IHSG Tersudut ke 5.736 di Sesi I Menyusul Data Positif AS

Yazid Muamar, CNBC Indonesia
05 October 2018 11:50
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada siang ini Jumat (5/10/2018) terkoreksi 0,34%
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada siang ini Jumat (5/10/2018) terkoreksi 0,34% ke level 5.736, mengekor bursa-bursa utama kawasan Asia yang juga bergerak di zona merah: indeks Nikkei turun 1,04%, Hang Seng turun 2,09%, Strait Times turun 2,02%, dan indeks Kospi turun 1,85%.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 3,3 triliun dengan volume sebanyak 5,9 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 182.229 kali.

Rupiah kembali tak berdaya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), Hingga pukul 11:00 WIB, rupiah melemah 0,1% di pasar spot ke level 15.180/dolar AS. Greenback memang sedang menguat, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang sedang melejit 0,07% ke level 95.82.

Penguatan dolar AS dipicu oleh positifnya rilis data ekonomi di Negeri Paman Sam. Kemarin (3/10/2018), angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode September versi Automatic Data Processing (ADP) diumumkan sebesar 230.000, mengalahkan konsensus yang sebesar 185.000 saja.

Kemudian, ISM Non-Manufacturing PMI periode September diumumkan di level 61,6, juga mengalahkan konsensus yang sebesar 58.


Positifnya data tersebut tak hanya mengonfirmasi bahwa perekonomian AS sedang melaju kencang, namun juga mengindikasikan bahwa perang dagang yang tengah bergejolak dengan China belum memberi dampak signifikan. Pada akhirnya, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali tahun ini oleh the Federal Reserve terus bisa dipertahankan di level yang tinggi.


Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 3 Oktober 2018, kemungkinan bahwa The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini adalah sebesar 78,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan posisi 1 bulan sebelumnya yang sebesar 70,1%.

Namun, pelemahan rupiah bukan sepenuhnya merupakan dampak dari sentimen eksternal. Tingginya harga minyak mentah dunia memantik kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) Indonesia akan kian sulit diredam. Kini, harga minyak WTI kontrak pengiriman November bertengger di level US$ 76,17/barel. Sementara itu, harga minyak brent kontrak pengiriman Desember berada di level US$ 86/barel.

Memang, defisit perdagangan migas menjadi biang kerok lebarnya defisit neraca dagang Indonesia yang pada akhirnya membebani CAD. Secara kumulatif dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$ 8,35 miliar, melambung 54,6% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 5,40 miliar.

Sebagai informasi, CAD Indonesia pada kuartal-II 2018 menembus level 3% dari PDB, yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I 2018, defisitnya hanya sebesar 2,21% dari PDB. Capaian ini terbilang cukup bersejarah. Pasalnya, kali terakhir CAD menyentuh level 3% dari PDB adalah pada kuartal-III 2014 silam.

Lebih lanjut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengonfirmasi bahwa CAD akan menyentuh level 3% dari PDB pada tahun ini.

"Lihat komposisi impor, ini bisa calculate kalau ekonomi growing fast maka permintaan untuk dua komponen impor (barang modal dan barang setengah jadi) akan meningkat. Ini yang terjadi dalam 3 kuartal di 2018," kata Sri Mulyani dalam sebuah seminar Economic Outlook yang diselenggarakan UOB di Hotel Raffles, Rabu (3/10/2018).

"Ini yang terjadi di 2018, growth continue strong, tapi impor makin tajam. CAD dalam. Sampai akhir tahun 3% dari PDB," imbuh Menkeu.

Secara sektoral, indeks sektor jasa keuangan memimpin pelemahan IHSG dengan pelemahan 0,43%. Kejatuhan sektor jasa keuangan disebabkan oleh aksi jual yang begitu deras pada saham-saham bank-bank BUKU IV: PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 1,09%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 0,67%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 0,74%.

Pelemahan rupiah yang begitu signifikan hingga menembus level psikologis Rp 15.180/dolar AS memantik kekhawatiran mengenai naiknya rasio kredit bermasalah/non-performing loan (NPL).

Selain itu, pelemahan rupiah yang terus terjadi sangat mungkin memaksa Bank Indonesia (BI) untuk kembali menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut tentu akan kian mendorong bank-bank di tanah air untuk menaikkan suku bunga simpanan yang pada akhirnya akan berujung kepada kenaikan suku bunga pinjaman. Padahal, penyaluran kredit bisa dibilang baru saja mulai menggeliat.

Mengutip Reuters, penyaluran kredit bank komersial di Indonesia hanya tumbuh di kisaran satu-digit pada 4 bulan pertama tahun ini. Barulah pada periode Mei-Agustus, pertumbuhannya mencapai level dua-digit. Per Agustus 2018, pertumbuhannya adalah sebesar 12,12% YoY.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(yam/yam) Next Article IHSG Turun Karena Asing dan Rupiah, Begini Pergerakannya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular