BI yang Makin Habis-habisan Demi Jaga Rupiah

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
28 September 2018 08:02
BI yang Makin Habis-habisan Demi Jaga Rupiah
Foto: Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)
Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti yang sudah diperkirakan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk kembali mengerek suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%.

Bank sentral telah menaikkan bunga acuan hingga 150 bps, terhitung sejak April 2018 untuk memancing aliran modal portofolio masuk ke pasar keuangan Indonesia, yang bertujuan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah dinamika eksternal.



Berbicara dalam konferensi pers, Gubernur BI Perry Warjiyo mengemukakan keputusan tersebut konsisten untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik di tengah ketidakpastian global yang masih cukup tinggi.

"Keputusan tersebut juga konsisten dengan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman," kata Perry, Kamis (27/9/2018).

Tak ada keraguan di benak seluruh anggota dewan gubernur untuk memutuskan kembali mengerek bunga acuan. Langkah agresif yang ditempuh bank sentral, sejalan dengan pengetatan likuiditas global yang terjadi saat ini.

Pengetatan tersebut tak lepas dari normalisasi kebijakan The Fed di bawah komando Jerome Powell. Kenaikan bunga acuan di negeri Paman Sam memiliki dampak yang kuat karena berhubungan langsung dengan pergerakan dolar AS.

BI yang Makin Habis-habisan Demi Jaga RupiahFoto: Dewan Gubernur Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)
Ketika greenback menguat, itu menjadi kabar buruk bagi mata uang negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu cara untuk menahan keperkasan dolar AS, tentu dengan menaikkan bunga acuan untuk menarik minat investor.

Berdasarkan data bank sentral, nilai tukar rupiah secara year-to-date telah terdepresiasi sekitar 8,97%. Apabila BI tidak menerapkan stance hawkish, bukan tidak mungkin depresiasi mata uang Garuda lebih dari itu.

"Stance kebijakan BI masih tetap sama: hawkish. Kita akan terus berupaya pre-emptive dan ahead of the curve. Tapi sangat tergantung pada dinamika ekonomi global dan domestik," tegas Perry.

Namun, patut digarisbawahi bahwa kenaikan bunga acuan bukan menjadi jaminan mutu. Pasca-keputusan BI, nilai tukar rupiah di pasar spot justru melemah 0,08%, dan bahkan menjadi yang terdalam di Asia.

Pelaku pasar masih enggan masuk ke pasar keuangan domestik, meskipun ada iming-imung potensi kenaikan imbalan investasi dari kenaikan bunga acuan. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 73,7 miliar.

NEXT


Kenaikan bunga acuan mungkin tak bisa menggaransi apapun. Tidak mungkin hanya mengandalkan cadangan devisa yang saat ini sudah tergerus sebesar US$14,08 miliar sejak awal tahun.

Namun, bank sentral seperti tidak pernah kehabisan akal untuk menarik minat investor asing agar menempatkan dananya di pasar keuangan Indonesia. Berbagai cara ditempuh, demi stabilitas nilai tukar.




Memperdalam pasar keuangan. Itulah yang dilakukan bank sentral dalam beberapa bulan terakhir, untuk menyiapkan alternatif bagi pelaku pasar di tengah dinamika ketidakpastian ekonomi global.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun tak memungkiri, bahwa alasan yang membuat Indonesia cukup rentan terhadap gejolak ekonomi global yakni karena pendalaman pasar keuangan, yang saat ini masih relatif terbatas.

BI di bawah komando Perry Warjiyo memang telah melakukan banyak gebrakan dalam memperdalam pasar keuangan. BI telah mengeluarkan relaksasi di pasar keuangan yang bertujuan untuk memperkuat nilai tukar rupiah seperti premi swap lindung nilai.

Relaksasi yang dikeluarkan BI mengenai premi swap lindung nilai adalah mengenai penerapan premi swap yang lebih efisien. Pasalnya, selama ini banyak yang menganggap premi swap hedging di BI mahal.

BI yang Makin Habis-habisan Demi Jaga RupiahFoto: Infografis/Cadev ASEAN/Arie Pratama
Bank sentral kemudian juga merelaksasi minimum nilai transaksi swap yang bisa di-hedge kepada BI, yakni minimum US$2 juta. Hal lain juga yang direlaksasi adalah mengenai penyesuaian terkait dokumen underlying FX swap hedging.

Dalam RDG bulan ini, BI memperkenalkan sebuah instrumen baru yang diharapkan bisa menjaga stabilitas nilai tukar Instrumen tersebut dinamakan Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF).

DNDF adalah transaksi forward yang penyelesaian transaksinya dilakukan secara netting dalam mata uang rupiah di pasar valuta asing domestik.

Adapun Kurs acuan yang digunakan, yaitu Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) untuk mata uang dolar AS terhadap rupiah dan kurs tengah BI untuk mata uang dolar AS terhadap rupiah.

Transaksi DNDF dapat dilakukan oleh bank dengan nasabah dan pihak asing untuk lindung nilai atas risiko nilai tukar rupiah. Misalnya, seperti investor asing, importir, dan korporasi yang memiliki utang valuta asing.

"Untuk memperkuat stabilitas Rupiah, kenaikan suku bunga tersebut juga didukung oleh kebijakan untuk memberlakukan transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF)," tutur Perry.

"Ini dalam rangka mempercepat pendalaman pasar valas serta memberikan alternatif instrumen lindung nilai bagi bank dan korporasi," ungkap bekas Deputi Gubernur BI itu.




Payung hukum kebijakan tersebut, akan dikeluarkan pada minggu depan dan berlaku secepat mungkin. Bank sentral pun mengklaim, pelaku pasar sudah memberikan respons positif terkait dengan kebijakan bank sentral.

"Kita keluarkan DNDF ini bukan buat spekulasi, tapi untuk hegding. Ini ada underlying-nya," tegas Perry.
(dru/prm) Next Article Waspadai Ketidakpastian, Bunga Acuan BI 7-Day RR Tetap di 4%

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular