Tafsir Hasil Rapat The Fed, Rupiah Bisa Tertekan Sampai 2020
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 September 2018 12:37

The Fed yang hawkish bin agresif mempengaruhi seluruh negara di dunia. Tergoda oleh kenaikan suku bunga, mayoritas aliran modal global akan tersedot ke Negeri Adidaya dan negara-negara lain hanya kebagian remah. Hasilnya adalah dolar AS akan semakin perkasa di hadapan mata uang dunia.
Selama The Fed belum menyelesaikan siklus kenaikan suku bunga, maka aliran dana akan terpusat di sekitar dolar AS. Melihat fase kenaikan suku bunga di AS baru selesai 2020, maka sepertinya keperkasaan dolar AS bisa bertahan sampai 2 tahun lagi.
Bagaimana nasib rupiah? Jawabannya hanya satu kata: berat.
Sejak 2011, rupiah murni mengandalkan arus modal di pasar keuangan alias hot money untuk menguat. Pasalnya, devisa dari hasil ekspor-impor barang dan jasa yang tercermin dari transaksi berjalan (current account) terus negatif.
Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak 2014. Sepertinya defisit yang lumayan dalam bakal terulang pada kuartal III-2018, mengingat neraca perdagangan yang mencatat defisit pada Juli dan Agustus masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 1,02 miliar.
Dengan seretnya hot money karena tersedot ke AS ditambah pasokan devisa yang seadanya cenderung kurang dari sektor perdagangan, praktis rupiah tidak punya pijakan untuk menguat. Kondisi ini akan terus terulang bila tidak ada pembenahan di transaksi berjalan.
Membenahi transaksi berjalan bukan perkara gampang, karena terkait dengan pembangunan industri untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Butuh waktu, yang mungkin tidak akan rampung dalam 2 tahun.
Jadi kalau The Fed masih dalam mode kenaikan suku bunga sampai 2 tahun lagi, mungkin kita perlu siap-siap rupiah masih akan melemah selama 2 tahun lagi...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed)
Selama The Fed belum menyelesaikan siklus kenaikan suku bunga, maka aliran dana akan terpusat di sekitar dolar AS. Melihat fase kenaikan suku bunga di AS baru selesai 2020, maka sepertinya keperkasaan dolar AS bisa bertahan sampai 2 tahun lagi.
Bagaimana nasib rupiah? Jawabannya hanya satu kata: berat.
Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak 2014. Sepertinya defisit yang lumayan dalam bakal terulang pada kuartal III-2018, mengingat neraca perdagangan yang mencatat defisit pada Juli dan Agustus masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 1,02 miliar.
Dengan seretnya hot money karena tersedot ke AS ditambah pasokan devisa yang seadanya cenderung kurang dari sektor perdagangan, praktis rupiah tidak punya pijakan untuk menguat. Kondisi ini akan terus terulang bila tidak ada pembenahan di transaksi berjalan.
Membenahi transaksi berjalan bukan perkara gampang, karena terkait dengan pembangunan industri untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Butuh waktu, yang mungkin tidak akan rampung dalam 2 tahun.
Jadi kalau The Fed masih dalam mode kenaikan suku bunga sampai 2 tahun lagi, mungkin kita perlu siap-siap rupiah masih akan melemah selama 2 tahun lagi...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular