
Pasar Diramal Oversupply, Harga Minyak Lanjut Koreksi
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 November 2018 10:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini Kamis (8/11/2018) pukul 09.52 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 0,19% ke level US$ 71,93/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 terkoreksi tipis 0,03% ke level US$ 61,65/barel.
Harga minyak masih belum mampu pulih pasca kemarin pun ditutup di zona merah. Pada penutupan perdagangan hari Rabu (7/11/2018), harga brent ditutup melemah tipis 0,08%, sementara light sweet turun 0,87%.
Sebagai catatan, harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) kemarin masih berada level terendahnya dalam 8 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Maret 2018. Sedangkan harga brent yang menjadi acuan di Eropa ada di titik terendah dalam 3 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Agustus 2018.
BACA: Harga Minyak di Level Terendah Dalam 8 Bulan, Ada Apa?
Sentimen negatif yang membayangi pergerakan harga sang emas hitam ini datang dari pasokan pasar minyak global yang diramal mengalami surplus di tahun depan, serta produksi minyak mentah Negeri Paman Sam yang menyentuh rekor baru.Meski demikian, pelemahan harga minyak terbatas oleh munculnya wacana berlanjutnya pemangkasan produksi minyak oleh sekelompok produsen utama minyak mentah dunia.
US Energy Information Administration (EIA) melaporkan bahwa cadangan minyak mentah AS naik ke angka 5,8 juta barel pada pekan lalu, jauh di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 2,4 juta barel.
Sementara itu, produksi minyak mentah mingguan AS tercatat sebesar 11,6 juta barel/hari, menjadi rekor mingguan terbesar sepanjang sejarah Negeri Adidaya.
Membanjirnya pasokan dari AS ini lantas memberikan persepsi bahwa pasokan minyak dunia masih dalam kondisi yang sebenarnya amat sehat, bahkan cenderung oversupply. Hal ini lantas masih menjadi pemberat harga minyak hari ini.
Terlebih, laporan dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga telah mengamini akan terjadi surplus di pasar minyak global pada tahun 2019, bahkan dengan berlakunya sanksi AS terhadap Iran.
Alasannya, ada proyeksi bahwa permintaan minyak mentah dunia akan melambat. Kemudian, sanksi Iran juga disangsikan akan berdampak signifikan, pasca pihak AS memberikan keringanan pada 8 negara importir untuk tetap bisa membeli minyak dari Negeri Persia.
Meski demikian, ada sentimen positif yang sebenarnya lumayan menyokong harga sang emas hitam pada hari ini. Sentimen itu datang dari Rusia dan Arab Saudi (pemimpin OPEC secara de-facto) yang dikabarkan telah mengadakan diskusi bilateral untuk kembali melakukan kesepakatan pemangkasan produksi di tahun depan.
Mengutip Reuters, dua sumber dari OPEC mengatakan bahwa pemangkasan produksi di tahun depan tidak bisa diabaikan, dalam rangka menghindari kemungkinan membanjirnya pasokan yang ujung-ujungnya dapat membebani harga.
Sebagai informasi, OPEC dan negara-negara produsen non-OPEC (termasuk Rusia) sebelumnya menyepakati pemangkasan produksi di awal tahun 2017, dan terbukti berhasil mengangkat harga minyak dari keterpurukannya di medio 2014-2016.
Namun, pada Juni 2018, sekelompok produsen utama dunia tersebut memutuskan untuk melonggarkan pemangkasan produksi setelah muncul tekanan dari Presiden AS Donald Trump yang menginginkan harga minyak tidak melambung tinggi.
Dengan kini wacana pemangkasan produksi kembali muncul ke permukaan, pelaku pasar pun jadi berekspektasi harga minyak masih berpeluang kembali terkerek naik. Hal ini lantas membatasi pelemahan harga minyak hari ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/roy) Next Article Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi
Harga minyak masih belum mampu pulih pasca kemarin pun ditutup di zona merah. Pada penutupan perdagangan hari Rabu (7/11/2018), harga brent ditutup melemah tipis 0,08%, sementara light sweet turun 0,87%.
Sebagai catatan, harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) kemarin masih berada level terendahnya dalam 8 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Maret 2018. Sedangkan harga brent yang menjadi acuan di Eropa ada di titik terendah dalam 3 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Agustus 2018.
Sentimen negatif yang membayangi pergerakan harga sang emas hitam ini datang dari pasokan pasar minyak global yang diramal mengalami surplus di tahun depan, serta produksi minyak mentah Negeri Paman Sam yang menyentuh rekor baru.Meski demikian, pelemahan harga minyak terbatas oleh munculnya wacana berlanjutnya pemangkasan produksi minyak oleh sekelompok produsen utama minyak mentah dunia.
US Energy Information Administration (EIA) melaporkan bahwa cadangan minyak mentah AS naik ke angka 5,8 juta barel pada pekan lalu, jauh di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 2,4 juta barel.
Sementara itu, produksi minyak mentah mingguan AS tercatat sebesar 11,6 juta barel/hari, menjadi rekor mingguan terbesar sepanjang sejarah Negeri Adidaya.
Membanjirnya pasokan dari AS ini lantas memberikan persepsi bahwa pasokan minyak dunia masih dalam kondisi yang sebenarnya amat sehat, bahkan cenderung oversupply. Hal ini lantas masih menjadi pemberat harga minyak hari ini.
Terlebih, laporan dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga telah mengamini akan terjadi surplus di pasar minyak global pada tahun 2019, bahkan dengan berlakunya sanksi AS terhadap Iran.
Alasannya, ada proyeksi bahwa permintaan minyak mentah dunia akan melambat. Kemudian, sanksi Iran juga disangsikan akan berdampak signifikan, pasca pihak AS memberikan keringanan pada 8 negara importir untuk tetap bisa membeli minyak dari Negeri Persia.
Meski demikian, ada sentimen positif yang sebenarnya lumayan menyokong harga sang emas hitam pada hari ini. Sentimen itu datang dari Rusia dan Arab Saudi (pemimpin OPEC secara de-facto) yang dikabarkan telah mengadakan diskusi bilateral untuk kembali melakukan kesepakatan pemangkasan produksi di tahun depan.
Sebagai informasi, OPEC dan negara-negara produsen non-OPEC (termasuk Rusia) sebelumnya menyepakati pemangkasan produksi di awal tahun 2017, dan terbukti berhasil mengangkat harga minyak dari keterpurukannya di medio 2014-2016.
Namun, pada Juni 2018, sekelompok produsen utama dunia tersebut memutuskan untuk melonggarkan pemangkasan produksi setelah muncul tekanan dari Presiden AS Donald Trump yang menginginkan harga minyak tidak melambung tinggi.
Dengan kini wacana pemangkasan produksi kembali muncul ke permukaan, pelaku pasar pun jadi berekspektasi harga minyak masih berpeluang kembali terkerek naik. Hal ini lantas membatasi pelemahan harga minyak hari ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/roy) Next Article Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular