
Harga Obligasi RI Turun Karena Ambil Untung dan Bunga The Fed
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 September 2018 11:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi pemerintah cenderung tertekan pekan ini, tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield) yang menandakan harga sedang turun. Penurunan yield yang tajam beberapa waktu sebelumnya (pertanda harga naik) membuat investor merealisasikan keuntungan pada pekan ini.
Sepanjang pekan lalu, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 2,8 basis poin (bps) secara point-to-point. Harga pun turun 1,5 bps, pertanda bahwa instrumen ini sedang sepi peminat atau bahkan mengalami tekanan jual.
Koreksi di pasar obligasi kemungkinan terjadi karena aksi ambil untung. Sebab sebelumnya yield terus bergerak turun sejak mencapai puncaknya pada 12 September. Posisi yield saat itu merupakan yang tertinggi sejak Januari 2016.
Dalam periode 12-24 September yield turun sampai 45,3 bps, sangat tajam. Selama periode tersebut, harga obligasi pemerintah tenor 10 tahun meroket 265,5 bps!
Oleh karena itu, wajar ketika investor menilai sudah saatnya ambil untung. Tekanan jual melanda, koreksi harga dan kenaikan yield pun tidak terhindarkan.
Selain faktor domestik tersebut, sentimen global juga sangat berpengaruh. Di pasar obligasi, tujuan utama investor memang ke Amerika Serikat (AS).
Sepekan ini, yield obligasi pemerintah AS turun 1,2 bps. Sementara harganya naik 3,95 bps, pertanda instrumen ini sedang kebanjiran peminat.
Sentimen positif bagi pasar obligasi AS adalah suku bunga acuan. Sudah cukup lama pelaku pasar berekspektasi The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan minimal 25 bps pada rapat September. Jelang rapat ini, investor sudah mengambil posisi dengan mengoleksi obligasi pemerintah AS sehingga harganya terdongkrak.
Benar saja. Ekspektasi itu terwujud saat Jerome Powell dan sejawat memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 25 bps ke 2-2,25% atau median 2,125%. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan laju perekonomian AS yang kencang agar tidak overheating.
Meski tujuan dasarnya adalah mengerem permintaan, tetapi kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di AS menjadi semakin menarik terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Investor berharap ada kenaikan imbalan seiring kenaikan suku bunga acuan.
Begitu The Fed mengumumkan kenaikan bunga acuan, laju obligasi pemerintah AS tidak terbendung. Harga terus naik dan yield tertekan ke bawah karena tingginya minat pelaku pasar.
Akibatnya, pasar obligasi di negara lain mengalami tekanan jual karena investor mengalihkan dananya ke Negeri Adidaya. Pasar obligasi Indonesia pun merasakan dampaknya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Bravo! Yield SBN Terendah Sejak 2018
Sepanjang pekan lalu, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 2,8 basis poin (bps) secara point-to-point. Harga pun turun 1,5 bps, pertanda bahwa instrumen ini sedang sepi peminat atau bahkan mengalami tekanan jual.
Koreksi di pasar obligasi kemungkinan terjadi karena aksi ambil untung. Sebab sebelumnya yield terus bergerak turun sejak mencapai puncaknya pada 12 September. Posisi yield saat itu merupakan yang tertinggi sejak Januari 2016.
Dalam periode 12-24 September yield turun sampai 45,3 bps, sangat tajam. Selama periode tersebut, harga obligasi pemerintah tenor 10 tahun meroket 265,5 bps!
Oleh karena itu, wajar ketika investor menilai sudah saatnya ambil untung. Tekanan jual melanda, koreksi harga dan kenaikan yield pun tidak terhindarkan.
Selain faktor domestik tersebut, sentimen global juga sangat berpengaruh. Di pasar obligasi, tujuan utama investor memang ke Amerika Serikat (AS).
Sepekan ini, yield obligasi pemerintah AS turun 1,2 bps. Sementara harganya naik 3,95 bps, pertanda instrumen ini sedang kebanjiran peminat.
Sentimen positif bagi pasar obligasi AS adalah suku bunga acuan. Sudah cukup lama pelaku pasar berekspektasi The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan minimal 25 bps pada rapat September. Jelang rapat ini, investor sudah mengambil posisi dengan mengoleksi obligasi pemerintah AS sehingga harganya terdongkrak.
Benar saja. Ekspektasi itu terwujud saat Jerome Powell dan sejawat memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 25 bps ke 2-2,25% atau median 2,125%. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan laju perekonomian AS yang kencang agar tidak overheating.
Meski tujuan dasarnya adalah mengerem permintaan, tetapi kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di AS menjadi semakin menarik terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Investor berharap ada kenaikan imbalan seiring kenaikan suku bunga acuan.
Begitu The Fed mengumumkan kenaikan bunga acuan, laju obligasi pemerintah AS tidak terbendung. Harga terus naik dan yield tertekan ke bawah karena tingginya minat pelaku pasar.
Akibatnya, pasar obligasi di negara lain mengalami tekanan jual karena investor mengalihkan dananya ke Negeri Adidaya. Pasar obligasi Indonesia pun merasakan dampaknya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Bravo! Yield SBN Terendah Sejak 2018
Most Popular