Membedah Visi-Misi Capres 2019

Seperti Ini Potret Ekonomi Indonesia di Bawah Jokowi

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 September 2018 16:10
Tak Proporsional
Foto: Presiden Joko Widodo (Jokowi) acara reuni akbar Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Tahun 2018 (Biro Pers Kepresidenan RI)
Struktur ekonomi Indonesia memang merupakan salah satu hal krusial yang harus dibenahi. Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable. Sektor tradable berisi industri-industri yang outputnya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk kedalam sektor ini.

Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.
Sementara itu, sektor non-tradable terdiri dari sektor-sektor jasa yang outputnya tidak diperdagangkan secara internasional, seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas.

Pada tahun 2015, sektor non-tradable tercatat berkontribusi sebesar 53,7% terhadap ekonomi Indonesia. Nilainya lantas naik menjadi 54% dan 54,4% pada dua tahun berikutnya.

Di sisi lain, porsi sektor tradable terus turun dari yang awalnya 43,1% (2015) menjadi hanya 42,4% dan 41,8% pada 2 tahun berikutnya.

Kenaikan porsi sektor non-tradable ini tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable. Pada tahun 2016 dan 2017 secara berturut-turut, sektor non-tradable tumbuh sebesar 5,6% dan 5,8%, sementara sektor tradable tercatat hanya tumbuh sebesar 3,3% dan 3,4%.

Memasuki tahun 2018, situasinya tak berubah banyak. Sepanjang 6 bulan pertama tahun ini, sektor non-tradable membentuk 41,9% perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebanyak 54,5%. Sektor non-tradable tumbuh sebesar 6,1% YoY, sementara sektor tradable hanya tumbuh sebesar 3,6% YoY.

Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan bahwa sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat. Padahal, lapangan kerja di sektor inilah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah. Mengutip data dari World Bank, rasio penerimaan kotor untuk pendidikan tersier (universitas) di Indonesia hanyalah sebesar 27,9% (per 2016).

Akibatnya, kemiskinan menjadi sulit diberantas. Sejak beberapa tahun terakhir, usaha pengentasan kemiskinan terlihat berjalan lamban. Data kemiskinan terakhir sebelum Jokowi menjabat (September 2014) adalah di level 10,96%. Sepanjang Jokowi menjabat, angkanya terus berkisar di level 10%, bahkan sempat naik ke level 11,22% pada Maret 2015. Barulah pada Maret 2018 tingkat kemiskinan turun ke level satu-digit yakni sebesar 9,82%. Namun, pertanyaannya adalah satu: layakkah standar kemiskinan yang ditetapkan oleh negara?

Melansir publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan Indonesia periode Maret 2018 dipatok di angka Rp 401.220/bulan. Jika dibagi dengan 30 hari, maka masyarakat yang hidup setidaknya dengan uang Rp 13.374/hari dikategorikan tidak miskin oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, bank dunia menetapkan garis kemiskinan di angka US$ 1,9 per hari. Dengan kurs Rp 10.000/dolar AS saja, angkanya adalah Rp 19.000/hari. Jadi, layakkah standar yang ditetapkan pemerintah? Rasanya kita semua sudah tahu jawabannya. (ank/dru)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular