Mengapa CAD RI Begitu Buruk Dibandingkan Negara Asia Lainnya?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
12 November 2018 21:03
Pedang Bermata Dua Bernama PMA
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Ketiga, selain neraca perdagangan barang, kita juga harus memperhatikan transaksi pendapatan primer. Untuk kasus Indonesia, variabel yang berkontribusi paling besar terhadap CAD ternyata datang dari pos ini.

Pada kuartal III-2018, defisit pendapatan primer mencapai US$ 8,03 miliar, atau menyumbang 90% lebih dari CAD secara keseluruhan. Tingginya angka komponen tersebut, bisa jadi penyebab utama mengapa transaksi berjalan masih sakit hingga saat ini. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?

Sebagai informasi, transaksi pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja dan pendapatan investasi dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya.

Selama ini, penyumbang terbesar defisit pendapatan primer adalah pembayaran hasil keuntungan penanaman modal asing langsung, yang akhirnya kembali ke negara asal.

Presiden Joko Widodo memang terkenal sebagai salah satu kepala negara yang paling rajin mengundang penanaman modal asing (PMA) ke Indonesia. Dalam masa kepemimpinannya, nominal PMA pun terus tumbuh dengan cepat. Pada tahun 2017, PMA mencapai Rp 436,78 triliun, naik 40% lebih dari akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).



Baru memasuki tahun 2018, FDI agak melambat. Terbaru, pada kuartal III-2018, nilai FDI “hanya” sebesar Rp 89,1 triliun, menurun 6,9% secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ), atau minus 20% lebih secara YoY.

Meski menurun jumlah sebesar itu masih mengungguli negara-negara peer country di Asia Tenggara. Apabila dikonversi ke dolar AS menggunakan kurs saat ini, nilai FDI RI di kuartal III-2018 berada di kisaran US$ 6,01 miliar.

Nilai itu jauh mengungguli realisasi FDI kuartal lalu di Filipina (US$ 0,75 miliar), Vietnam (US$ 2,32 miliar), dan Thailand (US$ 2,79 miliar). Realisasi FDI di Malaysia di kuartal II-2018 juga “hanya” mencapai US$ 0,68 miliar.



Giatnya Jokowi mengundang investor asing ini lantas menjadi pedang bermata dua. Memang betul bahwa masuknya FDI akan membawa devisa dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun dalam jangka panjang, FDI justru menyedot devisa karena kewajiban pengiriman dividen ke negara asalnya.

Pada kuartal II-2018, Bank Indonesia (BI) mencatat kewajiban dari investasi langsung adalah US$ 3,48 miliar. Biasanya kewajiban ini akan memuncak pada kuartal III.



Oleh karena itu, mendorong penanaman modal dalam negeri (PMDN) untuk menjadi katalis pertumbuhan investasi adalah sebuah kewajiban. Jika investor berada di dalam negeri, maka Indonesia akan menikmati sepenuhnya hasil dari investasi. Capital expenditure (CAPEX)-nya, pembangunan fasilitasnya, penyerapan tenaga kerjanya, pajaknya, dan sebagainya.

Investor domestik juga relatif tidak terlalu memusingkan soal pelemahan kurs, khususnya bagi industri yang berorientasi ekspor. Ketika industri manufaktur sudah berkembang, ekspor justru lebih kompetitif kala nilai tukar melemah.

Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintah adalah mengembangkan insentif fiskal maupun non fiskal demi merangsang minat investor domestik. Relaksasi pajak, kemudahan bea masuk, penyederhanaan perizinan, pengadaan lahan, sampai aturan ketenagakerjaan pun perlu disusun dengan lebih baik.

Dan jangan lupa, bahwa segala program yang dicanangkan harus bisa diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Seringkali, cita-cita besar pemerintah pusat harus mentok karena pemerintah daerah belum paham sepenuhnya atau bahkan sengaja menghambat proses investasi yang ada.

Ketika PMDN memiliki peran yang lebih besar, maka Indonesia akan lebih kuat. Indonesia tidak lagi terlalu tergantung terhadap dinamika eksternal, karena kekuatan domestik yang solid.

(BERLANJUT KE HALAMAN 4) (RHG/dru)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular