
Amblas 1,5%, Harga Batu Bara di Titik Terendah dalam 5 Bulan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
30 October 2018 11:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak acuan terkoreksi 1,50% ke level US$ 108/Metrik Ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Senin (29/10/2018).
Dengan pergerakan itu, harga si batu hitam kini terjerumus hingga menyentuh level terendahnya dalam 5 bulan terakhir, atau sejak tanggal 29 Mei 2018. Bursa saham utama Benua Asia yang kembali anjlok menjadi sentimen negatif bagi harga batu bara kemarin.
BACA: Bursa Asia "Kebakaran", Harga Batu Bara Turun 0,32% Pekan Ini
Pada penutupan perdagangan hari Senin (29/10/2018), Indeks Nikkei 225 ditutup turun 0,16%, Shanghai Composite anjlok 2,18%, dan Kospi terpangkas 1,53%.
Risiko datang dari data ekonomi China yang kurang kece. Biro Statistik Nasional China mencatat pertumbuhan laba industrial naik 4,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada September 2018 menjadi CNY 545,5 miliar. Laju pertumbuhan tersebut tidak sampai separuh dari pencapaian bulan sebelumnya dan menjadi yang paling lambat sejak Maret.
Sepertinya perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China begitu berpengaruh terhadap dunia usaha di Negeri Tirai Bambu. Maklum, AS adalah pasar ekspor terbesar China. Tahun lalu, nilai ekspor China ke AS mencapai US$ 431,7 miliar atau 19% dari total ekspor.
Ketika sang konsumen terbesar itu mulai menutup diri, maka akan sangat mempengaruhi kinerja ekspor China. Akibatnya, dunia usaha terpukul dan laba mereka mengecil.
Melambatnya ekonomi di Negeri Tirai Bambu bahkan mulai menular ke negara-negara Asia yang merupakan mitra dagang utama. Sepanjang kuartal-III 2018, perekonomian Korea Selatan tumbuh 2% YoY, di bawah konsensus yang sebesar 2,2% YoY.
Kemudian, ekspor Hong Kong periode September naik 4,5% YoY, jauh melambat dibandingkan capaian bulan sebelumnya yaitu 13,1% YoY. Sementara impor tumbuh 4,8% YoY, juga di bawah capaian Agustus yang sebesar 16,4% YoY.
Perlambatan ekonomi yang semakin nyata di Benua Kuning lantas menimbulkan persepsi bahwa permintaan energi dunia pun diekspektasikan melambat. Maklum, Benua Asia adalah pengkonsumsi batu bara terbesar dunia. Akhirnya, harga batu bara pun tak bisa lepas dari koreksi.
Sebagai tambahan, faktor negatif yang menekan harga si batu hitam adalah konsumsi batu bara di China yang diperkirakan tidak akan sekencang perkiraan sebelumnya. Pasalnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang akan datang akan lebih hangat dari biasanya.
Ramalan otoritas iklim dan cuaca di Negeri Tirai Bambu tersebut bertolak belakang dari estimasi yang muncul sebelumnya bahwa akan ada cuaca dingin ekstrim. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino di musim dingin nanti.
Sebelumnya, musim dingin yang lebih "menggigit" dari biasanya diperkirakan akan menyebabkan peningkatan konsumsi batu bara oleh sejumlah pembangkit listrik Negeri Panda. Namun, saat sekarang cuaca justru diperkirakan lebih hangat, persepsi itu menjadi tidak berlaku.
Sebagai informasi, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 metrik ton pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global, sehingga sentimen menurunnya permintaan impor dari China akan sangat memengaruhi harga.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Dengan pergerakan itu, harga si batu hitam kini terjerumus hingga menyentuh level terendahnya dalam 5 bulan terakhir, atau sejak tanggal 29 Mei 2018. Bursa saham utama Benua Asia yang kembali anjlok menjadi sentimen negatif bagi harga batu bara kemarin.
BACA: Bursa Asia "Kebakaran", Harga Batu Bara Turun 0,32% Pekan Ini
Pada penutupan perdagangan hari Senin (29/10/2018), Indeks Nikkei 225 ditutup turun 0,16%, Shanghai Composite anjlok 2,18%, dan Kospi terpangkas 1,53%.
Risiko datang dari data ekonomi China yang kurang kece. Biro Statistik Nasional China mencatat pertumbuhan laba industrial naik 4,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada September 2018 menjadi CNY 545,5 miliar. Laju pertumbuhan tersebut tidak sampai separuh dari pencapaian bulan sebelumnya dan menjadi yang paling lambat sejak Maret.
Sepertinya perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China begitu berpengaruh terhadap dunia usaha di Negeri Tirai Bambu. Maklum, AS adalah pasar ekspor terbesar China. Tahun lalu, nilai ekspor China ke AS mencapai US$ 431,7 miliar atau 19% dari total ekspor.
Ketika sang konsumen terbesar itu mulai menutup diri, maka akan sangat mempengaruhi kinerja ekspor China. Akibatnya, dunia usaha terpukul dan laba mereka mengecil.
Melambatnya ekonomi di Negeri Tirai Bambu bahkan mulai menular ke negara-negara Asia yang merupakan mitra dagang utama. Sepanjang kuartal-III 2018, perekonomian Korea Selatan tumbuh 2% YoY, di bawah konsensus yang sebesar 2,2% YoY.
Kemudian, ekspor Hong Kong periode September naik 4,5% YoY, jauh melambat dibandingkan capaian bulan sebelumnya yaitu 13,1% YoY. Sementara impor tumbuh 4,8% YoY, juga di bawah capaian Agustus yang sebesar 16,4% YoY.
Perlambatan ekonomi yang semakin nyata di Benua Kuning lantas menimbulkan persepsi bahwa permintaan energi dunia pun diekspektasikan melambat. Maklum, Benua Asia adalah pengkonsumsi batu bara terbesar dunia. Akhirnya, harga batu bara pun tak bisa lepas dari koreksi.
Sebagai tambahan, faktor negatif yang menekan harga si batu hitam adalah konsumsi batu bara di China yang diperkirakan tidak akan sekencang perkiraan sebelumnya. Pasalnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang akan datang akan lebih hangat dari biasanya.
Ramalan otoritas iklim dan cuaca di Negeri Tirai Bambu tersebut bertolak belakang dari estimasi yang muncul sebelumnya bahwa akan ada cuaca dingin ekstrim. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino di musim dingin nanti.
Sebelumnya, musim dingin yang lebih "menggigit" dari biasanya diperkirakan akan menyebabkan peningkatan konsumsi batu bara oleh sejumlah pembangkit listrik Negeri Panda. Namun, saat sekarang cuaca justru diperkirakan lebih hangat, persepsi itu menjadi tidak berlaku.
Sebagai informasi, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 metrik ton pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global, sehingga sentimen menurunnya permintaan impor dari China akan sangat memengaruhi harga.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular