
IMF Pesimistis, Harga Minyak Dunia Terkikis
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 October 2018 10:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 turun 0,25% ke level US$84,79/barel hingga pukul 10.17 WIB, pada perdagangan hari Rabu (10/10/2018). Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak November 2018 melemah 0,47% ke level US$74,61/barel.
Dengan pergerakan tersebut, harga sang emas hitam tak mampu melanjutkan penguatan pada perdagangan kemarin. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (9/10/2018), harga brent yang menjadi acuan di Eropa naik 1% lebih, hingga kembali ke level US$85/barel.
Sentimen utama yang menopang harga minyak kemarin datang dari eskpor minyak Iran yang anjlok makin parah jelang berlakunya sanksi dari Amerika Serikat (AS) pada November mendatang. Pada pekan pertama Oktober, Teheran "hanya" mengekspor 1,1 juta barel/hari minyak mentah, mengutip data dari Revinitif Eikon.
BACA: Penurunan Ekspor Iran Makin Parah, Harga Minyak Rebound
Jumlah itu turun dari angka 2,5 juta barel/hari pada April, sebelum Presiden AS Donald Trump membatalkan kesepakatan nuklir Iran dan memberlakukan kembali sanksi. Pada puncaknya di 2018, Iran bahkan mampu mengekspor 2,71 juta barel/hari, hampir 3% dari konsumsi harian minyak mentah global.
Selain itu, sentimen lainnya datang dari ledakan kuat di kilang Brod (Bosnia). Kilang ini dimiliki oleh Zarubezhneft, perusahaan minyak Rusia. Belum ada laporan korban jiwa, tetapi setidaknya 8 orang pekerja terluka dalam insiden ini.
Dua kombinasi sentimen di atas membuat investor mencemaskan berkurangnya pasokan minyak ke pasar global. Alhasil, hal itu bisa mengerek harga minyak ke atas kemarin.
Sayangnya, pada hari ini harga minyak seolah kehilangan energinya. Adalah proyeksi IMF yang menjadi pemberatnya. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Faktor utama penyebab perlambatan ekonomi global adalah perang dagang AS vs China. Perang dagang diperkirakan akan mengganggu rantai pasok global.
"Bea masuk AS yang dikenakan terhadap produk China akan mengganggu rantai pasok, terutama jika ada pembalasan. Kebijakan perdagangan dan ketidakpastian sudah berdampak kepada berbagai perusahaan," tegas Maurice Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, dalam pidatonya di Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, kemarin.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat tentu saja akan diiringi oleh penurunan permintaan energi dunia (termasuk minyak bumi). Hal ini lantas mampu menyeret harga minyak ke zona merah pada perdagangan pagi ini.
Meski demikian, akibat semakin jatuhnya ekspor dari Iran, pelemahan harga masih cenderung terbatas. Terlebih, hampir 40% pasokan minyak mentah harian AS dari Teluk Meksiko hilang akibat penutupan operasional dan evakuasi kemarin, menyusul datangnya Badai Michael. Alhasil, penurunan harga minyak pun tidak terlalu dalam.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Dengan pergerakan tersebut, harga sang emas hitam tak mampu melanjutkan penguatan pada perdagangan kemarin. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (9/10/2018), harga brent yang menjadi acuan di Eropa naik 1% lebih, hingga kembali ke level US$85/barel.
Sentimen utama yang menopang harga minyak kemarin datang dari eskpor minyak Iran yang anjlok makin parah jelang berlakunya sanksi dari Amerika Serikat (AS) pada November mendatang. Pada pekan pertama Oktober, Teheran "hanya" mengekspor 1,1 juta barel/hari minyak mentah, mengutip data dari Revinitif Eikon.
Jumlah itu turun dari angka 2,5 juta barel/hari pada April, sebelum Presiden AS Donald Trump membatalkan kesepakatan nuklir Iran dan memberlakukan kembali sanksi. Pada puncaknya di 2018, Iran bahkan mampu mengekspor 2,71 juta barel/hari, hampir 3% dari konsumsi harian minyak mentah global.
Selain itu, sentimen lainnya datang dari ledakan kuat di kilang Brod (Bosnia). Kilang ini dimiliki oleh Zarubezhneft, perusahaan minyak Rusia. Belum ada laporan korban jiwa, tetapi setidaknya 8 orang pekerja terluka dalam insiden ini.
Dua kombinasi sentimen di atas membuat investor mencemaskan berkurangnya pasokan minyak ke pasar global. Alhasil, hal itu bisa mengerek harga minyak ke atas kemarin.
Sayangnya, pada hari ini harga minyak seolah kehilangan energinya. Adalah proyeksi IMF yang menjadi pemberatnya. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Faktor utama penyebab perlambatan ekonomi global adalah perang dagang AS vs China. Perang dagang diperkirakan akan mengganggu rantai pasok global.
"Bea masuk AS yang dikenakan terhadap produk China akan mengganggu rantai pasok, terutama jika ada pembalasan. Kebijakan perdagangan dan ketidakpastian sudah berdampak kepada berbagai perusahaan," tegas Maurice Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, dalam pidatonya di Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, kemarin.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat tentu saja akan diiringi oleh penurunan permintaan energi dunia (termasuk minyak bumi). Hal ini lantas mampu menyeret harga minyak ke zona merah pada perdagangan pagi ini.
Meski demikian, akibat semakin jatuhnya ekspor dari Iran, pelemahan harga masih cenderung terbatas. Terlebih, hampir 40% pasokan minyak mentah harian AS dari Teluk Meksiko hilang akibat penutupan operasional dan evakuasi kemarin, menyusul datangnya Badai Michael. Alhasil, penurunan harga minyak pun tidak terlalu dalam.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular