
Bursa Asia "Kebakaran", Harga Batu Bara Turun 0,32% Pekan Ini
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 October 2018 14:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Di sepanjang pekan ini, harga batu bara Newcastle kontrak acuan terkoreksi 0,32% secara point-to-point ke US$ 109,65/Metrik Ton (MT).
Sentimen yang mempengaruhi pergerakan harga si batu hitam sebenarnya cenderung netral. Namun, sentimen negatif lebih mendominasi jalannya perdagangan, utamanya datang jatuhnya bursa saham Asia di awal pekan ini.
Pada perdagangan hari Selasa (23/10/2018), indeks Nikkei 225 ditutup anjlok 2,67%, Shanghai Composite amblas 2,26%, Hang Seng ambrol 3,08%, Strait Times jatuh 1,52%, dan Kospi terpangkas 2,57%.
Dalam sepekan ini, indeks Nikkei, Hang Seng, dan Kospi, bahkan anjlok masing-masing sebesar 5,98%, 3,30%, dan 5,99% secara point-to-point. Penurunan mingguan yang sejatinya amat signifikan.
Berbagai macam sentimen negatif memang masih membayangi pergerakan bursa saham Benua Kuning, pe mulai tensi AS-Arab Saudi, perang dagang AS-China, hingga drama fiskal Italia vs Uni Eropa.
Koreksi berjamaah bursa saham Asia lantas menjadi persepsi yang dapat mengancam keyakinan bisnis dan investasi secara global. Akibatnya, permintaan energi dunia pun diekspektasikan melambat. Akhirnya, harga batu bara pun tak bisa lepas dari koreksi.
Selain itu, faktor negatif yang menekan harga adalah tingkat konsumsi batu bara di pembangkit listrik China yang masih cukup lemah saat ini. Akibatnya, stok batu bara di 6 pembangkit listrik utama di Negeri Tirai Bambu per 12 Oktober lalu, tercatat meningkat 2,4% dibandingkan 2 pekan sebelumnya, hingga menembus angka 15,06 juta ton.
Peningkatan stok tentunya akan menjadi sentimen bahwa impor batu bara China akan melambat ke depannya. Hal ini lantas menjadi pemberat tambahan bagi harga batu bara pada perdagangan pekan ini.
Terlebih, konsumsi batu bara di Negeri Panda pada musim dingin mendatang diperkirakan tidak akan sekencang perkiraan sebelumnya. Pasalnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang akan datang akan lebih hangat dari biasanya.
Ramalan otoritas iklim dan cuaca di Negeri Tirai Bambu tersebut bertolak belakang dari estimasi yang muncul sebelumnya bahwa akan ada cuaca dingin ekstrim. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino di musim dingin mendatang.
Sebelumnya, musim dingin yang lebih "menggigit" dari biasanya diperkirakan akan menyebabkan peningkatan konsumsi batu bara oleh sejumlah pembangkit listrik Negeri Tirai Bambu. Namun, saat sekarang cuaca justru diperkirakan lebih hangat, persepsi itu menjadi tidak berlaku.
Sebagai informasi, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 metrik ton pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global, sehingga sentimen menurunnya permintaan impor dari China akan sangat mempengaruhi harga.
Meski demikian, inspeksi lingkungan di sejumlah tambang batu bara di China masih menyokong pergerakan harga.
Menteri Ekologi dan Lingkungan China menyatakan telah menyelesaikan pengecekan lingkungan pada sejumlah tambang di 10 provinsi. Upaya perlindungan lingkungan perlu dilakukan sebelum datangnya musim dingin mendatang.
Akibat inspeksi lingkungan tersebut, operasi tambang di Negeri Panda pun terhambat. Ujung-ujungnya pasokan batu bara domestik di China pun jadi seret. Sentimen ini lantas mengindikasikan permintaan impor batu bara Beijing akan meningkat.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/hps) Next Article Pasar Diramal Oversupply, Harga Minyak Lanjut Koreksi
Sentimen yang mempengaruhi pergerakan harga si batu hitam sebenarnya cenderung netral. Namun, sentimen negatif lebih mendominasi jalannya perdagangan, utamanya datang jatuhnya bursa saham Asia di awal pekan ini.
Dalam sepekan ini, indeks Nikkei, Hang Seng, dan Kospi, bahkan anjlok masing-masing sebesar 5,98%, 3,30%, dan 5,99% secara point-to-point. Penurunan mingguan yang sejatinya amat signifikan.
Berbagai macam sentimen negatif memang masih membayangi pergerakan bursa saham Benua Kuning, pe mulai tensi AS-Arab Saudi, perang dagang AS-China, hingga drama fiskal Italia vs Uni Eropa.
Koreksi berjamaah bursa saham Asia lantas menjadi persepsi yang dapat mengancam keyakinan bisnis dan investasi secara global. Akibatnya, permintaan energi dunia pun diekspektasikan melambat. Akhirnya, harga batu bara pun tak bisa lepas dari koreksi.
Selain itu, faktor negatif yang menekan harga adalah tingkat konsumsi batu bara di pembangkit listrik China yang masih cukup lemah saat ini. Akibatnya, stok batu bara di 6 pembangkit listrik utama di Negeri Tirai Bambu per 12 Oktober lalu, tercatat meningkat 2,4% dibandingkan 2 pekan sebelumnya, hingga menembus angka 15,06 juta ton.
Peningkatan stok tentunya akan menjadi sentimen bahwa impor batu bara China akan melambat ke depannya. Hal ini lantas menjadi pemberat tambahan bagi harga batu bara pada perdagangan pekan ini.
Terlebih, konsumsi batu bara di Negeri Panda pada musim dingin mendatang diperkirakan tidak akan sekencang perkiraan sebelumnya. Pasalnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang akan datang akan lebih hangat dari biasanya.
Ramalan otoritas iklim dan cuaca di Negeri Tirai Bambu tersebut bertolak belakang dari estimasi yang muncul sebelumnya bahwa akan ada cuaca dingin ekstrim. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino di musim dingin mendatang.
Sebelumnya, musim dingin yang lebih "menggigit" dari biasanya diperkirakan akan menyebabkan peningkatan konsumsi batu bara oleh sejumlah pembangkit listrik Negeri Tirai Bambu. Namun, saat sekarang cuaca justru diperkirakan lebih hangat, persepsi itu menjadi tidak berlaku.
Sebagai informasi, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 metrik ton pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global, sehingga sentimen menurunnya permintaan impor dari China akan sangat mempengaruhi harga.
Meski demikian, inspeksi lingkungan di sejumlah tambang batu bara di China masih menyokong pergerakan harga.
Menteri Ekologi dan Lingkungan China menyatakan telah menyelesaikan pengecekan lingkungan pada sejumlah tambang di 10 provinsi. Upaya perlindungan lingkungan perlu dilakukan sebelum datangnya musim dingin mendatang.
Akibat inspeksi lingkungan tersebut, operasi tambang di Negeri Panda pun terhambat. Ujung-ujungnya pasokan batu bara domestik di China pun jadi seret. Sentimen ini lantas mengindikasikan permintaan impor batu bara Beijing akan meningkat.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/hps) Next Article Pasar Diramal Oversupply, Harga Minyak Lanjut Koreksi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular