Impor Melambat di September, Apakah Ekonomi Lesu?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
15 October 2018 14:24
Impor Melambat di September, Apakah Ekonomi Lesu?
Foto: Ilustrasi Suasana gedung bertingkat di Kawasan Jakarta (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC IndonesiaBadan Pusat Statistik (BPS) melaporkan hasil ekspor-impor serta neraca perdagangan periode September 2018.

Ekspor September 2018 mencapai US$ 14,83 miliar atau tumbuh 1,7% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara impor mencapai US$ 14,60 miliar atau tumbuh 14,18% YoY.

Hal ini menyebabkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 230 juta. Surplus ini lantas memutus tren defisit perdagangan secara dua bulan berturut-turut sebelumnya. Pada bulan Juli dan Agustus, neraca perdagangan mencatatkan defisit sebesar US$ 2,03 miliar dan US$ 950 juta.

Apabila ditelusuri lebih jauh, surplus perdagangan di bulan lalu menjadi yang ketiga kalinya di tahun ini. Meski demikian, pada periode Januari-September 2018, defisit perdagangan tercatat sebesar US$ 3,81 miliar secara kumulatif. Sementara, di sepanjang kuartal III-2018, defisit perdagangan mencapai US$ 2,75 miliar.



Lantas, apa penyebab surplus perdagangan yang terjadi pada bulan September 2018? Lalu bagaimana interpretasi neraca dagang yang surplus pada bulan lalu? Simak ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.


(NEXT)

Berdasarkan kelompok barang, neraca perdagangan non-migas mencatatkan surplus sebesar US$ 1,3 miliar di bulan lalu. Sebaliknya, neraca migas membukukan defisit sebesar US$ 1,07 miliar.

Surplus perdagangan non-migas di September mampu membaik dari bulan Agustus yang “hanya” sebesar US$ 666,9 juta. Meski demikian, perlu dicatat bahwa surplus non-migas tersebut terjadi bukan gara-gara peningkatan ekspor non-migas. Pasalnya, ekspor non-migas justru menurun 5,67% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada bulan lalu.

Lemahnya ekspor non-migas tidak lepas dari koreksi harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara, yang merupakan dua komoditas unggulan ekspor RI. Harga batu bara terkoreksi 3,52% di sepanjang bulan September, sedangkan harga CPO turun 3,72% di periode yang sama.

Naiknya surplus perdagangan non-migas ternyata lebih disebabkan oleh menurunnya impor non migas hingga 10,52% MtM di September. Penurunan impor ini nampaknya tidak lepas dari kebijakan pemerintah untuk menahan impor, melalui kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk impor barang konsumsi.

Efek dari kebijakan ini terlihat dari penurunan impor barang konsumsi sebesar 14,97% MtM pada bulan lalu, lantas menjadi penurunan terbesar dibandingkan dua kelompok lainnya yakni impor bahan baku (-13,53%) dan impor barang modal (-10,45%).

Kemudian, intensi pemerintah untuk menunda sebagian proyek infrastruktur nampaknya sudah mulai tercermin pada penurunan impor bahan baku dan barang modal pada bulan lalu.

Sebelumnya, upaya pemerintah untuk menahan laju pembangunan infrastruktur terefleksikan dari belanja modal pemerintah yang turun sekitar 5,7% YoY pada periode Januari-Agustus 2018, mengutip data dari APBN KiTA.


(NEXT)






Di sisi lain, defisit migas mencapai sebesar US$ 1,07 miliar di bulan September sebenarnya menipis dari defisit di Agustus sebesar US$ 1,61 miliar. Membaiknya defisit migas disumbang oleh penurunan impor migas sebesar 25,2% secara MtM.


Melihat harga minyak jenis brent yang naik nyaris 7% di sepanjang bulan September, penurunan impor berarti disebabkan oleh penurunan volume permintaan energi dari dalam negeri. Penurunan konsumsi tersebut saat ini bisa dipandang dari dua kaca mata, intervensi kebijakan pemerintah atau aktivitas ekonomi yang memang melambat.

Dari sisi kebijakan pemerintah, pengurangan impor migas tak lepas dari kebijakan pencampuran bahan bakar biofuel ke dalam solar sebesar 20%, atau sering disebut B20. Kebijakan ini memang ditujukan untuk mengurangi besarnya impor migas RI.

Namun, Pasokan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) untuk bahan baku B20 ke Pertamina sampai saat ini masih seret. Yakni, baru mencapai 62% dari jumlah yang ditargetkan untuk dipasok. Mengutip data Pertamina per 25 September 2018, realisasi penerimaan FAME baru sebesar 224.607 KL, dari rencana 359.734 KL.

Kendalanya pasokan FAME yang seret ini menjadi indikasi bahwa sebenarnya dampak kebijakan B20 memang belum berpengaruh signifikan bagi melemahnya impor migas. Oleh karena itu, aktivitas ekonomi yang melambat nampaknya lebih dominan untuk kasus ini. Apalagi, impor bahan baku dan barang modal juga turut melambat.

Melambatnya aktivitas ekonomi dapat dilihat dari kegiatan industri yang memang terlihat cenderung melambat pada bulan September. Indeks manufaktur Nikkei PMI di Indonesia melambat cukup dalam ke level 50,6 pada bulan lalu. Padahal, di Agustus indeks ini masih mencapai 51,9.



Indeks di atas 50 memang masih menandakan industri yang ekspansif, tapi ekspansinya nampaknya mulai melambat. Banyak tantangan yang memang sedang menghadang ekonomi RI. Dari eksternal ada isu perang dagang, sedangkan dari dalam negeri ada kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI)

Oleh karena itu, meski surplus di bulan lalu berpotensi meringankan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di kuartal III-2018, tapi data tersebut juga perlu dimaknai sebagai "alarm"melambatnya roda perekonomian dalam negeri. 


(TIM RISET CNBC INDONESIA) 




Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular