Rupiah Kena 'Double Punch': Keok di Kurs Acuan & Spot

Alfado Agustio & Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
23 October 2018 10:53
Rupiah Kena 'Double Punch': Keok di Kurs Acuan & Spot
Foto: ilustrasi dollar Amerika (REUTERS/Marcos Brindicci)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di kurs acuan, setelah kemarin sempat menguat.  

Pada Selasa (23/10/2018) pukul 10:00 WIB, kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di level Rp 15.208. Rupiah melemah 0,10% dibandingkan perdagangan kemarin 



Kondisi ini sejalan dengan nasib rupiah di pasar spot. Di jam yang sama, rupiah berada di level Rp 15.210/US$ atau melemah 0,20% dibandingkan penutupan kemarin. 



Senasib dengan rupiah, beberapa mata uang negara kawasan juga tertekan di hadapan dolar AS. Berikut perkembangan kurs mata uang negara asia hingga pukul 10:32 WIB:  

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang112.570,20
Yuan China6.940,05
Won Korsel1,136.18(0,34)
Dolar Taiwan30.96(0,14)
Rupee India73.55(0,25)
Dolar Singapura1.38(0,11)
Ringgit Malaysia4.16(0,02)
Bath Thailand32.90(0,34)
Peso Filipina53.88(0,15)
 
Terkecuali yen Jepang dan yuan China, semua mata uang negara-negara kawasan cenderung lesu. Lantas, apa yang membuat dolar AS begitu perkasa?



(NEXT)




Jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom menyatakan aura pesimisme kini semakin nyata. Dari 44 negara yang dicakup dalam survei, perlambatan ekonomi diperkirakan terjadi di 18 negara. Sementara proyeksi untuk 23 negara lainnya tidak berubah dan hanya tiga negara yang diramal mengalami perbaikan ekonomi.
 
Kondisi ini cukup jauh dibandingkan survei serupa pada awal tahun di mana 70% negara yang disurvei diperkirakan mengalami perbaikan ekonomi. Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia adalah perang dagang AS vs China. Kedua adalah keketatan likuiditas global dan ketiga adalah kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam.
 
Berbagai risiko itu membuat pelaku pasar masih enggan mengambil risiko di instrumen berisiko di negara berkembang.
 
Selain itu, perkembangan brexit sejauh ini masih mengkhawatirkan investor. Isu yang masih mengganjal masih seputar wilayah kepabeanan di Irlandia Utara. Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan, sebagian besar poin Brexit sudah disepakati tetapi ada satu yang paling mengganjal yaitu masalah wilayah kepabeanan itu.
 
Uni Eopa ingin Irlandia Utara tetap masuk wilayah kepabeanan mereka, sementara Inggris meminta tidak ada pemeriksaan pabean. May pun mengusulkan dua opsi yaitu penerapan masa transisi dan pembentukan pabean ganda Inggris-Uni Eropa.
 
Dengan waktu yang tersisa 5 bulan sebelum Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa, masih ada hambatan yang belum terselesaikan. Jika tidak ada kesepakatan alias no deal, Inggris harus bersiap dengan konsekuensi sulit berdagang dengan negara lain di Eropa Kontinental.
Deadlock proses Brexit ini menciptakan ketidakpastian bagi pelaku pasar.
 
Terakhir, ketegangan antara AS-Arab Saudi. Buntut dari tewasnya kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki) menyebabkan hubungan Negeri Paman Sam dan Negeri Kaya Minyak Bersitegang.
 
Riyadh mengklaim bahwa Khashoggi meninggal dunia setelah terlibat perkelahian yang tidak seimbang, 1 lawan 15. Namun Trump tidak mempercayai alasan itu.
 
"Saya tidak puas dengan apa yang saya dengar. Saya tidak ingin kehilangan investasi di sana, tetapi kami akan mengusut kasus ini sampai tuntas," tegas Trump kepada wartawan di Gedung Putih, mengutip Reuters.
 
Investasi yang dimaksud Trump adalah penjualan senjata. Tahun lalu, Arab Saudi berkomitmen membeli senjata dari AS senilai US$ 110 miliar.
 
Di sisi lain, negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Belanda, sampai Inggris juga mendesak Arab Saudi untuk segera menuntaskan kasus ini. Arab Saudi pun berjanji tidak akan membalas tekanan ini dengan memblokade pasokan minyak kepada negara-negara Barat.
 
Meski sampai saat ini Arab Saudi cukup kooperatif, tetapi tekanan demi tekanan bisa saja membuat kesabaran mereka habis. Jika itu itu terjadi, maka situasi di Timur Tengah menjadi tidak kondusif. Ketika hal ini terjadi, lagi-lagi dolar AS jadi buruan.
 
Ketiga kondisi ini mendorong permintaan terhadap greenback pun naik. Pergerakan dolar index (menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) pada pukul 10:30 WIB, menguat 0,05% ke level 96,06.
Di tengah kedigdayaan dolar AS, rupiah mendapat tekanan dari dalam negeri. Tekanan tersebut berupa proyeksi pasar terhadap hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia siang ini terkait suku bunga acuan.
 
Konsensus yang dihimpun tim CNBC Indonesia memperkirakan, Bank Indonesia (BI) akan menahan suku bunga acuannya di level 5,75%.
 
Menurut ekonom Moody's Analytics Katrina Ell, BI masih akan menahan suku bunga acuan untuk saat ini.
 
"BI sudah menaikkan suku bunga pada September, sehingga total kenaikan mencapai 150 bps. Kenaikan lebih lanjut akan terjadi pada 2019," kata Ell.
 
Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, mengatakan belum ada kebutuhan untuk mengerek suku bunga acuan lebih lanjut pada bulan ini. Pasalnya, tingkat inflasi domestik masih terkendali. Rupiah pun relatif stabil dalam sepekan terakhir.
 
Namun, Josua memperkirakan siklus kenaikan suku bunga acuan tahun ini belum selesai. BI diperkirakan menaikkan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan depan.
 
"Meskipun BI diperkirakan mempertahankan tingkat suku bunga kebijakan pada RDG bulan ini, tetapi ruang pengetatan kebijakan moneter masih berpotensi terjadi pada November. Terutama setelah BI melakukan asessmen pada data pertumbuhan ekonomi dan transaksi berjalan kuartal III serta mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed pada Desember," papar Josua.
 
Perkiraan suku bunga acuan yang ditahan, menyebabkan rupiah tidak memiliki bensin penguatan. Akibatnya, rupiah pun tertekan bersamaan dengan kedigdayaan dolar AS.
 
 
  TIM RISET CNBC INDONESIA




 
 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular