Newsletter

Biang Kerok Itu Bernama Yield Obligasi AS

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 October 2018 05:38
Biang Kerok Itu Bernama Yield Obligasi AS
Bursa Efek Indonesia (REUTERS/Iqro Rinaldi)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani periode buruk pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) amblas, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah dalam, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah menanjak. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 4,09%. Sementara rupiah melemah 1,84% di hadapan greenback dan yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun melonjak 19,3 basis poin/bps. 

Ada beberapa penyebab kejatuhan pasar keuangan Indonesia. Pertama adalah dolar AS yang terlalu kuat. Selama minggu kemarin, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,52%. 

Dolar AS memang sedang seksi dan menjadi aset utama buruan investor dunia. Pada 26 September lalu, The Federal Reserve/The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 2-2,25% atau median 2,125%.  

Tidak hanya itu, The Fed pun menargetkan suku bunga acuan berada di kisaran median 2,4% pada akhir 2018. Oleh karena itu, kemungkinan besar akan ada kenaikan sekali lagi yang hampir pasti dieksekusi pada Desember. 

Meski hasil rapat The Fed diumumkan 26 September waktu setempat (27 September dini hari waktu Indonesia), tetapi masih bergaung sampai pekan lalu. Kenaikan suku bunga tentu akan membuat dolar AS menjadi menarik, karena membuat imbalan investasi (khususnya di instrumen berpendapatan tetap) ikut terkerek. 

Benar saja. Sepanjang pekan lalu, yield obligasi AS tenor 10 tahun melesat 17,1 bps. Kenaikan yield di AS adalah sinyal bullish bagi greenback, karena yield yang tinggi ini akan membuat kupon di lelang obligasi berikutnya akan naik.  

Inilah mengapa yield yang tinggi bisa menaikkan nilai dolar AS, karena minat investor akan tinggi ketika lelang obligasi selanjutnya. Untuk membeli obligasi pemerintah AS tentu butuh greenback, sehingga permintaan terhadap mata uang ini akan tinggi dan nilainya semakin mahal alias menguat. 

Tingginya permintaan terhadap dolar AS ini membuat mata uang Negeri Adidaya semakin digdaya. Arus modal yang bergerombol di sekitar dolar AS membuat pasar keuangan negara-negara lain ditinggalkan, termasuk Indonesia. 

Faktor kedua adalah Italia. Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte berencana mengesahkan anggaran negara yang agresif dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama 2019-2021. Padahal pemerintahan sebelum Conte merancang anggaran negara hanya 0,8% PDB pada 2019 dan mencapai anggaran berimbang (fiscal balance) pada 2020. 

Pelaku pasar cemas karena Italia pernah mengalami krisis fiskal pada 2009-2010. Krisis ini menjadi sentimen negatif sehingga melemahkan pasar keuangan global.  

Investor takut hal serupa terulang saat Italia ingin defisit anggaran yang besar, artinya utang pemerintah Negeri Pizza akan semakin menumpuk. Pada akhir 2017, utang pemerintah Italia masih sangat besar yaitu mencapai 131,8% PDB. 

Melihat risiko besar di Benua Biru, investor pun mundur teratur. Bermain aman adalah pilihan yang bijak, karena tentu tidak ada yang mau uangnya 'terbakar'.

Sikap main aman ini lagi-lagi membuat aliran modal terpusat ke dolar AS sebagai salah satu safe haven. Negara-negara lain hanya kebagian sisanya.
 

Faktor ketiga adalah dari dalam negeri yaitu terkait masa depan transaksi berjalan (current account) Indonesia yang suram. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan transaksi berjalan masih akan defisit cukup dalam pada akhir 2018, yaitu mencapai kisaran 3% PDB. 

Artinya, masa depan rupiah bisa dibilang suram karena sampai akhir tahun akan minim sokongan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan valas dari pasar keuangan pun seret, karena seperti kita tahu arus modal hot money lebih berpihak ke AS. 

Ini menyebabkan investor cenderung menghindari rupiah, karena mereka tentu enggan berinvestasi di aset yang ke depan nilainya kemungkinan turun. Hasilnya terpampang nyata, IHSG ambrol, rupiah melemah, dan yield melompat.

Namun bukan hanya IHSG yang melemah, Wall Street pun mengalami gejala serupa. Sepanjang pekan lalu, Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi tipis 0,04%, S&P 500 berkurang 0,98%, dan Nasdaq Composite ambruk 3,2%. Ini merupakan koreksi mingguan terdalam yang dialami Nasdaq sejak Maret lalu. 

Seperti halnya di Indonesia, bursa saham New York juga kekurangan 'darah' seiring kenaikan yield obligasi AS. Di AS, pergerakan pasar saham dan yield obligasi berbanding terbalik.  

Saat pasar saham bullish, maka yield bergerak turun karena menandakan risiko sedang minim. Sebaliknya ketika pasar saham tertekan berarti yield naik karena ada indikasi risiko ke depan. 

Risiko itu bernama inflasi. Meski saat ini belum terlalu kelihatan, tetapi risiko inflasi di Negeri Paman Sam semakin nyata seiring membaiknya data-data ekonomi di sana. 

Terakhir, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan angka pengangguran pada September sebesar 3,7%, lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yaitu 3,8%. Angka pengangguran 3,7% merupakan yang terendah sejak 1969. 

Rendahnya angka pengangguran berarti ada potensi peningkatan konsumsi masyarakat. Apabila dunia usaha kewalahan memenuhi kenaikan permintaan ini, maka tekanan inflasi sudah di depan mata. 

Risiko inflasi yang kian nyata membuat investor 'bertaruh' dengan yield obligasi. Seberapa tinggi yield obligasi dianggap pantas untuk menutup inflasi? Pertaruhan ini dilakukan dengan melepas obligasi sehingga harganya turun dan mendongrak yield

Semakin lama yield semakin terdorong ke atas, sehingga memancing minat investor untuk mendapatkan cuan di instrumen ini. Cuan ini akan didapat di lelang obligasi berikutnya, karena pasti ada penawaran kupon yang tinggi. 

Lelang obligasi pemerintah AS terdekat adalah pada 9 Oktober waktu setempat yaitu untuk tenor-tenor jangka pendek seperti 4, 13, 26, dan 52 minggu. Lalu pada 10 Oktober akan ada lelang lagi untuk tenor yang lebih panjang yaitu 3 dan 10 tahun. 

Didorong oleh pencarian cuan, investor ramai-ramai berburu dolar AS sebagai amunisi menghadapi lelang obligasi pemerintah AS ke depan. Greenback pun semakin melaju dan meninggalkan Wall Street di belakang. 


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan dari Wall Street yang akhir pekan lalu finis di jalur merah. DJIA melemah 0,68%, S&P 500 terkoreksi 0,55%, dan Nasdaq anjlok 1,21%. Penyebabnya ya karena yang sudah dibahas sebelumnya yaitu lonjakan yield obligasi. 

Hari ini pasar AS libur karena di sana masih Minggu, tetapi Senin waktu setempat pasar keuangan AS pun masih tutup memperingati hari Christopher Columbus menemukan Benua Amerika (Columbus Day). Artinya, tren kenaikan yield obligasi AS akan berhenti sejenak dan investor bisa menarik nafas dulu. Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh IHSG dan rupiah untuk membalikkan kedudukan. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS. Di pasar luar negeri, dolar AS tetap diperdagangkan dan ada potensi untuk menguat. Nantinya ini bisa dilihat dari pergerakan Dollar Index. 

Energi penguatan bagi dolar AS akan datang dari pernyataan John Williams, Presiden The Fed New York. Menurutnya, butuh waktu untuk kenaikan suku bunga acuan agar dapat memperlambat laju perekonomian.  

"Ekonomi masih akan terus melaju sementara (suku bunga) kebijakan membutuhkan waktu untuk membuat laju ini berkelanjutan. Kenaikan suku bunga acuan adalah jalan yang baik," kata Williams, mengutip Reuters. 

Pernyataan ini bisa dibaca sebagai sinyal bahwa The Fed tidak akan ragu untuk terus mengerek suku bunga ke atas. Akibatnya, berinvestasi di mata uang ini akan tetap menguntungkan sehingga permintaannya akan meningkat. Kenaikan permintaan terhadap dolar AS tentu membuat nilai tukarnya semakin mahal atau menguat. 

Sentimen ketiga adalah dari Eropa. Ternyata masalah di Italia belum selesai. Akhir pekan lalu, Uni Eropa mengirimkan surat kepada pemerintah Italia yang berisi keprihatinan terhadap rencana anggaran negara.

Surat ini tetap dilayangkan meski pemerintahan PM Conte berniat menurunkan defisit anggaran menjadi 2,1% PDB pada 2020 dan 1,8% PDB pada 2021. Defisit anggaran 2019 tetap direncanakan 2,4% PDB. 

"Kami meminta otoritas di Italia untuk memastikan (anggaran) berjalan sesuai kepatuhan terhadap aturan bersama. Kami ingin melihat langkah-langkah untuk mewujudkannya," sebut surat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Uni Eropa Vladis Dombrovkis dan Komisioner Ekonomi Uni Eropa Pierre Moscovici yang diterbitkan oleh harian La Repubblica dan dikutip oleh Reuters. 

Surat ini bisa membuat suasana yang sudah dingin kembali memanas. Sebelumnya, sempat muncul suara-suara yang menginginkan agar Italia menanggalkan penggunaan mata uang euro agar Uni Eropa tidak lagi merecoki urusan dalam negeri.  

"Saya sangat yakin Italia bisa memecahkan sebagian besar masalahnya jika memiliki mata uang sendiri," tegas Claudio Borghi, Ketua Tim Ekonomi Liga, dikutip dari Reuters. 

Lagi-lagi perkembangan ini bisa memicu perburuan dolar AS karena investor memilih mencari aman dan menghindari aset-aset berisiko. Greenback semakin punya alasan untuk terus menguat. 


Sentimen keempat adalah perkembangan perang dagang AS vs China yang bisa kumat sewaktu-waktu. Teranyar, AS sedang mencari kawan dengan menggandeng Uni Eropa dan Jepang untuk bersama-sama menekan China. 

Saat ini, Washington sedang dalam pembicaraan awal dengan Brussel dan Tokyo untuk menurunkan tarif bea masuk dan hambatan regulasi. Jika hasilnya sukses seperti perundingan dengan Meksiko dan Kanada, maka AS secara de facto akan membentuk blok perdagangan untuk menghadapi China. 

Dalam kesepakatan trilateral AS-Meksiko-Kanada (USMCA), ada klausul yang menyebutkan bahwa jika salah satu pihak yang membuka kerjasama dengan negara yang tidak menerapkan mekanisme pasar dalam perdagangan, maka dua negara lainnya boleh keluar dan pembentuk perjanjian bilateral. Negara yang tidak menerapkan mekanisme pasar dalam perdagangan tentu saja merujuk ke China. 

"Itu logis, semacam pil racun," ujar Wilbur Ross, Menteri Perdagangan AS, dikutip dari Reuters. Pil racun di sini maksudnya adalah barang siapa yang melanggar, sama saja bunuh diri. 

Apabila Uni Eropa dan Jepang sepakat dengan klausul seperti USMCA tersebut, maka posisi China bisa semakin terpojok. "Klausul itu bisa dipakai di perundingan Meksiko dan Kanada. Apakah bisa dipakai untuk negara lain, kita lihat saja nanti," tambah Ross. 

Beijing belum menanggapi dinamika ini. Namun ada kemungkinan China akan membalas, entah dengan pengenaan bea masuk baru atau ikut mencari sekutu. Rusia adalah sekutu potensial, karena baru-baru ini Beijing telah membeli pesawat tempur dari Negeri Beruang Merah, langkah yang memancing murka AS. 

Bila perang dagang AS vs China semakin panas dan meluas dengan melibatkan negara-negara lain, maka perekonomian dunia akan di ujung tanduk. Saling hambat perdagangan akan terus terjadi dan mengancam pertumbuhan ekonomi global. 

Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis cadangan devisa. Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa per akhir September sebesar US$ 114,85 miliar. Turun US$ 3,08 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Sejak awal tahun, cadangan devisa Indonesia sudah melorot US$ 17,13 miliar. 

Cadangan devisa memang masih memadai dan di atas kecukupan internasional. Namun apabila terus berkurang, maka akan menimbulkan persepsi bahwa Indonesia semakin rentan menghadapi gejolak eksternal. 

Menipisnya cadangan devisa membuat amunisi bank sentral untuk mengintervensi rupiah kian terbatas. Alhasil, rupiah bisa kekurangan energi untuk bisa menguat pada awal pekan ini. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data penjualan ritel Indonesia periode Agustus 2018 (tentatif).
  • Rilis data indeks PMI Caixin sektor jasa China periode September 2018 (08.45 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Sillo Maritime Perdana Tbk (SHIP)RUPSLB11:00
PT Matahari Department Store Tbk (LPPF)RUPSLB14:00
PT Skybee Tbk (SKYB)RUPS Tahunan14:00

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 114.85 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular