
Jatuh 3 Hari Beruntun, Harga Batu Bara Kini US$ 107,5/MT
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
31 October 2018 11:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak acuan terkoreksi 0,46% ke level US$ 107,5/Metrik Ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Selasa (30/10/2018).
Dengan pergerakan itu, harga si batu hitam membukukan pelemahan tiga hari secara berturut-turut, hingga terjerumus ke level terendahnya dalam 5 bulan terakhir, atau sejak tanggal 29 Mei 2018.
BACA: Amblas 1,5%, Harga Batu Bara di Titik Terendah dalam 5 Bulan
Kembali memanasnya tensi perang dagang, plus lemahnya konsumsi batu bara di China, menjadi faktor utama pemberat harga batu bara.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengonfirmasi bahwa Washington sudah menyiapkan bea masuk baru jika dialog dengan China nir-hasil.
"Saya rasa kami akan punya kesepakatan dengan China, dan saya berharap itu akan menjadi kesepakatan yang bagus karena mereka telah menghisap kami. Saya punya US$ 267 miliar (bea masuk baru) yang sudah menunggu kalau tidak ada kesepakatan," tegas Trump dalam wawancara dengan FOX News, mengutip Reuters.
Di satu sisi, Trump sudah siap berdialog dengan China dan ingin ada kesepakatan untuk mengakhiri 'balas pantun' bea masuk Washington-Beijing. Namun di sisi lain, Trump juga ibarat terang-terangan menaruh 'pistol' di atas meja yang siap ditembakkan jika tidak ada kesepakatan.
Pelaku pasar pun nampaknya cenderung pesimis dan memikirkan skenario terburuk, yakni bea masuk baru untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 257 miliar.
AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di dunia. Kala mereka saling hambat perdagangan, akibatnya adalah gangguan rantai pasok (supply chain) dunia. Hasilnya adalah perlambatan arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global.
Perdagangan dan aktivitas ekonomi yang melambat tentu akan menurunkan permintaan terhadap energi. Kalau permintaan energi turun, maka harga batu bara juga pasti turun.
Sebagai tambahan, faktor negatif yang menekan harga si batu hitam adalah tingkat konsumsi batu bara Negeri Panda yang mengalami tren penurunan. Penyebabnya adalah permintaan pembangkit listrik yang juga mulai lemah, dibuktikan oleh stok batu bara di 6 pembangkit listrik utama yang masih tinggi.
Terlebih, konsumsi batu bara China di musim dingin nanti diperkirakan tidak akan sekencang perkiraan sebelumnya. Pasalnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang akan datang akan lebih hangat dari biasanya. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino di musim dingin mendatang.
Sebelumnya, musim dingin yang lebih "menggigit" dari biasanya diperkirakan akan menyebabkan peningkatan konsumsi batu bara oleh sejumlah pembangkit listrik Negeri Panda. Namun, saat sekarang cuaca justru diperkirakan lebih hangat, persepsi itu menjadi tidak berlaku.
Sebagai informasi, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 metrik ton pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global, sehingga sentimen menurunnya permintaan impor dari China akan sangat memengaruhi harga.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Dengan pergerakan itu, harga si batu hitam membukukan pelemahan tiga hari secara berturut-turut, hingga terjerumus ke level terendahnya dalam 5 bulan terakhir, atau sejak tanggal 29 Mei 2018.
BACA: Amblas 1,5%, Harga Batu Bara di Titik Terendah dalam 5 Bulan
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengonfirmasi bahwa Washington sudah menyiapkan bea masuk baru jika dialog dengan China nir-hasil.
"Saya rasa kami akan punya kesepakatan dengan China, dan saya berharap itu akan menjadi kesepakatan yang bagus karena mereka telah menghisap kami. Saya punya US$ 267 miliar (bea masuk baru) yang sudah menunggu kalau tidak ada kesepakatan," tegas Trump dalam wawancara dengan FOX News, mengutip Reuters.
Di satu sisi, Trump sudah siap berdialog dengan China dan ingin ada kesepakatan untuk mengakhiri 'balas pantun' bea masuk Washington-Beijing. Namun di sisi lain, Trump juga ibarat terang-terangan menaruh 'pistol' di atas meja yang siap ditembakkan jika tidak ada kesepakatan.
Pelaku pasar pun nampaknya cenderung pesimis dan memikirkan skenario terburuk, yakni bea masuk baru untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 257 miliar.
AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di dunia. Kala mereka saling hambat perdagangan, akibatnya adalah gangguan rantai pasok (supply chain) dunia. Hasilnya adalah perlambatan arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global.
Perdagangan dan aktivitas ekonomi yang melambat tentu akan menurunkan permintaan terhadap energi. Kalau permintaan energi turun, maka harga batu bara juga pasti turun.
Sebagai tambahan, faktor negatif yang menekan harga si batu hitam adalah tingkat konsumsi batu bara Negeri Panda yang mengalami tren penurunan. Penyebabnya adalah permintaan pembangkit listrik yang juga mulai lemah, dibuktikan oleh stok batu bara di 6 pembangkit listrik utama yang masih tinggi.
Terlebih, konsumsi batu bara China di musim dingin nanti diperkirakan tidak akan sekencang perkiraan sebelumnya. Pasalnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang akan datang akan lebih hangat dari biasanya. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino di musim dingin mendatang.
Sebelumnya, musim dingin yang lebih "menggigit" dari biasanya diperkirakan akan menyebabkan peningkatan konsumsi batu bara oleh sejumlah pembangkit listrik Negeri Panda. Namun, saat sekarang cuaca justru diperkirakan lebih hangat, persepsi itu menjadi tidak berlaku.
Sebagai informasi, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 metrik ton pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global, sehingga sentimen menurunnya permintaan impor dari China akan sangat memengaruhi harga.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular