
Harga Minyak Cetak Rekor Baru, Apa Dampaknya ke RI?
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
26 September 2018 10:16

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga minyak mentah dunia kembali menunjukkan reli per hari ini, tembus di atas US$ 80 per barel untuk jenis Brent kontrak November. Bagaimana dampaknya ke RI?
(roy) Next Article Mulai Naik, Harga Minyak ICP Mei Sentuh US$ 25,67
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan masih memantau pergerakan harga minyak. "Ini kan masih September," kata dia saat dijumpai di hotel Pullman, Selasa (25/9/2018).
Djoko memaparkan untuk saat ini pemerintah masih berpatokan dengan kebijakan yang sudah diputuskan, untuk APBN 2019 masih memakai asumsi US$ 70, dan harga ICP (Indonesianerrd Crude Price) per Agustus 2018 juga masih di rata-rata US$ 69 per barel. "ICP juga kan selalu di bawah Brent kan," katanya.
Untuk itu, lanjutnya, ia belum bisa memprediksi ke depan karena harga minyak masih bisa naik turun. "Bisa jadi nanti turun lagi ke US$ 60."
Sedangkan, dari segi makroekonomi, laju inflasi tahun depan diperkirakan bisa menyentuh level 4% atau batas atas dari target pemerintah dan Bank Indonesia di 3,5% plus minus 1%. Hal ini terjadi jika pemerintah mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM).
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan, ada dua faktor utama yang bakal menghantui laju inflasi tahun depan. Salah satu penyebabnya yakni, apabila pemerintah tetap bersikukuh untuk mempertahankan harga bensin, bukan tidak mungkin inflasi bisa menyentuh level 4% tahun depan.
Apalagi, harga minyak saat ini sudah menyentuh level US$ 80 per barel.
"Opsinya hanya itu. Kalau harga tetap dipertahankan, (inflasi) bisa menyentuh 4% untuk tahun depan. Tapi kita lihat nanti," jelasnya.
"Kalau tidak dinaikkan, itu akan menjadi beban juga bagi BUMN, karena harga minyak dunia sudah berbeda dari postur APBN sekarang," ungkap Josua.
Kemudian, bagaimana dengan defisit migas negara? Subsidi untuk sektor energi pada tahun ini jauh meleset dari alokasi yang ditetapkan dalam APBN 2018. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga minyak dunia, yang meleset jauh dari asumsi makroekonomi pemerintah.
Aspek yang paling terlihat adalah alokasi subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) dan LPG, yang meroket dari semula Rp 46,86 triliun diprediksi menjadi Rp 103,5 triliun.
"Dengan perkembangan harga minyak terakhir sampai akhir 2018 diperkirakan subsidi BBM dan LPG 3 kilogram akan mencapai Rp 103,5 triliun," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara dalam rapat Badan Anggaran DPR RI, Rabu (19/9/2018).
Adapun, berdasarkan data BPS, Dalam beberapa bulan terakhir, defisit perdagangan migas menjadi salah satu sektor yang dianggap menjadi biang kerok defisit neraca perdagangan.
Sepanjang Januari - Agustus, total impor migas tercatat mencapai US$ 19,76 miliar melonjak cukup signifikkan dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya mencapai US$ 15,40 miliar.
Sedangkan di Agustus, impor migas tercatat tumbuh 51,43% atau sekitar US$ 3,05 miliar. Meroketnya defisit migas, tak lepas dari impor hasil minyak - termasuk di dalamnya impor bensin - yang cukup besar.
BPS juga mencatat, impor hasil minyak menjadi komponen terbesar penyumbang impor sebesar US$ 2,54 miliar. Tercatat impor bahan bakar motor, minyak ringan mencapai US$ 1,69 miliar.
Alhasil, defisit perdagangan migas mencapai US$ 1,66 miliar, atau merupakan yang terparah tahun ini. Jika dibandingkan periode Juli 2018, defisit migas di Agustus sudah meningkat 35,18%.
Secara kumulatif, dari periode Januari - Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$ 8,35 miliar atau sekitar Rp 124,42 triliun (jika menggunakan kurs rupiah saat ini).
Sebagai negara penyandang status net importir minyak, ada dua alasan yang mendorong membengkaknya defisit migas. Pertama, adalah kenaikan harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar.
Djoko memaparkan untuk saat ini pemerintah masih berpatokan dengan kebijakan yang sudah diputuskan, untuk APBN 2019 masih memakai asumsi US$ 70, dan harga ICP (Indonesianerrd Crude Price) per Agustus 2018 juga masih di rata-rata US$ 69 per barel. "ICP juga kan selalu di bawah Brent kan," katanya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan, ada dua faktor utama yang bakal menghantui laju inflasi tahun depan. Salah satu penyebabnya yakni, apabila pemerintah tetap bersikukuh untuk mempertahankan harga bensin, bukan tidak mungkin inflasi bisa menyentuh level 4% tahun depan.
Apalagi, harga minyak saat ini sudah menyentuh level US$ 80 per barel.
"Opsinya hanya itu. Kalau harga tetap dipertahankan, (inflasi) bisa menyentuh 4% untuk tahun depan. Tapi kita lihat nanti," jelasnya.
"Kalau tidak dinaikkan, itu akan menjadi beban juga bagi BUMN, karena harga minyak dunia sudah berbeda dari postur APBN sekarang," ungkap Josua.
Kemudian, bagaimana dengan defisit migas negara? Subsidi untuk sektor energi pada tahun ini jauh meleset dari alokasi yang ditetapkan dalam APBN 2018. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga minyak dunia, yang meleset jauh dari asumsi makroekonomi pemerintah.
Aspek yang paling terlihat adalah alokasi subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) dan LPG, yang meroket dari semula Rp 46,86 triliun diprediksi menjadi Rp 103,5 triliun.
"Dengan perkembangan harga minyak terakhir sampai akhir 2018 diperkirakan subsidi BBM dan LPG 3 kilogram akan mencapai Rp 103,5 triliun," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara dalam rapat Badan Anggaran DPR RI, Rabu (19/9/2018).
Adapun, berdasarkan data BPS, Dalam beberapa bulan terakhir, defisit perdagangan migas menjadi salah satu sektor yang dianggap menjadi biang kerok defisit neraca perdagangan.
Sepanjang Januari - Agustus, total impor migas tercatat mencapai US$ 19,76 miliar melonjak cukup signifikkan dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya mencapai US$ 15,40 miliar.
Sedangkan di Agustus, impor migas tercatat tumbuh 51,43% atau sekitar US$ 3,05 miliar. Meroketnya defisit migas, tak lepas dari impor hasil minyak - termasuk di dalamnya impor bensin - yang cukup besar.
BPS juga mencatat, impor hasil minyak menjadi komponen terbesar penyumbang impor sebesar US$ 2,54 miliar. Tercatat impor bahan bakar motor, minyak ringan mencapai US$ 1,69 miliar.
Alhasil, defisit perdagangan migas mencapai US$ 1,66 miliar, atau merupakan yang terparah tahun ini. Jika dibandingkan periode Juli 2018, defisit migas di Agustus sudah meningkat 35,18%.
Secara kumulatif, dari periode Januari - Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$ 8,35 miliar atau sekitar Rp 124,42 triliun (jika menggunakan kurs rupiah saat ini).
Sebagai negara penyandang status net importir minyak, ada dua alasan yang mendorong membengkaknya defisit migas. Pertama, adalah kenaikan harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar.
(roy) Next Article Mulai Naik, Harga Minyak ICP Mei Sentuh US$ 25,67
Most Popular