
Belum Ada Kabar Baik, IHSG Dibuka Melemah 0,14%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 November 2018 09:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah 0,14% untuk mengawali minggu ini ke level 5.865,74. Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang sebelumnya juga dibuka di zona merah: indeks Nikkei turun 0,58%, indeks Shanghai turun 0,22%, indeks Hang Seng turun 0,1%, indeks Strait Times turun 0,57%, dan indeks Kospi turun 0,97%.
Dari sisi eksternal, kabar buruk dari IHSG datang dari dilangsungkannya dialog tingkat tinggi antara AS dengan China terkait diplomasi dan pertahanan di Washington menjelang akhir pekan lalu.
Delegasi AS dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dan Menteri Pertahanan Jim Mattis, sementara delegasi China dipimpin oleh anggota politburo Yang Jiechi dan Menteri Pertahanan Wei Fenghe.
Namun, pertemuan yang sempat tertunda ini gagal untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan diplomasi dan pertahanan yang selama ini menghinggapi hubungan kedua negara, seperti dikutip dari South China Morning Post.
Dalam pertemuan ini, Pompeo dan Mattis mengingatkan adanya kekhawtiran mengenai upaya-upaya China untuk memiliki pengaruh di perbatasan-perbatasannya. Keduanya juga mengungkapkan kekhawatiran terkait kepatuhan China dalam memenuhi kewajiban internasional serta komitmen dalam hal hak asasi manusia dan kebebasan beragama di Xinjiang Uygur, sebuah wilayah otonom di Barat Laut China.
Perselisihan kedua negara juga nampak jelas dalam konferensi pers terkait dengan permasalahaan Laut China Selatan, dimana AS dan China menyuarakan pandangan yang berbeda terkait freedom of navigation and militarisation.
Dengan pertemuan diplomasi dan pertahanan yang tak membuahkan hasil positif, pelaku pasar pun menganggapi skeptis rencana pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir bulan ini di sela-sela KTT G-20 di Buenos Aires, Argentina. Dalam pertemuan ini, kedua pimpinan negara akan membahas isu-isu perdagangan.
Di sisi lain, the Federal Reserve nampak belum akan mundur dari rencana normalisasi pada bulan Desember. Hal ini terungkap dari hasil pertemuan yang diumumkan pada hari Kamis waktu setempat (8/11/2018).
"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan FOMC.
Dari dalam negeri, tekanan datang dari rilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal-III 2018. Pada hari Jumat (9/11/2018) pasca perdagangan di bursa saham ditutup, Bank Indonesia (BI) mengumumkan NPI kuartal III-2018 mengalami defisit sebesar US$ 4,39 miliar, lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yang juga sebesar US$ 4,31 miliar. Pencapaian kuartal III-2018 merupakan yang terparah sejak kuartal III-2015.
Pos transaksi berjalan (current account) membukukan defisit senilai US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014.
Pos transaksi berjalan sangatlah penting bagi pelaku pasar modal, bahkan bisa dibilang lebih penting dari NPI itu sendiri. Pasalnya, pos transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa yang lebih mampu menopang nilai tukar rupiah dalam jangka panjang karena tidak mudah berubah seperti arus modal portofolio.
Seiring dengan dalamnya defisit neraca pembayaran dan transaksi berjalan, rupiah melemah sebesar 0,34% di pasar spot ke level Rp 14.730/dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Dibuka Naik Tipis, IHSG Langsung Putar Balik ke Zona Merah
Dari sisi eksternal, kabar buruk dari IHSG datang dari dilangsungkannya dialog tingkat tinggi antara AS dengan China terkait diplomasi dan pertahanan di Washington menjelang akhir pekan lalu.
Delegasi AS dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dan Menteri Pertahanan Jim Mattis, sementara delegasi China dipimpin oleh anggota politburo Yang Jiechi dan Menteri Pertahanan Wei Fenghe.
Namun, pertemuan yang sempat tertunda ini gagal untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan diplomasi dan pertahanan yang selama ini menghinggapi hubungan kedua negara, seperti dikutip dari South China Morning Post.
Perselisihan kedua negara juga nampak jelas dalam konferensi pers terkait dengan permasalahaan Laut China Selatan, dimana AS dan China menyuarakan pandangan yang berbeda terkait freedom of navigation and militarisation.
Dengan pertemuan diplomasi dan pertahanan yang tak membuahkan hasil positif, pelaku pasar pun menganggapi skeptis rencana pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir bulan ini di sela-sela KTT G-20 di Buenos Aires, Argentina. Dalam pertemuan ini, kedua pimpinan negara akan membahas isu-isu perdagangan.
Di sisi lain, the Federal Reserve nampak belum akan mundur dari rencana normalisasi pada bulan Desember. Hal ini terungkap dari hasil pertemuan yang diumumkan pada hari Kamis waktu setempat (8/11/2018).
"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan FOMC.
Dari dalam negeri, tekanan datang dari rilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal-III 2018. Pada hari Jumat (9/11/2018) pasca perdagangan di bursa saham ditutup, Bank Indonesia (BI) mengumumkan NPI kuartal III-2018 mengalami defisit sebesar US$ 4,39 miliar, lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yang juga sebesar US$ 4,31 miliar. Pencapaian kuartal III-2018 merupakan yang terparah sejak kuartal III-2015.
Pos transaksi berjalan (current account) membukukan defisit senilai US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014.
Pos transaksi berjalan sangatlah penting bagi pelaku pasar modal, bahkan bisa dibilang lebih penting dari NPI itu sendiri. Pasalnya, pos transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa yang lebih mampu menopang nilai tukar rupiah dalam jangka panjang karena tidak mudah berubah seperti arus modal portofolio.
Seiring dengan dalamnya defisit neraca pembayaran dan transaksi berjalan, rupiah melemah sebesar 0,34% di pasar spot ke level Rp 14.730/dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Dibuka Naik Tipis, IHSG Langsung Putar Balik ke Zona Merah
Most Popular