
Cermati 5 Sentimen Penggerak Bursa Saham ini Pekan Depan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
11 November 2018 20:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,54% secara point-to-point ke level 5.874,15. Pergerakan IHSG searah dengan bursa saham utama Benua Asia yang juga terperosok ke zona merah.
Untuk pekan ini, pergerakan IHSG akan dipengaruhi berbagai sentimen, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk 5 hari ke depan. Apa saja sentimen tersebut? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.
Sentimen pertama datang dari dalam negeri, yakni rilis neraca perdagangan periode Oktober 2018 pada 15 November 2018. Pada bulan sebelumnya, RI berhasil membukukan surplus perdagangan sebesar US$ 230 juta.
Perlu disimak bagaimana kinerja perdagangan di bulan lalu, mengingat ada beberapa kondisi yang bisa memengaruhinya. Dari sisi impor, beban importasi RI bisa lumayan ringan, mengingat harga minyak mentah dunia anjlok cukup dalam di sepanjang Oktober 2018.
Harga minyak jenis brent turun 8,76%, sementara harga minyak light sweet anjlok lebih dalam lagi yakni sebesar 10,84%. Harga sang emas hitam banyak dipengaruhi peningkatan pasokan di pasar. Kala itu, Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Indonesia (OPEC) kompak memberikan sinyal mereka siap membanjiri pasokan pasar minyak dunia.
Sebagai informasi, defisit perdagangan migas selalu menjadi biang kerok "hancurnya" defisit neraca perdagangan RI pada tahun ini. Defisit neraca perdagangan migas mencapai US$ 9,37 miliar pada periode Januari-September 2018, jauh lebih besar dari defisit perdagangan secara total sebesar US$ 3,81 miliar.
Dengan harga minyak mentah dunia yang turun, dipastikan defisit perdagangan migas yang begitu masif dapat diminimalisasi. Meski demikian, perlu diingat sepanjang Oktober nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga 2,01% terhadap dolar AS di pasar spot.
Nilai US$ 1 bahkan sempat dibanderol hingga Rp 15.230 pada penutupan perdagangan 11 Oktober 2018, nyaris saja menyentuh level terlemah di sepanjang sejarah RI. Rupiah yang loyo jelas akan menambah biaya importasi yang dilakukan.
Kemudian, dari sisi ekspor, perlu diwaspadai pelemahan harga-harga komoditas. Sepanjang Oktober, hampir semua komoditas (baik tambang maupun agrikultur) unggulan tanah air berguguran.
Dua harga komoditas ekspor utama, yakni minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara terkoreksi masing-masing 1,1% dan 7,8% di sepanjang Oktober.
Tidak hanya itu, harga komoditas logam dasar unggulan tanah air juga terkoreksi secara berjamaah. Di sepanjang bulan lalu, harga nikel turun 8,66%, tembaga minus 5,2%, dan aluminium melemah hingga 5,3%.
Beruntung, komoditas timah dan karet masih mampu menguat tipis, masing-masing 1,45% dan 0,21%, di periode yang sama. Meski demikian, sepanjang tahun berjalan 2018 (hingga tanggal 31 Oktober), harga karet masih tercatat mengalami penurunan hingga 29,36%.
Penurunan harga komoditas ini salah satunya disebabkan oleh persepsi melambatnya permintaan global akibat data-data ekonomi Benua Asia yang cenderung mengecewakan di sepanjang Oktober 2018.
Melihat kondisi di atas, RI nampaknya masih perlu berjuang keras mempertahankan surplus yang terjadi pada September. Menarik juga disimak bagaimana dampak dari sejumlah kebijakan pemerintah mengendalikan impor, seperti kebijakan B20, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22, hingga penundaan proyek yang kurang strategis.
Sebagai catatan, data neraca perdagangan Oktober menjadi fondasi bagi transaksi berjalan di kuartal IV-2018, di mana defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal III-2018 telah melebar parah hingga US$ 8,85 miliar atau setara dengan 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). CAD sebesar itu merupakan yang terparah sejak kuartal II-2014.
Pengumuman CAD kuartal lalu dilakukan di akhir pekan lalu, namun setelah berakhirnya sesi perdagangan pasar keuangan RI. Meski pelaku pasar sudah kelihatan "grogi" sebelum data itu diumumkan (terindikasi dari IHSG yang turun 1,72% di akhir pekan), masih ada kemungkinan buruknya CAD akan berdampak pada perdagangan awal pekan ini.
Sentimen kedua masih dari dalam negeri, yakni rilis suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Melihat buruknya CAD di kuartal III-2018, perlu disimak bagaimana kebijakan moneter yang akan dilakukan BI.
Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa yang lebih mampu menopang nilai tukar rupiah dalam jangka panjang, karena tidak mudah berubah seperti arus modal portofolio. Oleh karena itu, saat CAD mengecewakan, praktis nilai tukar rupiah tidak punya pijakan yang kuat.
Apalagi, hasil pertemuan The Federal Reserve/The Fed yang teranyar memberikan sinyal rencana normalisasi pada Desember akan dieksekusi.
"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan Federal Open Market Committee (FOMC).
Meski demikian, pelaku pasar nampaknya harus bersiap-siap kecewa. Sebab, akhir pekan lalu BI mengirimkan sinyal tak akan ada lagi kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate hingga akhir tahun.
Dalam beberapa bulan terakhir, bank sentral telah memang telah mengerek bunga acuan hingga 150 basis poin (bps), untuk menjaga daya tarik pasar keuangan domestik di tengah pengetatan likuiditas. Namun, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, kenaikan bunga acuan BI sudah menghitung kenaikan Fed Fund Rate di penghujung tahun.
BI nampaknya masih cukup optimistis kenaikan bunga acuan yang dilakukan bank sentral dalam beberapa bulan terakhir telah membuat pasar keuangan domestik menarik di mata investor. Tapi, apakah pelaku pasar berpikir hal yang sama? Perlu ditunggu jawabannya pada pengumuman hasil RDG BI, 15 November mendatang.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Untuk pekan ini, pergerakan IHSG akan dipengaruhi berbagai sentimen, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk 5 hari ke depan. Apa saja sentimen tersebut? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.
Sentimen pertama datang dari dalam negeri, yakni rilis neraca perdagangan periode Oktober 2018 pada 15 November 2018. Pada bulan sebelumnya, RI berhasil membukukan surplus perdagangan sebesar US$ 230 juta.
Harga minyak jenis brent turun 8,76%, sementara harga minyak light sweet anjlok lebih dalam lagi yakni sebesar 10,84%. Harga sang emas hitam banyak dipengaruhi peningkatan pasokan di pasar. Kala itu, Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Indonesia (OPEC) kompak memberikan sinyal mereka siap membanjiri pasokan pasar minyak dunia.
Sebagai informasi, defisit perdagangan migas selalu menjadi biang kerok "hancurnya" defisit neraca perdagangan RI pada tahun ini. Defisit neraca perdagangan migas mencapai US$ 9,37 miliar pada periode Januari-September 2018, jauh lebih besar dari defisit perdagangan secara total sebesar US$ 3,81 miliar.
Dengan harga minyak mentah dunia yang turun, dipastikan defisit perdagangan migas yang begitu masif dapat diminimalisasi. Meski demikian, perlu diingat sepanjang Oktober nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga 2,01% terhadap dolar AS di pasar spot.
Nilai US$ 1 bahkan sempat dibanderol hingga Rp 15.230 pada penutupan perdagangan 11 Oktober 2018, nyaris saja menyentuh level terlemah di sepanjang sejarah RI. Rupiah yang loyo jelas akan menambah biaya importasi yang dilakukan.
Kemudian, dari sisi ekspor, perlu diwaspadai pelemahan harga-harga komoditas. Sepanjang Oktober, hampir semua komoditas (baik tambang maupun agrikultur) unggulan tanah air berguguran.
Dua harga komoditas ekspor utama, yakni minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara terkoreksi masing-masing 1,1% dan 7,8% di sepanjang Oktober.
Tidak hanya itu, harga komoditas logam dasar unggulan tanah air juga terkoreksi secara berjamaah. Di sepanjang bulan lalu, harga nikel turun 8,66%, tembaga minus 5,2%, dan aluminium melemah hingga 5,3%.
Beruntung, komoditas timah dan karet masih mampu menguat tipis, masing-masing 1,45% dan 0,21%, di periode yang sama. Meski demikian, sepanjang tahun berjalan 2018 (hingga tanggal 31 Oktober), harga karet masih tercatat mengalami penurunan hingga 29,36%.
Penurunan harga komoditas ini salah satunya disebabkan oleh persepsi melambatnya permintaan global akibat data-data ekonomi Benua Asia yang cenderung mengecewakan di sepanjang Oktober 2018.
Melihat kondisi di atas, RI nampaknya masih perlu berjuang keras mempertahankan surplus yang terjadi pada September. Menarik juga disimak bagaimana dampak dari sejumlah kebijakan pemerintah mengendalikan impor, seperti kebijakan B20, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22, hingga penundaan proyek yang kurang strategis.
Sebagai catatan, data neraca perdagangan Oktober menjadi fondasi bagi transaksi berjalan di kuartal IV-2018, di mana defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal III-2018 telah melebar parah hingga US$ 8,85 miliar atau setara dengan 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). CAD sebesar itu merupakan yang terparah sejak kuartal II-2014.
Pengumuman CAD kuartal lalu dilakukan di akhir pekan lalu, namun setelah berakhirnya sesi perdagangan pasar keuangan RI. Meski pelaku pasar sudah kelihatan "grogi" sebelum data itu diumumkan (terindikasi dari IHSG yang turun 1,72% di akhir pekan), masih ada kemungkinan buruknya CAD akan berdampak pada perdagangan awal pekan ini.
Sentimen kedua masih dari dalam negeri, yakni rilis suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Melihat buruknya CAD di kuartal III-2018, perlu disimak bagaimana kebijakan moneter yang akan dilakukan BI.
Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa yang lebih mampu menopang nilai tukar rupiah dalam jangka panjang, karena tidak mudah berubah seperti arus modal portofolio. Oleh karena itu, saat CAD mengecewakan, praktis nilai tukar rupiah tidak punya pijakan yang kuat.
Apalagi, hasil pertemuan The Federal Reserve/The Fed yang teranyar memberikan sinyal rencana normalisasi pada Desember akan dieksekusi.
"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan Federal Open Market Committee (FOMC).
Meski demikian, pelaku pasar nampaknya harus bersiap-siap kecewa. Sebab, akhir pekan lalu BI mengirimkan sinyal tak akan ada lagi kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate hingga akhir tahun.
Dalam beberapa bulan terakhir, bank sentral telah memang telah mengerek bunga acuan hingga 150 basis poin (bps), untuk menjaga daya tarik pasar keuangan domestik di tengah pengetatan likuiditas. Namun, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, kenaikan bunga acuan BI sudah menghitung kenaikan Fed Fund Rate di penghujung tahun.
BI nampaknya masih cukup optimistis kenaikan bunga acuan yang dilakukan bank sentral dalam beberapa bulan terakhir telah membuat pasar keuangan domestik menarik di mata investor. Tapi, apakah pelaku pasar berpikir hal yang sama? Perlu ditunggu jawabannya pada pengumuman hasil RDG BI, 15 November mendatang.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular