Tafsir Hasil Rapat The Fed, Rupiah Bisa Tertekan Sampai 2020

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 September 2018 12:37
Tafsir Hasil Rapat The Fed, Rupiah Bisa Tertekan Sampai 2020
Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell (REUTERS/Al Drago)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed menyelesaikan rapat bulanannya pada dini hari tadi waktu Indonesia. Sejumlah hal perlu dicatat, bukan sekedar kenaikan suku bunga acuan tetapi juga arah kebijakan moneter Negeri Paman Sam ke depan. 

Mengutip situs resmi The Fed, Kamis (27/9/2018), berikut keterangan tertulis hasil rapat tersebut: 

[Gambas:Video CNBC]
"Informasi yang diterima sejak pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada Agustus mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja terus membaik dan aktivitas ekonomi meningkat dalam laju yang cepat. Penciptaan lapangan kerja terus meningkat secara rata-rata, dan dalam beberapa bulan terakhir angka pengangguran tetap bertahan rendah. Dalam 12 bulan terakhir, inflasi umum serta inflasi di luar makanan dan energi terjaga di dekat 2%. Indikator untuk ekspektasi inflasi jangka panjang sedikit berubah, tetapi masih stabil. 

Konsisten dengan mandat kami, Komite akan terus mengupayakan penyerapan tenaga kerja yang maksimum dan kestabilan harga. Komite memperkirakan bahwa kenaikan target suku bunga acuan secara gradual akan diterapkan secara konsisten seiring ekspansi aktivitas ekonomi, pasar tenaga kerja yang kuat, serta inflasi yang mendekati target 2% dalam jangka menengah. Risiko terhadap perekonomian secara umum masih seimbang. 

Melihat perkembangan pasar tenaga kerja dan inflasi, Komite memutuskan untuk menaikkan target Federal Funds Rate menjadi 2-2,25%. Untuk menentukan waktu dan besaran penyesuaian suku bunga lebih lanjut, Komite akan mengkaji realisasi dan proyeksi kondisi ekonomi untuk mencapai tujuan penyerapan tenaga kerja yang maksimum dan target inflasi 2%. Kajian ini akan melibatkan banyak informasi, termasuk pasar tenaga kerja, ekspektasi inflasi, serta pembacaan terhadap pasar keuangan dan perkembangan internasional. 

Para pengambil keputusan dalam FOMC adalah Jerome H Powell (Ketua), John C Williams (Wakil Kedua), Thomas I Barkin, Raphael W Bostic, Lael Brainard, Richard H Clarida, Esther L George, Loretta J Mester, dan Randal K Quarles."
 

Apa saja yang bisa ditafsirkan dari hasil rapat ini? 

Pertama adalah The Fed optimistis terhadap prospek perekonomian AS. Penciptaan lapangan kerja dan laju inflasi bergerak sesuai target mereka. Dalam setahun terakhir, angka pengangguran AS turun dari 4,4% menjadi 3,9%. The Fed memperkirakan angka pengangguran masih bisa turun, yaitu menjadi 3,7% pada akhir 2018. 


The Fed pun meyakini AS sedang dalam lajur yang benar untuk mencapai penciptaan lapangan kerja maksimum (maximum employment). Ini artinya mereka yang mencari kerja bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah layak. 

 

Sementara untuk mengukur laju inflasi, preferensi The Fed adalah Personal Consumption Expenditure inti (Core PCE). Target Core PCE pada akhir tahun ini adalah 2%, sepanjang 2018 sudah dua kali menyentuh target tersebut. 



Dengan data-data yang ciamik tersebut, The Fed memperkirakan ekonomi AS pada akhir 2018 tumbuh 3,1%. Proyeksi ini lebih baik dibandingkan yang dibuat pada Juni yaitu 2,8%. 

Untuk kuartal III-2018, The Fed Atlanta memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS di angka 4,4%, lebih cepat ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 4,2% (berdasarkan pembacaan kedua). Malam nanti rencananya akan dirilis pembacaan final angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018. 

Agar perekonomian AS tidak bergerak 'liar' dan menyebabkan tekanan inflasi yang tidak perlu, maka ada poin kedua dan inti dari hasil rapat The Fed yaitu kenaikan suku bunga acuan. Tanpa kenaikan suku bunga, ada kemungkinan permintaan akan tumbuh di luar kemampuan penawaran, demand melesat lebih tinggi dibandingkan kemampuan supply. Hasilnya adalah percepatan laju inflasi yang sebenarnya bisa dihindari. 

Kenaikan suku bunga akan membuat likuiditas mengetat sehingga menekan permintaan. Dengan begitu, permintaan akan tumbuh dengan sehat dan mampu mengimbangi pertumbuhan penawaran. 

Poin ketiga adalah arah kebijakan moneter AS ke depan. Kini, The Fed telah menghapus kata 'akomodatif' dalam penentuan kebijakan moneter. Meski tidak ada pernyataan yang gamblang, ini merupakan sinyal bahwa The Fed akan menerapkan kebijakan moneter yang cenderung ketat. 

Hal ini tercermin dari target suku bunga acuan yang ditetapkan. Pada akhir tahun ini, The Fed menargetkan median suku bunga acuan ada di 2,4%. Saat ini, suku bunga ada di rentang 2-2,25% atau median 2,125%.  

Oleh karena itu, butuh satu kali kenaikan lagi untuk mencapai target tersebut. Pelaku pasar memperkirakan kenaikan ini terjadi pada Desember dengan kemungkinan yang cukup besar yaitu 82,7% menurut CME Fedwatch. 

Sinyal hawkish The Fed semakin ada dan tampak nyata kala melihat target suku bunga ke depan. Pada akhir 2019, The Fed memperkirakan suku bunga acuan berada di 3,1% atau berselisih 70 basis poin (bps) dengan posisi akhir 2018. Untuk mencapai target itu, dibutuhkan setidaknya tiga kali kenaikan suku bunga. 

Lalu pada akhir 2019, suku bunga acuan diperkirakan 3,4% atau berjarak 30 bps. Dibutuhkan setidaknya sekali kenaikan lagi untuk menyentuh target itu. 


The Fed yang hawkish bin agresif mempengaruhi seluruh negara di dunia. Tergoda oleh kenaikan suku bunga, mayoritas aliran modal global akan tersedot ke Negeri Adidaya dan negara-negara lain hanya kebagian remah. Hasilnya adalah dolar AS akan semakin perkasa di hadapan mata uang dunia.

Selama The Fed belum menyelesaikan siklus kenaikan suku bunga, maka aliran dana akan terpusat di sekitar dolar AS. Melihat fase kenaikan suku bunga di AS baru selesai 2020, maka sepertinya keperkasaan dolar AS bisa bertahan sampai 2 tahun lagi.

Bagaimana nasib rupiah? Jawabannya hanya satu kata: berat.

Sejak 2011, rupiah murni mengandalkan arus modal di pasar keuangan alias hot money untuk menguat. Pasalnya, devisa dari hasil ekspor-impor barang dan jasa yang tercermin dari transaksi berjalan (current account) terus negatif.

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak 2014. Sepertinya defisit yang lumayan dalam bakal terulang pada kuartal III-2018, mengingat neraca perdagangan yang mencatat defisit pada Juli dan Agustus masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 1,02 miliar.

Dengan seretnya hot money karena tersedot ke AS ditambah pasokan devisa yang seadanya cenderung kurang dari sektor perdagangan, praktis rupiah tidak punya pijakan untuk menguat. Kondisi ini akan terus terulang bila tidak ada pembenahan di transaksi berjalan.

Membenahi transaksi berjalan bukan perkara gampang, karena terkait dengan pembangunan industri untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Butuh waktu, yang mungkin tidak akan rampung dalam 2 tahun.

Jadi kalau The Fed masih dalam mode kenaikan suku bunga sampai 2 tahun lagi, mungkin kita perlu siap-siap rupiah masih akan melemah selama 2 tahun lagi...

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular