
Harga Minyak di Level Terendah Dalam 8 Bulan, Ada Apa?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
07 November 2018 10:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini Rabu (7/11/2018) pukul 09.19 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 0,25% ke level US$ 71,95/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Desember 2018 terkoreksi 0,56% ke level US$ 61,85/barel.
Harga minyak jatuh semakin dalam setelah kemarin sebenarnya terkoreksi cukup signifikan. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (6/11/2018), harga brent dan light sweet kompak melemah di kisaran 1,4%.
Dengan pelemahan hari, harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) makin terjerumus ke level terendahnya dalam 8 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Maret 2018. Sedangkan harga brent yang menjadi acuan di Eropa ada di titik terendah dalam 3 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Agustus 2018.
Sentimen negatif yang membayangi pergerakan harga sang emas hitam ini masih datang dari kebijakan AS yang secara sementara mengizinkan 8 importir membeli minyak mentah Iran dan membanjirnya pasokan minyak mentah di pasar global.
Sebagai informasi, per 4 November, Negeri Paman Sam telah resmi kembali mengaktifkan sanksi yang memaksa Iran untuk membatasi aktivitas nuklir dan rudal. Sudah sejak lama, Presiden AS Donald Trump mengancam sejumlah perusahaan dan negara untuk menghentikan pembelian minyak mentah Negeri Persia, dengan tujuan mendorong volume ekspor Iran ke level 0.
Akibat sanksi tersebut, ekspor minyak Iran, yang mencapai 2,5 juta barel/hari di waktu normal, diperkirakan akan jatuh menjadi 1-2 juta barel/hari. Hal ini sebelumnya diperkirakan akan semakin memperparah disrupsi pasokan yang sebenarnya sedang terjadi di Venezuela, Nigeria, Meksiko, dan Angola.
Meski demikian, AS memberi keringanan kepada delapan negara untuk tetap boleh membeli minyak dari Negeri Persia. Delapan negara tersebut adalah China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India, Turki, Italia, dan Yunani.
Oleh karena itu, pasokan minyak dunia dinilai tetap aman karena Iran masih bisa menjual. Bahkan Teheran mengklaim tetap bisa mengekspor sebanyak yang mereka mau. "Sejauh ini kami masih bisa menjual minyak sesuai dengan kebutuhan," tegas Eshaq Jahangiri, Wakil Presiden Iran, dikutip dari Reuters.
Bicara mengenai pasokan minyak di pasar global, kini AS, Rusia, dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Indonesia (OPEC) juga telah kompak memberikan sinyal bahwa mereka siap membanjiri pasokan pasar minyak dunia.
Dari Negeri Paman Sam, Departemen Energi AS menyatakan bahwa produksi minyak mentah menyentuh rekor tertinggi 11,35 juta barel/hari di Agustus, dan diekspektasikan akan terus bertambah.
Seiring produksi yang meningkat ini, American Petroleum Institute (API) melaporkan, cadangan minyak Negeri Paman Sam naik 7,8 juta barel menjadi 432 juta barel pada pekan lalu. Jauh di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 2,4 juta barel.
Dari OPEC, survei Reuters menemukan bahwa 15 negara anggota OPEC memproduksi 33,31 juta barel/hari minyak mentah pada bulan Oktober. Capaian itu naik 390.000 barel/hari dari bulan sebelumnya, sekaligus merupakan level tertinggi sejak Desember 2016.
Dari Negeri Beruang Merah, produksi minyak Russia telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Teranyar, Irak yang merupakan produsen terbesar kedua di OPEC, menargetkan kapasitas produksi sebesar 5 juta barel/hari pada 2019, naik dari 4,6 juta barel/hari, ucap Menteri Perminyakan Thamer Ghadhban kemarin seperti dilansir dari Reuters.
Tingginya pasokan di pasar akhirnya membuat harga si emas hitam jatuh. Morgan Stanley bahkan sudah pesimis harga minyak tak akan kembali ke level US$ 85/barel seperti awal Oktober lalu. Bank AS tersebut mengatakan fundamental pasar minyak telah melunak (seiring) pasokan terus berada lebih tinggi dari ekspektasi, utamanya di AS, OPEC, Rusia, dan Libya.
"Pasar terpasok dengan baik, dan kita melihat adanya keseimbangan daripada pengetatan pasar ke depannya. Situasi ini tidak lagi mendukung proyeksi kami sebesar US$85/barel pada akhir tahun dan semester I-2019," ucap Morgan Stanley seperti dikutip dari Reuters.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi
Harga minyak jatuh semakin dalam setelah kemarin sebenarnya terkoreksi cukup signifikan. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (6/11/2018), harga brent dan light sweet kompak melemah di kisaran 1,4%.
Dengan pelemahan hari, harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) makin terjerumus ke level terendahnya dalam 8 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Maret 2018. Sedangkan harga brent yang menjadi acuan di Eropa ada di titik terendah dalam 3 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Agustus 2018.
Sebagai informasi, per 4 November, Negeri Paman Sam telah resmi kembali mengaktifkan sanksi yang memaksa Iran untuk membatasi aktivitas nuklir dan rudal. Sudah sejak lama, Presiden AS Donald Trump mengancam sejumlah perusahaan dan negara untuk menghentikan pembelian minyak mentah Negeri Persia, dengan tujuan mendorong volume ekspor Iran ke level 0.
Akibat sanksi tersebut, ekspor minyak Iran, yang mencapai 2,5 juta barel/hari di waktu normal, diperkirakan akan jatuh menjadi 1-2 juta barel/hari. Hal ini sebelumnya diperkirakan akan semakin memperparah disrupsi pasokan yang sebenarnya sedang terjadi di Venezuela, Nigeria, Meksiko, dan Angola.
Meski demikian, AS memberi keringanan kepada delapan negara untuk tetap boleh membeli minyak dari Negeri Persia. Delapan negara tersebut adalah China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India, Turki, Italia, dan Yunani.
Oleh karena itu, pasokan minyak dunia dinilai tetap aman karena Iran masih bisa menjual. Bahkan Teheran mengklaim tetap bisa mengekspor sebanyak yang mereka mau. "Sejauh ini kami masih bisa menjual minyak sesuai dengan kebutuhan," tegas Eshaq Jahangiri, Wakil Presiden Iran, dikutip dari Reuters.
Bicara mengenai pasokan minyak di pasar global, kini AS, Rusia, dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Indonesia (OPEC) juga telah kompak memberikan sinyal bahwa mereka siap membanjiri pasokan pasar minyak dunia.
Dari Negeri Paman Sam, Departemen Energi AS menyatakan bahwa produksi minyak mentah menyentuh rekor tertinggi 11,35 juta barel/hari di Agustus, dan diekspektasikan akan terus bertambah.
Seiring produksi yang meningkat ini, American Petroleum Institute (API) melaporkan, cadangan minyak Negeri Paman Sam naik 7,8 juta barel menjadi 432 juta barel pada pekan lalu. Jauh di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 2,4 juta barel.
Dari OPEC, survei Reuters menemukan bahwa 15 negara anggota OPEC memproduksi 33,31 juta barel/hari minyak mentah pada bulan Oktober. Capaian itu naik 390.000 barel/hari dari bulan sebelumnya, sekaligus merupakan level tertinggi sejak Desember 2016.
Dari Negeri Beruang Merah, produksi minyak Russia telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Teranyar, Irak yang merupakan produsen terbesar kedua di OPEC, menargetkan kapasitas produksi sebesar 5 juta barel/hari pada 2019, naik dari 4,6 juta barel/hari, ucap Menteri Perminyakan Thamer Ghadhban kemarin seperti dilansir dari Reuters.
Tingginya pasokan di pasar akhirnya membuat harga si emas hitam jatuh. Morgan Stanley bahkan sudah pesimis harga minyak tak akan kembali ke level US$ 85/barel seperti awal Oktober lalu. Bank AS tersebut mengatakan fundamental pasar minyak telah melunak (seiring) pasokan terus berada lebih tinggi dari ekspektasi, utamanya di AS, OPEC, Rusia, dan Libya.
"Pasar terpasok dengan baik, dan kita melihat adanya keseimbangan daripada pengetatan pasar ke depannya. Situasi ini tidak lagi mendukung proyeksi kami sebesar US$85/barel pada akhir tahun dan semester I-2019," ucap Morgan Stanley seperti dikutip dari Reuters.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular