
Banyak Kabar Negatif, Harga Batu Bara Turun Sepekan Lalu
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 October 2018 11:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak acuan terkoreksi tipis 0,09% pada penutupan perdagangan hari Jumat (5/10/2018) ke level US$113,65/Metrik Ton (MT). Dalam kurun waktu sepekan terakhir, harga si batu hitam turun 0,18% secara point-to-point.
Sejumlah sentimen negatif memang membayangi pergerakan harga batu bara di sepanjang pekan lalu. Pertama, persepsi penurunan permintaan akibat data ekonomi China yang mengecewakan. Indeks manufaktur PMI China edisi September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan 51,2.
Data serupa yang dikeluarkan swasta versi Caixin/Markit (yang berfokus pada perusahaan kecil dan menengah, yang vital bagi penciptaan lapangan kerja China) juga menunjukkan pelemahan ke angka 50 pada September. Juga lebih rendah dari konsensus Reuters yang sebesar 50,5.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat ke angka 48 pada September, dari sebelumnya 49,4 pada Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut.
Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China telah mendinginkan perekonomian Negeri Tirai Bambu. Akibatnya, permintaan batu bara pun dipastikan terpukul. Pasalnya, China adalah importir batu bara terbesar di dunia.
Kedua, perkasanya dolar Amerika Serikat (AS). Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) menguat hingga 0,52% secara point-to-point.
Dolar AS memang sedang seksi dan menjadi aset utama buruan investor dunia. Pada 26 September lalu, The Federal Reserve/The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 2-2,25% atau median 2,125%.
Tidak hanya itu, The Fed pun menargetkan suku bunga acuan berada di kisaran median 2,4% pada akhir 2018. Oleh karena itu, kemungkinan besar akan ada kenaikan sekali lagi yang hampir pasti dieksekusi pada Desember.
Meski hasil rapat The Fed diumumkan 26 September waktu setempat (27 September dini hari waktu Indonesia), tetapi masih bergaung sampai pekan lalu. Kenaikan suku bunga tentu akan membuat dolar AS menjadi menarik, karena membuat imbalan investasi (khususnya di instrumen berpendapatan tetap) ikut terkerek.
Penguatan dolar AS akan membuat harga batu bara menjadi relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang selain greenback. Akibatnya, muncul sentimen akan menurunnya permintaan salah satu komoditas energi utama dunia tersebut.
BACA: Dolar AS Perkasa, Harga Batu Bara Masih Nelangsa
Ketiga, penurunan ekspor Australia di bulan Agustus. Mengutip data dari Biro Statistik Australia, volume eskpor batu bara termal made in Australia ke China tercatat menurun sebesar 32,4% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke angka 3 juta MT pada bulan Agustus. Pelemahan itu menjadi yang kedua kalinya berturut-turut setelah pada Juli juga tercatat anjlok 30% MtM.
Kemudian, volume ekspor batu bara Negeri Kanguru ke Jepang dan Taiwan juga melandai masing-masing sebesar 5,2% MtM dan 19,7% MtM. Padahal pada bulan Juli, ekspornya masih mampu mencatatkan pertumbuhan positif.
Peningkatan ekspor di Agustus hanya terjadi untuk tujuan Korea Selatan, di mana volume ekspornya meningkat 29,8% MtM ke 3,41 juta MT.
Secara keseluruhan, ekspor batu bara termal Australia tercatat menurun sebesar 8,7% MtM. Catatan itu lantas memutus kenaikan bulanan selama 3 bulan beruntun sebelumnya. Data ini lantas menimbulkan kekhawatiran investor bahwa permintaan komoditas energi tak ramah lingkungan ini mulai menipis.
Menipisnya permintaan memang wajar terjadi karena puncak musim panas di Bumi Belahan Utara (BBU) sudah terlewati. Sebelumnya, akibat musim panas yang lebih panas dari biasanya, permintaan batu bara meningkat demi memenuhi kebutuhan pembangkit listrik. Pasalnya, kebutuhan mesin pendingin ruangan melonjak.
BACA: Ekspor Australia Lesu, Harga Batubara Koreksi 3 Hari Beruntun
Meski demikian, pelemahan harga batu bara masih cenderung terbatas. Penyebabnya, proyeksi ekspor batu bara Australia justru diperkirakan masih kuat hingga tahun depan. Pendapatan ekspor batu bara termal Australia diproyeksikan meningkat ke AU$25 miliar (US$18,07 miliar) pada periode 2018-2019, dari catatan sebelumnya sebesar AU$23 miliar (US$16,62 miliar) pada 2017-2018, mengutip data dari Departemen Industri, Inovasi, dan Ilmu Pengetahuan Australia.
Peningkatan ekspor tersebut didorong oleh konsumsi yang masih sehat dari China, seiring kuatnya permintaan sektor ketenagalistrikan serta pembatasan produksi batu bara domestik. Permintaan energi listrik diperkirakan masih kuat menyusul cuaca musim dingin yang diperkirakan akan lebih dingin dari biasanya.
Proyeksi kuatnya permintaan impor tersebut lantas mampu mencegah harga batu bara jatuh terlalu dalam di sepanjang pekan lalu.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Sejumlah sentimen negatif memang membayangi pergerakan harga batu bara di sepanjang pekan lalu. Pertama, persepsi penurunan permintaan akibat data ekonomi China yang mengecewakan. Indeks manufaktur PMI China edisi September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan 51,2.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat ke angka 48 pada September, dari sebelumnya 49,4 pada Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut.
Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China telah mendinginkan perekonomian Negeri Tirai Bambu. Akibatnya, permintaan batu bara pun dipastikan terpukul. Pasalnya, China adalah importir batu bara terbesar di dunia.
Kedua, perkasanya dolar Amerika Serikat (AS). Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) menguat hingga 0,52% secara point-to-point.
Dolar AS memang sedang seksi dan menjadi aset utama buruan investor dunia. Pada 26 September lalu, The Federal Reserve/The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 2-2,25% atau median 2,125%.
Tidak hanya itu, The Fed pun menargetkan suku bunga acuan berada di kisaran median 2,4% pada akhir 2018. Oleh karena itu, kemungkinan besar akan ada kenaikan sekali lagi yang hampir pasti dieksekusi pada Desember.
Meski hasil rapat The Fed diumumkan 26 September waktu setempat (27 September dini hari waktu Indonesia), tetapi masih bergaung sampai pekan lalu. Kenaikan suku bunga tentu akan membuat dolar AS menjadi menarik, karena membuat imbalan investasi (khususnya di instrumen berpendapatan tetap) ikut terkerek.
Penguatan dolar AS akan membuat harga batu bara menjadi relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang selain greenback. Akibatnya, muncul sentimen akan menurunnya permintaan salah satu komoditas energi utama dunia tersebut.
BACA: Dolar AS Perkasa, Harga Batu Bara Masih Nelangsa
Ketiga, penurunan ekspor Australia di bulan Agustus. Mengutip data dari Biro Statistik Australia, volume eskpor batu bara termal made in Australia ke China tercatat menurun sebesar 32,4% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke angka 3 juta MT pada bulan Agustus. Pelemahan itu menjadi yang kedua kalinya berturut-turut setelah pada Juli juga tercatat anjlok 30% MtM.
Kemudian, volume ekspor batu bara Negeri Kanguru ke Jepang dan Taiwan juga melandai masing-masing sebesar 5,2% MtM dan 19,7% MtM. Padahal pada bulan Juli, ekspornya masih mampu mencatatkan pertumbuhan positif.
Peningkatan ekspor di Agustus hanya terjadi untuk tujuan Korea Selatan, di mana volume ekspornya meningkat 29,8% MtM ke 3,41 juta MT.
Secara keseluruhan, ekspor batu bara termal Australia tercatat menurun sebesar 8,7% MtM. Catatan itu lantas memutus kenaikan bulanan selama 3 bulan beruntun sebelumnya. Data ini lantas menimbulkan kekhawatiran investor bahwa permintaan komoditas energi tak ramah lingkungan ini mulai menipis.
Menipisnya permintaan memang wajar terjadi karena puncak musim panas di Bumi Belahan Utara (BBU) sudah terlewati. Sebelumnya, akibat musim panas yang lebih panas dari biasanya, permintaan batu bara meningkat demi memenuhi kebutuhan pembangkit listrik. Pasalnya, kebutuhan mesin pendingin ruangan melonjak.
BACA: Ekspor Australia Lesu, Harga Batubara Koreksi 3 Hari Beruntun
Meski demikian, pelemahan harga batu bara masih cenderung terbatas. Penyebabnya, proyeksi ekspor batu bara Australia justru diperkirakan masih kuat hingga tahun depan. Pendapatan ekspor batu bara termal Australia diproyeksikan meningkat ke AU$25 miliar (US$18,07 miliar) pada periode 2018-2019, dari catatan sebelumnya sebesar AU$23 miliar (US$16,62 miliar) pada 2017-2018, mengutip data dari Departemen Industri, Inovasi, dan Ilmu Pengetahuan Australia.
Peningkatan ekspor tersebut didorong oleh konsumsi yang masih sehat dari China, seiring kuatnya permintaan sektor ketenagalistrikan serta pembatasan produksi batu bara domestik. Permintaan energi listrik diperkirakan masih kuat menyusul cuaca musim dingin yang diperkirakan akan lebih dingin dari biasanya.
Proyeksi kuatnya permintaan impor tersebut lantas mampu mencegah harga batu bara jatuh terlalu dalam di sepanjang pekan lalu.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular