Bank Perang Bunga Deposito, Siapa Jadi Korban?

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
31 October 2018 21:00
Perang Bunga Deposito Pernah Terjadi
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Perang bunga deposito sudah pernah terjadi di Indonesia. Pada tahun 2012 dan 2013 perbankan berlomba-lomba menawarkan bunga deposito di atas penjaminan LPS. Bunga deposito tinggi ini ditawarkan pada deposan pemilik dana besar. 

Bank melakukan ini karena likuiditas ketat dan bank memilih cara ini untuk mengamankan likuiditas. Ketika itu bahkan ada bank yang menawarkan bunga deposito hingga 11%.

Perang bunga deposito tinggi membawa masalah bagi perbankan terutama bagi bank-bank kecil. Sebab, banyak dana-dana dari bank kecil akhirnya beralih ke bank menengah dan besar. Bank kecil bisnisnya terancam karena likuiditas ketat dan tak bisa menghabiskan laba. Maklum, bank kecil hanya bergantung pada penyaluran kredit.

Bank kecil tidak bisa menghasilkan pendapatan non bunga (fee based income) karena tidak bisa memberikan layanan berbasis jasa. Bank kecil tidak dapat bersaing dengan bank menengah dan kecil.

Perang bunga deposito merugikan masyarakat. Ketika bank memberikan bunga deposito tinggi maka bunga yang akan dikenakan kepada nasabah peminjam akan semakin tinggi pula. Bila bunga kredit tinggi, debitur akan menghadapi masalah pada pembayaran cicilan sehingga bisa mengerek rasio kredit bermasalah (NPL).

Bunga kredit yang tinggi juga bisa membuat pengusaha menahan diri mengajukan kredit yang artinya pengusaha akan mengerem ekspansi bisnis. Hal ini bisa membuat pertumbuhan ekonomi terganggu. Maklum, kredit perbankan masih menjadi sumber utama pembiayaan perekonomian.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya bertindak. Untuk menghentikan perang bunga deposito ini, OJK menerapkan batas atas bunga deposito spesial rate. OJK mematok bunga deposito bank BUKU 4 maksimal BI rate plus 75 bps dan BUKU III bunga deposito maksimal BI rate plus 100 bps. Aturan ini kemudian di cabut pada OJK.

Surat Utang sebagai sumber dana bank

Saat ini perbankan memang memiliki sumber pendanaan lain untuk membiayai kredit. Yakni lewat surat utang. Hal ini karena BI merubah kebijakan LDR menjadi loan to funding ratio (LFR). Dalam aturan ini surat utang bisa diperhitungkan sebagai sumber dana baru bank dalam salurkan kredit.

Namun, melihat kondisi sekarang menerbitkan surat utang tidaklah murah. Kebijakan BI menaikkan bunga acuan telah mengerek yield obligasi. Artinya, bank juga harus membayar mahal untuk mendapatkan pendanaan dari pasar modal.

Bank CIMB Niaga baru saja membatalkan penerbitan sebesar Rp 1,98 triliun. Ini merupakan sisa dari obligasi berkelanjutan yang totalnya mencapai Rp 8 triliun. Obligasi ini pertama kali diterbitkan pada 2016. Alasannya, yield obligasi.

Nah, melihat kondisi yang terjadi saat ini perbankan harus dihadapkan pada pilihan lebih selektif menyalurkan kredit atau bahkan mengerem penyaluran kredit dengan konsekuensi bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Atau regulator mengeluarkan kebijakan untuk membantu likuiditas bank dan mengulang kebijakan OJK yang lama dengan mematok suku bunga deposito spesial rate.

TIM RISET CNBC INDONESIA


    (alf/roy)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular