Mengapa CAD RI Begitu Buruk Dibandingkan Negara Asia Lainnya?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
12 November 2018 21:03
Mengapa CAD RI Begitu Buruk Dibandingkan Negara Asia Lainnya?
Foto: strait times
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mengumumkan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada triwulan III-2018 tercatat sebesar US$ 8,85 miliar. Angka ini setara dengan 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Apabila ditelusuri secara historis, CAD kuartal lalu merupakan yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014. Kala itu, CAD mencapai US$ 9,58 miliar, atau sekitar 4,26% dari PDB.



Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, CAD RI menjadi salah satu yang terburuk apabila dibandingkan dengan negara-negara sesama (peer country) di Asia. Sebut saja transaksi berjalan Thailand dan Vietnam yang masih mencatatkan surplus masing-masing sebesar US$ 4,21 miliar dan US$ 1,24 miliar, pada kuartal III-2018.

Negara tetangga lainnya, yakni Malaysia, juga masih mencatatkan surplus transaksi berjalan sebesar US$ 0,93 miliar pada kuartal II-2108. Sedangkan, Filipina memang mencatatkan defisit di periode yang sama, akan tetapi nilainya masih lebih baik daripada Indonesia, yakni sebesar US$ 2,93 miliar.

CAD RI hanya lebih baik dibandingkan dengan India. Sebagai informasi, Negeri Bollywood membukukan CAD sebesar US$ 15,81 miliar pada kuartal III-2018.



Lantas, mengapa bisa demikian? Mengapa RI harus menjadi salah satu negara dengan CAD terburuk di Benua Kuning? Setidaknya ada beberapa alasan struktural yang menjadi penyebabnya.

Pertama, struktur industri yang masih rapuh, malah cenderung mengidap deindustrialisasi. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi industri pengolahan yang semakin menurun dalam pembentukan PDB di Indonesia.

Sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2008, kontribusi sektor ini masih sebesar 27,81%. Bahkan, pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.



Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal III-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,84%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,01%.

Lantas, apa hubungannya deindustrialisasi dengan jebolnya CAD? Perlu diketahui bahwa melebarnya CAD salah satunya disebabkan oleh loyonya neraca perdagangan barang. Berdasarkan data BI, neraca perdagangan berbalik arah menjadi defisit sebesar US$ 398 juta pada kuartal III-2018, pasca selalu mencatatkan surplus sejak kuartal III-2014.

Biang kerok memburuknya neraca perdagangan barang tidak lepas dari defisit perdagangan migas yang melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal II-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar.

Di sisi lain, neraca perdagangan non-migas memang mencatatkan surplus ke angka US$ 3,43 miliar di kuartal III-2018, namun nilainya turun cukup dalam dibandingkan US$ 6,32 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Impor non-migas di sepanjang kuartal III-2018 tercatat naik sebesar 20,04% secara tahunan (year-on-year/YoY). Peningkatan itu jauh lebih kencang dibandingkan kenaikan ekspor non-migas yang hanya sebesar 9,32% YoY. Wajar jika akhirnya surplus perdagangan non-migas mengerucut.

Peningkatan impor non-migas disumbang oleh melambungnya impor bahan baku dan barang modal, masing-masing sebesar 17,2% YoY dan 22,7% YoY (secara nominal).

Di sinilah deindustrialisasi memakan "korban". Barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam.

Tidak hanya dipandang dari segi penyediaan bahan baku dan barang modal, lemahnya industri juga berkontribusi bagi rendahnya nilai tambah produk ekspor Indonesia. Selama ini, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Alhasil, saat harga komoditas ekspor unggulan anjlok, ekspor RI pun ikut amblas.

Hal ini juga terjadi saat ini. Terbatasnya pertumbuhan ekspor non-migas utamanya disebabkan penurunan ekspor komoditas minyak nabati di kuartal III-2018, yakni sebesar -14,3% YoY. Padahal, komoditas ini menyumbang nyaris 11% dari total ekspor Indonesia.



Hal ini nampaknya tidak lepas dari turunnya harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di kuartal lalu. Mengutip Refinitiv, harga CPO kontrak acuan di Bursa Malaysia memang anjlok 6,53% di periode Juli-September 2018.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Kedua, saat dari sisi perdagangan seret, pemerintah perlu mencari cara lain untuk menambal kekurangan pasokan devisa dari perdagangan. Pertanyaannya dari sektor mana? Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita tengok siapa saja penyumbang terbesar devisa RI.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Pariwisata (Kemenpar), pada tahun 2016 terdapat tiga sektor utama yang menyumbangkan devisa ke dalam negeri. Sektor-sektor tersebut adalah CPO, Pariwisata, dan Minyak dan Gas (migas).

Uniknya, dari ketiga sektor utama tersebut, hanya pariwisata saja yang mampu mencatatkan pertumbuhan positif dalam setahun terakhir. Pada tahun 2016, sektor pariwisata diperkirakan menyumbang devisa negara sebesar US$13,57 miliar, atau naik 11,05% dari capaian tahun 2015.

Bandingkan dengan sumbangan devisa dari CPO dan Migas yang menurun masing-masing sebesar -2,86% dan 29,46% di periode yang sama. Bahkan, tak tanggung-tanggung, sektor pariwisata diproyeksikan menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia pada tahun 2020.



Memang, seperti dijelaskan pada halaman 1, industrialisasi harus menjadi motor utama dalam menggenjot devisa nasional. Namun, harus diakui bahwa memajukan industri memerlukan waktu yang tidak sedikit.

Katakan saja, menggenjot investasi di sektor industri pengolahan saat ini, mungkin hasilnya baru terasa 3-5 tahun ke depan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan rupiah di jangka pendek, sektor pariwisata yang bisa menjadi harapan.

Pertanyaannya, sudah sejauh apa perkembangan pariwisata di Indonesia? Bisa dibilang cukup positif. Jumlah kunjungan wisatawan asing terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, jumlah kunjungan wisatawan asing meningkat 21,87% YoY ke angka 14,04 juta kunjungan.

Kemudian, pada periode Jan-September 2018, jumlah kunjungan wisatawan asing mencapai 11,93 juta kunjungan, juga masih naik sebesar 11,81% YoY. Hal ini lantas menjelaskan pertumbuhan devisa dari sektor pariwisata yang terus positif, dibandingkan dengan sektor CPO dan Migas yang justru melambat.



Tidak hanya dari data di atas, pemerintah pun sebenarnya sudah merencanakan perkembangan sektor ini dengan apik.

Pemerintah merencanakan penciptaan "10 Bali Baru" yang terdiri dari Tanjung Kelayang, Borobudur, Labuan Bajo, Danau Toba, Tanjung Lesung, Bromo Tengger Semeru (BTS), Wakatobi, Kepulauan Seribu, Mandalika, dan Morotai.

Kesepuluh destinasi baru ini dituangkan dalam 10 destinasi wisata prioritas di dalam rencana kerja pemerintah. Khusus untuk Mandalika, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, dan Morotai bahkan ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata.

Lalu, bisa berpuas dirikah Indonesia? Jawabannya tidak. Pasalnya, capaian Indonesia masih di bawah negara tetangga Thailand. Negara yang luasnya hanya sekitar seperempat dari luas Indonesia. Hal itu juga diakui Deputi Gubernur Senior BI.

"Kita kan sekarang turis cuma 14 juta tahun lalu, Thailand 30 juta. Oleh karena itu, pemerintah sudah benar dorong pariwisata, dengan pengeluaran satu orang US$1.000," kata Mirza di kantornya, Jumat (27/7/2018).

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai bahwa pengembangan sektor pariwisata Indonesia bisa mencontoh apa yang dilakukan pemerintah Thailand. Sektor pariwisata di negara tersebut, bahkan mampu membiayai transaksi berjalan.

"Thailand itu hanya mengandalkan pariwisata saja, current account bisa surplus. Karakter kita memang sama seperti India dan Filipina, tapi Thailand bisa jadi contoh," kata Josua kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/7/2018).

Mengutip data dari World Travel and Tourism Council, sektor pariwisata Negeri Gajah Putih menyumbang 3,23 triliun Baht (sekitar Rp 1.400 triliun) bagi aktivitas ekonomi negara pada tahun 2017. Jumlah itu setara dengan 21,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Thailand.

Sementara, mengutip sumber yang sama, sektor pariwisata Indonesia hanya menyumbang Rp787,1 triliun pada tahun 2017, atau hanya sekitar 5,8% dari PDB Indonesia. Jumlah itu hanya sekitar setengahnya dari Thailand.

Kesenjangan pariwisata Thailand dan Indonesia juga hanya terlihat dari jumlah Visitor Export. Sebagai informasi, indikator ini mengukur pengeluaran turis asing untuk keperluan wisata dan bisnis di suatu negara. Ukuran ini juga mencakup pengeluaran untuk transportasi.

Tercatat, Thailand menghasilkan visitor export sebesar 2,03 triliun Baht (Rp 880,6 triliun) pada tahun 2017, empat kali lipat lebih besar dari capaian Indonesia yang hanya Rp 192,61 triliun di periode yang sama.



Oleh karena itu, terlepas dari perkembangan sektor pariwisata yang ada, sebenarnya Pekerjaan Rumah (PR) Indonesia masih cukup banyak.

Dengan 17.000 pulau yang dimiliki, lautan yang terhampar luas, keanekaragaman hayati yang melimpah, dan nyaris 100.000 kilometer garis pantai yang dimiliki, Indonesia sebenarnya punya potensi untuk menyalip Thailand.

Kuncinya ada di investasi. Jika memang ingin mengungguli negara tetangga, investasi ke sektor pariwisata harus digenjot. Tidak hanya secara jumlah, investasi juga harus merata secara lokasi. Kemudian, tidak hanya untuk pembangunan hotel atau restoran, investasi di transportasi hingga infrastruktur di sekitar lokasi pariwisata juga perlu digalakkan.

Jika memang semua berjalan lancar, bukan tidak mungkin sektor pariwisata mampu menjadi "mesin baru" pertumbuhan ekonomi, dan juga mampu menjadi penyelamat CAD RI.

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

Ketiga, selain neraca perdagangan barang, kita juga harus memperhatikan transaksi pendapatan primer. Untuk kasus Indonesia, variabel yang berkontribusi paling besar terhadap CAD ternyata datang dari pos ini.

Pada kuartal III-2018, defisit pendapatan primer mencapai US$ 8,03 miliar, atau menyumbang 90% lebih dari CAD secara keseluruhan. Tingginya angka komponen tersebut, bisa jadi penyebab utama mengapa transaksi berjalan masih sakit hingga saat ini. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?

Sebagai informasi, transaksi pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja dan pendapatan investasi dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya.

Selama ini, penyumbang terbesar defisit pendapatan primer adalah pembayaran hasil keuntungan penanaman modal asing langsung, yang akhirnya kembali ke negara asal.

Presiden Joko Widodo memang terkenal sebagai salah satu kepala negara yang paling rajin mengundang penanaman modal asing (PMA) ke Indonesia. Dalam masa kepemimpinannya, nominal PMA pun terus tumbuh dengan cepat. Pada tahun 2017, PMA mencapai Rp 436,78 triliun, naik 40% lebih dari akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).



Baru memasuki tahun 2018, FDI agak melambat. Terbaru, pada kuartal III-2018, nilai FDI “hanya” sebesar Rp 89,1 triliun, menurun 6,9% secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ), atau minus 20% lebih secara YoY.

Meski menurun jumlah sebesar itu masih mengungguli negara-negara peer country di Asia Tenggara. Apabila dikonversi ke dolar AS menggunakan kurs saat ini, nilai FDI RI di kuartal III-2018 berada di kisaran US$ 6,01 miliar.

Nilai itu jauh mengungguli realisasi FDI kuartal lalu di Filipina (US$ 0,75 miliar), Vietnam (US$ 2,32 miliar), dan Thailand (US$ 2,79 miliar). Realisasi FDI di Malaysia di kuartal II-2018 juga “hanya” mencapai US$ 0,68 miliar.



Giatnya Jokowi mengundang investor asing ini lantas menjadi pedang bermata dua. Memang betul bahwa masuknya FDI akan membawa devisa dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun dalam jangka panjang, FDI justru menyedot devisa karena kewajiban pengiriman dividen ke negara asalnya.

Pada kuartal II-2018, Bank Indonesia (BI) mencatat kewajiban dari investasi langsung adalah US$ 3,48 miliar. Biasanya kewajiban ini akan memuncak pada kuartal III.



Oleh karena itu, mendorong penanaman modal dalam negeri (PMDN) untuk menjadi katalis pertumbuhan investasi adalah sebuah kewajiban. Jika investor berada di dalam negeri, maka Indonesia akan menikmati sepenuhnya hasil dari investasi. Capital expenditure (CAPEX)-nya, pembangunan fasilitasnya, penyerapan tenaga kerjanya, pajaknya, dan sebagainya.

Investor domestik juga relatif tidak terlalu memusingkan soal pelemahan kurs, khususnya bagi industri yang berorientasi ekspor. Ketika industri manufaktur sudah berkembang, ekspor justru lebih kompetitif kala nilai tukar melemah.

Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintah adalah mengembangkan insentif fiskal maupun non fiskal demi merangsang minat investor domestik. Relaksasi pajak, kemudahan bea masuk, penyederhanaan perizinan, pengadaan lahan, sampai aturan ketenagakerjaan pun perlu disusun dengan lebih baik.

Dan jangan lupa, bahwa segala program yang dicanangkan harus bisa diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Seringkali, cita-cita besar pemerintah pusat harus mentok karena pemerintah daerah belum paham sepenuhnya atau bahkan sengaja menghambat proses investasi yang ada.

Ketika PMDN memiliki peran yang lebih besar, maka Indonesia akan lebih kuat. Indonesia tidak lagi terlalu tergantung terhadap dinamika eksternal, karena kekuatan domestik yang solid.

(BERLANJUT KE HALAMAN 4) Keempat, selain dari investasi langsung, besarnya defisit pendapatan primer juga disumbangkan oleh pembayaran bunga utang obligasi pemerintah, di mana investor asing menguasai nyaris 40% dari Surat Berharga Negara (SBN).

Dengan kata lain, semakin banyak pemerintah menerbitkan surat utang, maka CAD akan semakin buruk pula. Oleh karena itu, idealnya pendanaan yang berbasis domestik perlu ditingkatkan, baik berupa pajak maupun penerbitan obligasi dalam rupiah.

Sayangnya, khusus untuk masalah perpajakan, rasio pajak (tax ratio) justru terus menurun. Data dari nota keuangan per 2017, Tax Ratio hanya sebesar 10,7% atau terendah dalam kepemimpinan Presiden Jokowi.



Tax Ratio atau sering disebut juga dengan rasio pendapatan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan formula untuk mengukur kinerja perpajakan dengan membandingkan antara penerimaan perpajakan dan PDB dalam kurun waktu tertentu.

Semakin rendah Tax Ratio, maka semakin rendah pula kepatuhan wajib pajak dalam negeri. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari berbagai sektor ekonomi juga belum terlalu optimal.

Lantas, seberapa besar Tax Ratio yang bisa dibilang sudah cukup bagus? Berdasarkan data dari Bank Dunia tahun 2016, rata-rata Tax Ratio dunia mencapai 15,06%. Rasio pajak Indonesia hanya mentok di level 10%-11%  saat ini, jelas masih jauh di bawah itu.

Tidak usah jauh-jauh membicarakan dunia, di Asia Tenggara saja Tax Ratio Indonesia menjadi yang paling rendah. Mengacu data Bank Dunia, IMF, dan OECD yang diolah oleh Kementerian Keuangan, Tax Ratio di tanah air masih kalah dari Malaysia (14,4%), Filipina (13,67%), Singapura (14,29%), bahkan Kamboja (15,3%).

Apalagi, jika dibandingkan dengan rasio pajak negara-negara maju, RI jelas lebih ketinggalan. Lihat saja rasio pajak AS sebesar 26%, Inggris (30,6%), Jerman (37%), dan negara-negara Skandinavia (di atas 40%).

Baik secara basis pajak (tax base) maupun institusional (regulasi dan kebijakan), masih ada ruang yang perlu diperbaiki. Jika tidak, pemerintah dipaksa terus menerus menerbitkan surat utang (yang saat ini masih banyak dipegang asing) untuk menutup defisit kas keuangan negara. Ujung-ujungnya, CAD lah yang harus menanggung bebannya.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)  



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular