
Anjlok 1,6%, Harga Batu Bara Terlemah Sejak Mei 2018
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 October 2018 11:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak acuan amblas sebesar 1,60% pada penutupan perdagangan hari Selasa (9/10/2018) ke level US$110,95/Metrik Ton (MT).
Harga si batu hitam kini sudah melemah secara 6 hari berturut-turut, sekaligus terperosok ke level terendahnya dalam 4,5 bulan terakhir, atau sejak 31 Mei 2018.
Sejumlah sentimen negatif memang masih membayangi pergerakan harga batu bara, utamanya dari menipisnya permintaan dari China sebagai importir batu bara terbesar dunia.
Mengutip data dari Biro Statistik Australia, volume eskpor batu bara termal made in Australia ke China tercatat menurun sebesar 32,4% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke angka 3 juta MT pada bulan Agustus. Pelemahan itu menjadi yang kedua kalinya berturut-turut setelah pada Juli juga tercatat anjlok 30% MtM.
Menipisnya permintaan memang wajar terjadi karena puncak musim panas di Bumi Belahan Utara (BBU) sudah terlewati. Sebelumnya, akibat musim panas yang lebih panas dari biasanya, permintaan batu bara China meningkat demi memenuhi kebutuhan pembangkit listrik. Pasalnya, diperlukan listrik dalam jumlah banyak untuk menyalakan mesin pendingin ruangan.
Selain itu, memasuki bulan September, pemerintah China juga menerapkan kebijakan pembatasan impor dalam rangka menggenjot produksi batu bara domestik. Hal ini semakin menekan importase batu bara Negeri Panda.
Persepsi penurunan permintaan ke depan juga muncul akibat data ekonomi China yang mengecewakan. Indeks manufaktur PMI China edisi September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan 51,2.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat ke angka 48 pada September, dari sebelumnya 49,4 pada Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut.
Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China telah mendinginkan perekonomian Negeri Tirai Bambu. Akibatnya, permintaan energi (termasuk batu bara) pun dipastikan terpukul.
Terlebih, kemarin Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Pertumbuhan ekonomi China sendiri diproyeksikan menurun ke 6,2% di 2019, dari sebelumnya 6,4%.
IMF menyebutkan faktor utama penyebab perlambatan ekonomi global adalah perang dagang AS vs China. Perang dagang diperkirakan akan mengganggu rantai pasok global. Hal ini semakin mempertegas bahwa permintaan energi dunia (termasuk batu bara) akan menipis.
BACA: IMF Pesimistis, Harga Minyak Dunia Terkikis
Sentimen menipisnya permintaan akhirnya sukses memaksa harga batu bara tenggelam lebih dalam pada perdagangan kemarin.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Harga si batu hitam kini sudah melemah secara 6 hari berturut-turut, sekaligus terperosok ke level terendahnya dalam 4,5 bulan terakhir, atau sejak 31 Mei 2018.
Mengutip data dari Biro Statistik Australia, volume eskpor batu bara termal made in Australia ke China tercatat menurun sebesar 32,4% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke angka 3 juta MT pada bulan Agustus. Pelemahan itu menjadi yang kedua kalinya berturut-turut setelah pada Juli juga tercatat anjlok 30% MtM.
Menipisnya permintaan memang wajar terjadi karena puncak musim panas di Bumi Belahan Utara (BBU) sudah terlewati. Sebelumnya, akibat musim panas yang lebih panas dari biasanya, permintaan batu bara China meningkat demi memenuhi kebutuhan pembangkit listrik. Pasalnya, diperlukan listrik dalam jumlah banyak untuk menyalakan mesin pendingin ruangan.
Selain itu, memasuki bulan September, pemerintah China juga menerapkan kebijakan pembatasan impor dalam rangka menggenjot produksi batu bara domestik. Hal ini semakin menekan importase batu bara Negeri Panda.
Persepsi penurunan permintaan ke depan juga muncul akibat data ekonomi China yang mengecewakan. Indeks manufaktur PMI China edisi September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan 51,2.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat ke angka 48 pada September, dari sebelumnya 49,4 pada Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut.
Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China telah mendinginkan perekonomian Negeri Tirai Bambu. Akibatnya, permintaan energi (termasuk batu bara) pun dipastikan terpukul.
Terlebih, kemarin Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Pertumbuhan ekonomi China sendiri diproyeksikan menurun ke 6,2% di 2019, dari sebelumnya 6,4%.
IMF menyebutkan faktor utama penyebab perlambatan ekonomi global adalah perang dagang AS vs China. Perang dagang diperkirakan akan mengganggu rantai pasok global. Hal ini semakin mempertegas bahwa permintaan energi dunia (termasuk batu bara) akan menipis.
BACA: IMF Pesimistis, Harga Minyak Dunia Terkikis
Sentimen menipisnya permintaan akhirnya sukses memaksa harga batu bara tenggelam lebih dalam pada perdagangan kemarin.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular