
Mengapa CAD RI Begitu Buruk Dibandingkan Negara Asia Lainnya?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
12 November 2018 21:03

Keempat, selain dari investasi langsung, besarnya defisit pendapatan primer juga disumbangkan oleh pembayaran bunga utang obligasi pemerintah, di mana investor asing menguasai nyaris 40% dari Surat Berharga Negara (SBN).
Dengan kata lain, semakin banyak pemerintah menerbitkan surat utang, maka CAD akan semakin buruk pula. Oleh karena itu, idealnya pendanaan yang berbasis domestik perlu ditingkatkan, baik berupa pajak maupun penerbitan obligasi dalam rupiah.
Sayangnya, khusus untuk masalah perpajakan, rasio pajak (tax ratio) justru terus menurun. Data dari nota keuangan per 2017, Tax Ratio hanya sebesar 10,7% atau terendah dalam kepemimpinan Presiden Jokowi.
Tax Ratio atau sering disebut juga dengan rasio pendapatan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan formula untuk mengukur kinerja perpajakan dengan membandingkan antara penerimaan perpajakan dan PDB dalam kurun waktu tertentu.
Semakin rendah Tax Ratio, maka semakin rendah pula kepatuhan wajib pajak dalam negeri. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari berbagai sektor ekonomi juga belum terlalu optimal.
Lantas, seberapa besar Tax Ratio yang bisa dibilang sudah cukup bagus? Berdasarkan data dari Bank Dunia tahun 2016, rata-rata Tax Ratio dunia mencapai 15,06%. Rasio pajak Indonesia hanya mentok di level 10%-11% saat ini, jelas masih jauh di bawah itu.
Tidak usah jauh-jauh membicarakan dunia, di Asia Tenggara saja Tax Ratio Indonesia menjadi yang paling rendah. Mengacu data Bank Dunia, IMF, dan OECD yang diolah oleh Kementerian Keuangan, Tax Ratio di tanah air masih kalah dari Malaysia (14,4%), Filipina (13,67%), Singapura (14,29%), bahkan Kamboja (15,3%).
Apalagi, jika dibandingkan dengan rasio pajak negara-negara maju, RI jelas lebih ketinggalan. Lihat saja rasio pajak AS sebesar 26%, Inggris (30,6%), Jerman (37%), dan negara-negara Skandinavia (di atas 40%).
Baik secara basis pajak (tax base) maupun institusional (regulasi dan kebijakan), masih ada ruang yang perlu diperbaiki. Jika tidak, pemerintah dipaksa terus menerus menerbitkan surat utang (yang saat ini masih banyak dipegang asing) untuk menutup defisit kas keuangan negara. Ujung-ujungnya, CAD lah yang harus menanggung bebannya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/dru)
Dengan kata lain, semakin banyak pemerintah menerbitkan surat utang, maka CAD akan semakin buruk pula. Oleh karena itu, idealnya pendanaan yang berbasis domestik perlu ditingkatkan, baik berupa pajak maupun penerbitan obligasi dalam rupiah.
Sayangnya, khusus untuk masalah perpajakan, rasio pajak (tax ratio) justru terus menurun. Data dari nota keuangan per 2017, Tax Ratio hanya sebesar 10,7% atau terendah dalam kepemimpinan Presiden Jokowi.
Tax Ratio atau sering disebut juga dengan rasio pendapatan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan formula untuk mengukur kinerja perpajakan dengan membandingkan antara penerimaan perpajakan dan PDB dalam kurun waktu tertentu.
Semakin rendah Tax Ratio, maka semakin rendah pula kepatuhan wajib pajak dalam negeri. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari berbagai sektor ekonomi juga belum terlalu optimal.
Lantas, seberapa besar Tax Ratio yang bisa dibilang sudah cukup bagus? Berdasarkan data dari Bank Dunia tahun 2016, rata-rata Tax Ratio dunia mencapai 15,06%. Rasio pajak Indonesia hanya mentok di level 10%-11% saat ini, jelas masih jauh di bawah itu.
Tidak usah jauh-jauh membicarakan dunia, di Asia Tenggara saja Tax Ratio Indonesia menjadi yang paling rendah. Mengacu data Bank Dunia, IMF, dan OECD yang diolah oleh Kementerian Keuangan, Tax Ratio di tanah air masih kalah dari Malaysia (14,4%), Filipina (13,67%), Singapura (14,29%), bahkan Kamboja (15,3%).
Apalagi, jika dibandingkan dengan rasio pajak negara-negara maju, RI jelas lebih ketinggalan. Lihat saja rasio pajak AS sebesar 26%, Inggris (30,6%), Jerman (37%), dan negara-negara Skandinavia (di atas 40%).
Baik secara basis pajak (tax base) maupun institusional (regulasi dan kebijakan), masih ada ruang yang perlu diperbaiki. Jika tidak, pemerintah dipaksa terus menerus menerbitkan surat utang (yang saat ini masih banyak dipegang asing) untuk menutup defisit kas keuangan negara. Ujung-ujungnya, CAD lah yang harus menanggung bebannya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular