhanaan perizinan, pengadaan lahan, sampai aturan ketenagakerjaan pun perlu disusun dengan lebih baik.

Ketika PMDN memiliki peran yang lebih besar, maka Indonesia akan lebih kuat. Indonesia tidak lagi terlalu tergantung terhadap dinamika eksternal, karena kekuatan domestik yang solid.

Lalu, terlarangkah PMA? Tentu tidak. Untuk negara berkembang seperti RI, PMA dibutuhkan sebagai katalis pertumbuhan ekonomi. Negara butuh asupan investasi multinasional yang besar, sekaligus untuk mengembangkan penjualan internasional.

Sayangnya, apabila melihat tren PMA terbaru, sektor yang paling banyak menerima manfaat justru bukan sektor-sektor yang berorientasi ekspor. Per kuartal III-2018, realisasi PMA paling banyak terjadi di sektor kelistrikan, gas, dan air bersih; transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi; serta perumahan dan pembangunan gedung.



Ketiganya jelas hanya berfokus pada pemenuhan pasokan dalam negeri saja, sehingga tidak ada nilai tambah yang bisa disumbangkan untuk peningkatan kinerja ekspor Indonesia. Ujung-ujungnya PMA malah tidak mampu mendukung perbaikan CAD, khususnya di pos perdagangan barang.

Oleh karena itu, jika memang ingin melonggarkan DNI untuk menarik PMA ke dalam negeri, pemerintah seharusnya berfokus pada sektor-sektor yang tradable. Akhirnya, tidak hanya nominal PMA yang semakin tinggi, tetapi kualitas PMA juga bisa menjadi keniscayaan.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)   (RHG/RHG)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular