Impor Melambat di September, Apakah Ekonomi Lesu?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
15 October 2018 14:24

Di sisi lain, defisit migas mencapai sebesar US$ 1,07 miliar di bulan September sebenarnya menipis dari defisit di Agustus sebesar US$ 1,61 miliar. Membaiknya defisit migas disumbang oleh penurunan impor migas sebesar 25,2% secara MtM.
Melihat harga minyak jenis brent yang naik nyaris 7% di sepanjang bulan September, penurunan impor berarti disebabkan oleh penurunan volume permintaan energi dari dalam negeri. Penurunan konsumsi tersebut saat ini bisa dipandang dari dua kaca mata, intervensi kebijakan pemerintah atau aktivitas ekonomi yang memang melambat.
Dari sisi kebijakan pemerintah, pengurangan impor migas tak lepas dari kebijakan pencampuran bahan bakar biofuel ke dalam solar sebesar 20%, atau sering disebut B20. Kebijakan ini memang ditujukan untuk mengurangi besarnya impor migas RI.
Namun, Pasokan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) untuk bahan baku B20 ke Pertamina sampai saat ini masih seret. Yakni, baru mencapai 62% dari jumlah yang ditargetkan untuk dipasok. Mengutip data Pertamina per 25 September 2018, realisasi penerimaan FAME baru sebesar 224.607 KL, dari rencana 359.734 KL.
Kendalanya pasokan FAME yang seret ini menjadi indikasi bahwa sebenarnya dampak kebijakan B20 memang belum berpengaruh signifikan bagi melemahnya impor migas. Oleh karena itu, aktivitas ekonomi yang melambat nampaknya lebih dominan untuk kasus ini. Apalagi, impor bahan baku dan barang modal juga turut melambat.
Melambatnya aktivitas ekonomi dapat dilihat dari kegiatan industri yang memang terlihat cenderung melambat pada bulan September. Indeks manufaktur Nikkei PMI di Indonesia melambat cukup dalam ke level 50,6 pada bulan lalu. Padahal, di Agustus indeks ini masih mencapai 51,9.
Indeks di atas 50 memang masih menandakan industri yang ekspansif, tapi ekspansinya nampaknya mulai melambat. Banyak tantangan yang memang sedang menghadang ekonomi RI. Dari eksternal ada isu perang dagang, sedangkan dari dalam negeri ada kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI)
Oleh karena itu, meski surplus di bulan lalu berpotensi meringankan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di kuartal III-2018, tapi data tersebut juga perlu dimaknai sebagai "alarm"melambatnya roda perekonomian dalam negeri.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG)
Melihat harga minyak jenis brent yang naik nyaris 7% di sepanjang bulan September, penurunan impor berarti disebabkan oleh penurunan volume permintaan energi dari dalam negeri. Penurunan konsumsi tersebut saat ini bisa dipandang dari dua kaca mata, intervensi kebijakan pemerintah atau aktivitas ekonomi yang memang melambat.
Dari sisi kebijakan pemerintah, pengurangan impor migas tak lepas dari kebijakan pencampuran bahan bakar biofuel ke dalam solar sebesar 20%, atau sering disebut B20. Kebijakan ini memang ditujukan untuk mengurangi besarnya impor migas RI.
Kendalanya pasokan FAME yang seret ini menjadi indikasi bahwa sebenarnya dampak kebijakan B20 memang belum berpengaruh signifikan bagi melemahnya impor migas. Oleh karena itu, aktivitas ekonomi yang melambat nampaknya lebih dominan untuk kasus ini. Apalagi, impor bahan baku dan barang modal juga turut melambat.
Melambatnya aktivitas ekonomi dapat dilihat dari kegiatan industri yang memang terlihat cenderung melambat pada bulan September. Indeks manufaktur Nikkei PMI di Indonesia melambat cukup dalam ke level 50,6 pada bulan lalu. Padahal, di Agustus indeks ini masih mencapai 51,9.
Indeks di atas 50 memang masih menandakan industri yang ekspansif, tapi ekspansinya nampaknya mulai melambat. Banyak tantangan yang memang sedang menghadang ekonomi RI. Dari eksternal ada isu perang dagang, sedangkan dari dalam negeri ada kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI)
Oleh karena itu, meski surplus di bulan lalu berpotensi meringankan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di kuartal III-2018, tapi data tersebut juga perlu dimaknai sebagai "alarm"melambatnya roda perekonomian dalam negeri.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular