Bursa Saham Dunia Siap Balik Arah? Simak Penjelasannya

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 September 2018 18:02
Hard-Brexit Mungkin Terjadi
Foto: courtesy CNBC.com
Bisa dibilang, salah satu risiko yang seringkali 'diabaikan' oleh pelaku pasar saham dunia, terutama di AS dan Asia, adalah Brexit. Sepanjang tahun 2018, kabar mengenai sulitnya proses negosiasi Brexit beredar di kalangan pelaku pasar.

Belum lama ini, 2 tokoh kunci dari proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa yakni David Davis (Menteri Brexit) dan Boris Johnson (Menteri Luar Negeri) telah resmi mengundurkan diri. Pengunduran diri keduanya didasari ketidaksetujuan terhadap rencana sang Perdana Menteri Theresa May dalam membawa Inggris keluar dari Uni Eropa.

Namun, investor seolah tak terlalu menggubris perkembangan tersebut. Dinamika perang dagang AS-China dan normalisasi dari the Federal Reserve lebih mendapatkan panggung ketimbang Brexit. Mungkin, pelaku pasar percaya bahwa terlepas dari gunjang-ganjing yang terjadi, pada akhirnya soft-brexit dan bukan hard-brexit lah yang akan terjadi.

Salah satu perbedaan penting diantara kedua opsi itu adalah nasib perdagangan antara Inggris dengan Uni Eropa. Dalam skenario soft-brexit, Inggris akan tetap bisa melakukan perdagangan tanpa tarif dengan Uni Eropa. Hal ini menjadi penting mengingat Uni Eropa merupakan mitra dagang yang sangat penting bagi Inggris. Jika hard-brexit yang terjadi, maka kerjasama yang sudah terjalin selama ini akan gugur dan membuat produk-produk ekspor Inggris ke Uni Eropa lebih mahal, begitupun sebaliknya. Akibatnya, permintaan tentu akan berkurang.

Selain bidang perdagangan, bidang imigrasi juga menjadi hal yang penting untuk dicermati. Dalam skenario hard-brexit, para pekerja migran Uni Eropa bisa sangat sulit untuk menembus pasar tenaga kerja Inggris. Masalahnya, porsi dari pekerja migran Uni Eropa di Inggris cukup lumayan. Di sektor manufaktur makanan misalnya, 30% pekerjanya merupakan migran Uni Eropa. Di sektor perhotelan, porsinya adalah 20% dan di sektor bar & restoran, porsinya adalah 12%, seperti dikutip dari Bloomberg.

Kini, skenario terjadinya hard-brexit sudah tak bisa dianggap remeh lagi. Pada minggu lalu, Theresa May menyatakan bahwa perundingan Brexit mungkin sudah mengarah ke jalan buntu. Uni Eropa diketahui menolak proposal perceraian yang diajukan Inggris dengan alasan May harus menyertakan alasan yang kuat dalam hal perdagangan dan kepabeanan di perbatasan Inggris-Irlandia.

Agak emosi, May pun menantang Uni Eropa untuk menawarkan proposal baru soal perceraian ini. Sebab, dia merasa Uni Eropa menolak tanpa alasan yang jelas.

"Selama proses ini, saya selalu memperlakukan Uni Eropa dengan penuh rasa hormat. Kami juga mengharapkan hal yang sama, hubungan yang baik setelah berakhirnya proses ini ditentukan dari sekarang," tegas May dalam pidato di televisi, dikutip dari Reuters.

"Sulit diterima saat satu pihak menolak proposal pihak lain tanpa alasan dan solusi yang jelas. Kami perlu mendengar dari Uni Eropa, apa sebenarnya yang menjadi masalah dan apa alternatifnya. Sampai saat itu datang, kami tidak bisa mencapai kemajuan," jelas May.

Sebagai informasi, 13-14 Desember 2018 dipandang sebagai waktu terakhir bagi Inggris dan Uni Eropa untuk menandatangani pakta perceraian (Article 50) antar kedua pihak. Jadi, mencuatnya kemungkinan mengenai hard-brexit ini datang di saat yang kurang pas. Sebab, tenggang waktu bagi kedua belah pihak sudah sangat dekat.

Sempat 'diabaikan' sebelumnya, rasanya kini pelaku pasar akan mulai memberikan bobot yang tinggi bagi Brexit dalam pengambilan keputusannya.

(ank/hps)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular