Bursa Saham Dunia Siap Balik Arah? Simak Penjelasannya

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 September 2018 18:02
Bursa Saham Dunia Siap Balik Arah? Simak Penjelasannya
Foto: REUTERS/Iqro Rinaldi/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan bursa saham dunia memberikan hasil yang menggembirakan bagi investor. Dari Amerika Serikat (AS), indeks S&P 500 menguat 2,02% pada periode 7-21 September 2018. Pencapaian ini merupakan sebuah milestone sendiri bagi bursa saham Negeri Paman Sam.

Pasalnya, posisi penutupan tanggal 20 September di level 2.930,75 merupakan posisi penutupan tertinggi sepanjang masa. Jika dihitung sejak awal tahun, indeks S&P 500 sudah meroket sebesar 9,6%.

Sebagai informasi, jika dibandingkan dengan 2 indeks saham utama AS lainnya yakni Dow Jones dan Nasdaq, indeks S&P 500 memang paling mencerminkan pergerakan bursa saham AS. Pasalnya, indeks ini berisi 500 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar yang diperdagangkan di bursa saham Negeri Paman Sam.



Bandingkan dengan indeks Dow Jones yang hanya berisi 30 saham dan indeks Nasdaq yang menitikberatkan pada saham-saham sektor teknologi saja.

Dari kawasan Eropa, indeks SXXP 600 yang berisi 600 perusahaan dari 17 negara di wilayah Eropa menguat 2,9% pada periode 6-21 September 2018. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 4,8% pada periode 5-21 September 2018.

Kini, periode suram bagi bursa saham dunia mungkin baru saja dimulai. Berbagai sentimen negatif mendadak datang dalam waktu yang berdekatan, membuat nasib bursa saham dunia, termasuk Indonesia, menjadi patut diragukan.

Tim Riset CNBC Indonesia merangkum berbagai sentimen negatif yang dimaksud.
Risiko pertama datang dari perang dagang AS-China. Seperti yang kita ketahui bersama, pada 18 September Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mengenakan bea masuk baru senilai 10% terhadap berbagai produk China senilai US$ 200 miliar (Rp 2.978 triliun) dan mulai berlaku pada hari ini. Bea masuk tersebut kemudian akan naik menjadi 25% pada akhir tahun.

Kebijakan ini lantas dibalas oleh China dengan mengumumkan pembebanan bea masuk baru senilai 10% untuk importasi produk buatan AS senilai US$ 60 miliar, juga efektif pada 24 September.

Namun, pada perdagangan-perdagangan sebelumnya investor nampak lebih memilih untuk melihat sisi positif dari ronde terbaru perang dagang AS-China. Sikap Trump yang tak langsung mengenakan bea masuk senilai 25% memberikan persepsi bahwa pihak AS terus mencoba untuk membuka ruang negosiasi dengan China. Kemudian, aksi balasan dari China hanya menyasar barang-barang impor AS senilai US$ 60 miliar, jauh lebih kecil dari yang disasar oleh AS. Ini juga menandakan bahwa China masih memiliki etikat baik untuk menyelesaikan perang dagang yang terjadi.

Memang, pada 13 September Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengonfirmasi bahwa Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin sudah mengirimkan undangan kepada pejabat-pejabat senior China guna merancang sebuah negosiasi dagang.

Kini, perkembangannya sangat tidak mengenakan; China telah resmi membatalkan rencana dialog perdagangan dengan AS. The Wall Street Journal melaporkan pada hari Jumat (21/9/2018) bahwa kubu China menolak proposal dari AS untuk mengirimkan dua orang delegasinya ke Washington, seperti dikutip dari CNBC International. Sikap Trump yang tetap kekeh untuk menargetkan importasi produk asal China senilai US$ 200 miliar kemungkinan menjadi alasannya.

Pembatalan negosiasi dagang ini tak bisa dianggap sepele. Pasalnya, jika salah satu dari kedua negara ini mengalah nantinya, pihak lainnya akan memiliki upper-hand dalam perundingan yang dilakukan. Jika AS mengalahkan dengan membatalkan pengenaan bea masuknya, hal ini akan dianggap oleh pihak China bahwa AS lebih membutuhkan relasi dagang dengannya. Sebaliknya, jika China yang mengalah dengan mengikuti sebagian tuntutan AS, maka AS kemungkinan besar akan mengeksploitasinya guna membuat China memenuhi seluruh tuntutannya.

Bisa jadi, negosiasi dagang antar kedua tak akan terjadi dalam waktu dekat. Sementara itu, bea masuk yang mulai efektif berlaku hari ini, terutama dari pihak AS (US$ 200 miliar), dipastikan akan menyakiti perekonomian AS dan China.


Sepanjang tahun ini, bursa saham dunia dihantui sebuah ketidakpastian mengenai normalisasi suku bunga acuan oleh the Federal Reserve. Pada akhir tahun 2017, the Fed memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali. Kini, the Fed justru memproyeksikan normalisasi sebanyak 4 kali. Sebagai informasi, sepanjang tahun ini the Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 2 kali.

Normalisasi oleh the Fed merupakan sebuah hal yang secara signifikan akan mempengaruhi arah perekonomian Negeri Paman Sam dan pasar keuangan dunia. Ketika suku bunga acuan dinaikkan, maka suku bunga kredit lainnya seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akan ikut disesuaikan ke atas. Masalahnya, kenaikan suku bunga acuan yang kelewat agresif, terutama kala perang dagang dengan China tengah membara, bisa 'mematikan' perekonomian AS.

Dari kacamata pasar keuangan dunia, ketika suku bunga acuan dinaikkan, maka imbal hasil instrumen berpendapatan tetap di AS seperti deposito dan obligasi akan ikut terkerek naik dan menjadi menggiurkan di mata investor. Akibatnya, aliran modal bisa mengalir keluar dan mengarah ke AS. Mata uang pun mendapatkan tekanan, seperti yang terjadi kepada rupiah sepanjang 2018.

Pada 27 September dini hari waktu Indonesia nanti, the Fed akan mengumumkan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 23 September 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25bps pada pertemuan kali ini adalah sebesar 92%.

Yang menjadi masalah, kemungkinan bahwa the Fed akan mengerek suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini 'baru' berada di level 80,3%. Ini artinya, ruang bagi pelemahan mata uang negara-negara lain, termasuk Indonesia, masih cukup terbuka.

Bersamaan dengan pengumuman tingkat suku bunga acuan terbarunya, the Fed akan merilis dot plot versi terbaru. Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari anggota-anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun. Melalui dot plot versi terbaru, akan dilihat apakah semakin banyak anggota FOMC yang melihat kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini. Bisa dibilang, salah satu risiko yang seringkali 'diabaikan' oleh pelaku pasar saham dunia, terutama di AS dan Asia, adalah Brexit. Sepanjang tahun 2018, kabar mengenai sulitnya proses negosiasi Brexit beredar di kalangan pelaku pasar.

Belum lama ini, 2 tokoh kunci dari proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa yakni David Davis (Menteri Brexit) dan Boris Johnson (Menteri Luar Negeri) telah resmi mengundurkan diri. Pengunduran diri keduanya didasari ketidaksetujuan terhadap rencana sang Perdana Menteri Theresa May dalam membawa Inggris keluar dari Uni Eropa.

Namun, investor seolah tak terlalu menggubris perkembangan tersebut. Dinamika perang dagang AS-China dan normalisasi dari the Federal Reserve lebih mendapatkan panggung ketimbang Brexit. Mungkin, pelaku pasar percaya bahwa terlepas dari gunjang-ganjing yang terjadi, pada akhirnya soft-brexit dan bukan hard-brexit lah yang akan terjadi.

Salah satu perbedaan penting diantara kedua opsi itu adalah nasib perdagangan antara Inggris dengan Uni Eropa. Dalam skenario soft-brexit, Inggris akan tetap bisa melakukan perdagangan tanpa tarif dengan Uni Eropa. Hal ini menjadi penting mengingat Uni Eropa merupakan mitra dagang yang sangat penting bagi Inggris. Jika hard-brexit yang terjadi, maka kerjasama yang sudah terjalin selama ini akan gugur dan membuat produk-produk ekspor Inggris ke Uni Eropa lebih mahal, begitupun sebaliknya. Akibatnya, permintaan tentu akan berkurang.

Selain bidang perdagangan, bidang imigrasi juga menjadi hal yang penting untuk dicermati. Dalam skenario hard-brexit, para pekerja migran Uni Eropa bisa sangat sulit untuk menembus pasar tenaga kerja Inggris. Masalahnya, porsi dari pekerja migran Uni Eropa di Inggris cukup lumayan. Di sektor manufaktur makanan misalnya, 30% pekerjanya merupakan migran Uni Eropa. Di sektor perhotelan, porsinya adalah 20% dan di sektor bar & restoran, porsinya adalah 12%, seperti dikutip dari Bloomberg.

Kini, skenario terjadinya hard-brexit sudah tak bisa dianggap remeh lagi. Pada minggu lalu, Theresa May menyatakan bahwa perundingan Brexit mungkin sudah mengarah ke jalan buntu. Uni Eropa diketahui menolak proposal perceraian yang diajukan Inggris dengan alasan May harus menyertakan alasan yang kuat dalam hal perdagangan dan kepabeanan di perbatasan Inggris-Irlandia.

Agak emosi, May pun menantang Uni Eropa untuk menawarkan proposal baru soal perceraian ini. Sebab, dia merasa Uni Eropa menolak tanpa alasan yang jelas.

"Selama proses ini, saya selalu memperlakukan Uni Eropa dengan penuh rasa hormat. Kami juga mengharapkan hal yang sama, hubungan yang baik setelah berakhirnya proses ini ditentukan dari sekarang," tegas May dalam pidato di televisi, dikutip dari Reuters.

"Sulit diterima saat satu pihak menolak proposal pihak lain tanpa alasan dan solusi yang jelas. Kami perlu mendengar dari Uni Eropa, apa sebenarnya yang menjadi masalah dan apa alternatifnya. Sampai saat itu datang, kami tidak bisa mencapai kemajuan," jelas May.

Sebagai informasi, 13-14 Desember 2018 dipandang sebagai waktu terakhir bagi Inggris dan Uni Eropa untuk menandatangani pakta perceraian (Article 50) antar kedua pihak. Jadi, mencuatnya kemungkinan mengenai hard-brexit ini datang di saat yang kurang pas. Sebab, tenggang waktu bagi kedua belah pihak sudah sangat dekat.

Sempat 'diabaikan' sebelumnya, rasanya kini pelaku pasar akan mulai memberikan bobot yang tinggi bagi Brexit dalam pengambilan keputusannya.


Ketiga sentimen yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya (perang dagang AS-China, normalisasi the Fed, dan mencuatnya kemungkinan mengenai hard-brexit) sebenarnya sudah membebani pergerakan bursa saham Asia pada hari ini.

Indeks Hang Seng misalnya, terkoreksi hingga 1,62%. Dari tanah air, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 1,27%.

Sayangnya, dampak dari ketiga sentimen tersebut belum benar-benar terlihat lantaran perdagangan di mayoritas bursa saham utama kawasan Asia diliburkan.

Mengutip Reuters, bursa saham Jepang diliburkan seiring dengan perayaan Autumnal Equinox Day. Di China, bursa saham diliburkan seiring dengan perayaan Mid-Autumn Day dan Dragon Boat Holiday. Di Korea Selatan, bursa saham diliburkan guna memperingati Mid-Autumn Festival.

Pada perdagangan besok (25/9/2018), price-in secara sempurna baru akan kita lihat.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular