
Dolar AS Perkasa, Harga Batu Bara Masih Nelangsa
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
04 October 2018 12:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak acuan terkoreksi 0,13% ke level US$113,9/Metrik Ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Rabu (3/10/2018). Dengan pergerakan kemarin, harga si batu hitam sudah melemah secara 2 hari berturut-turut.
Penguatan dolar AS serta mengecewakannya data ekonomi China masih memberikan sentimen bahwa permintaan batu bara akan tergerus. Akhirnya, sentimen penurunan permintaan tersebut ditransmisikan menjadi penurunan harga.
Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia menguat hingga 0,27% pada penutupan perdagangan kemarin. Dengan pergerakan itu, indeks ini sudah menguat hingga 6 hari berturut-turut.
Memegang dolar AS menjadi menguntungkan karena The Federal Reserve/The Fed masih dalam mode pengetatan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan. Setelah menaikkan suku bunga acuan pekan lalu, The Fed kemungkinan besar kembali melakukan kebijakan serupa pada akhir tahun.
Penguatan dolar AS akan membuat harga batu bara menjadi relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang selain greenback. Akibatnya, muncul sentimen akan menurunnya permintaan salah satu komoditas energi utama dunia tersebut.
BACA: Penguatan Dolar Berdampak Negatif Terhadap Harga Batu Bara
Selain itu, persepsi penurunan permintaan juga datang dari data ekonomi China yang mengecewakan. Indeks manufaktur PMI China edisi September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan 51,2.
Data serupa yang dikeluarkan swasta versi Caixin/Markit (yang berfokus pada perusahaan kecil dan menengah, yang vital bagi penciptaan lapangan kerja China) juga menunjukkan pelemahan ke angka 50 pada September. Juga lebih rendah dari konsensus Reuters yang sebesar 50,5.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat angka 48 pada September, dari sebelumnya 49,4 pada Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut.
Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China telah mendinginkan perekonomian Negeri Tirai Bambu. Akibatnya, permintaan batu bara pun dipastikan terpukul. Pasalnya, China adalah importir batu bara terbesar di dunia.
Meski demikian, pelemahan harga batu bara masih cenderung terbatas. Pasalnya, proyeksi ekspor batu bara Australia diperkirakan masih kuat di tahun ini. Pendapatan ekspor batu bara termal Australia diproyeksikan meningkat ke AU$25 miliar (US$18,07 miliar) pada periode 2018-2019, dari catatan sebelumnya sebesar AU$23 miliar (US$16,62 miliar) pada 2017-2018, mengutip data dari Departemen Industri, Inovasi, dan Ilmu Pengetahuan Australia.
Peningkatan ekspor tersebut didorong oleh konsumsi yang masih sehat dari China dan India, seiring kuatnya permintaan sektor ketenagalistrikan serta pembatasan produksi batu bara domestik. Proyeksi kuatnya permintaan impor tersebut lantas mampu mencegah harga batu bara jatuh terlalu dalam.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Penguatan dolar AS serta mengecewakannya data ekonomi China masih memberikan sentimen bahwa permintaan batu bara akan tergerus. Akhirnya, sentimen penurunan permintaan tersebut ditransmisikan menjadi penurunan harga.
Memegang dolar AS menjadi menguntungkan karena The Federal Reserve/The Fed masih dalam mode pengetatan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan. Setelah menaikkan suku bunga acuan pekan lalu, The Fed kemungkinan besar kembali melakukan kebijakan serupa pada akhir tahun.
Penguatan dolar AS akan membuat harga batu bara menjadi relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang selain greenback. Akibatnya, muncul sentimen akan menurunnya permintaan salah satu komoditas energi utama dunia tersebut.
BACA: Penguatan Dolar Berdampak Negatif Terhadap Harga Batu Bara
Selain itu, persepsi penurunan permintaan juga datang dari data ekonomi China yang mengecewakan. Indeks manufaktur PMI China edisi September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters yang memperkirakan 51,2.
Data serupa yang dikeluarkan swasta versi Caixin/Markit (yang berfokus pada perusahaan kecil dan menengah, yang vital bagi penciptaan lapangan kerja China) juga menunjukkan pelemahan ke angka 50 pada September. Juga lebih rendah dari konsensus Reuters yang sebesar 50,5.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat angka 48 pada September, dari sebelumnya 49,4 pada Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut.
Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China telah mendinginkan perekonomian Negeri Tirai Bambu. Akibatnya, permintaan batu bara pun dipastikan terpukul. Pasalnya, China adalah importir batu bara terbesar di dunia.
Meski demikian, pelemahan harga batu bara masih cenderung terbatas. Pasalnya, proyeksi ekspor batu bara Australia diperkirakan masih kuat di tahun ini. Pendapatan ekspor batu bara termal Australia diproyeksikan meningkat ke AU$25 miliar (US$18,07 miliar) pada periode 2018-2019, dari catatan sebelumnya sebesar AU$23 miliar (US$16,62 miliar) pada 2017-2018, mengutip data dari Departemen Industri, Inovasi, dan Ilmu Pengetahuan Australia.
Peningkatan ekspor tersebut didorong oleh konsumsi yang masih sehat dari China dan India, seiring kuatnya permintaan sektor ketenagalistrikan serta pembatasan produksi batu bara domestik. Proyeksi kuatnya permintaan impor tersebut lantas mampu mencegah harga batu bara jatuh terlalu dalam.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular