
Bursa Saham Dunia Siap Balik Arah? Simak Penjelasannya
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 September 2018 18:02

Sepanjang tahun ini, bursa saham dunia dihantui sebuah ketidakpastian mengenai normalisasi suku bunga acuan oleh the Federal Reserve. Pada akhir tahun 2017, the Fed memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali. Kini, the Fed justru memproyeksikan normalisasi sebanyak 4 kali. Sebagai informasi, sepanjang tahun ini the Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 2 kali.
Normalisasi oleh the Fed merupakan sebuah hal yang secara signifikan akan mempengaruhi arah perekonomian Negeri Paman Sam dan pasar keuangan dunia. Ketika suku bunga acuan dinaikkan, maka suku bunga kredit lainnya seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akan ikut disesuaikan ke atas. Masalahnya, kenaikan suku bunga acuan yang kelewat agresif, terutama kala perang dagang dengan China tengah membara, bisa 'mematikan' perekonomian AS.
Dari kacamata pasar keuangan dunia, ketika suku bunga acuan dinaikkan, maka imbal hasil instrumen berpendapatan tetap di AS seperti deposito dan obligasi akan ikut terkerek naik dan menjadi menggiurkan di mata investor. Akibatnya, aliran modal bisa mengalir keluar dan mengarah ke AS. Mata uang pun mendapatkan tekanan, seperti yang terjadi kepada rupiah sepanjang 2018.
Pada 27 September dini hari waktu Indonesia nanti, the Fed akan mengumumkan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 23 September 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25bps pada pertemuan kali ini adalah sebesar 92%.
Yang menjadi masalah, kemungkinan bahwa the Fed akan mengerek suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini 'baru' berada di level 80,3%. Ini artinya, ruang bagi pelemahan mata uang negara-negara lain, termasuk Indonesia, masih cukup terbuka.
Bersamaan dengan pengumuman tingkat suku bunga acuan terbarunya, the Fed akan merilis dot plot versi terbaru. Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari anggota-anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun. Melalui dot plot versi terbaru, akan dilihat apakah semakin banyak anggota FOMC yang melihat kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini. (ank/hps)
Normalisasi oleh the Fed merupakan sebuah hal yang secara signifikan akan mempengaruhi arah perekonomian Negeri Paman Sam dan pasar keuangan dunia. Ketika suku bunga acuan dinaikkan, maka suku bunga kredit lainnya seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akan ikut disesuaikan ke atas. Masalahnya, kenaikan suku bunga acuan yang kelewat agresif, terutama kala perang dagang dengan China tengah membara, bisa 'mematikan' perekonomian AS.
Dari kacamata pasar keuangan dunia, ketika suku bunga acuan dinaikkan, maka imbal hasil instrumen berpendapatan tetap di AS seperti deposito dan obligasi akan ikut terkerek naik dan menjadi menggiurkan di mata investor. Akibatnya, aliran modal bisa mengalir keluar dan mengarah ke AS. Mata uang pun mendapatkan tekanan, seperti yang terjadi kepada rupiah sepanjang 2018.
Yang menjadi masalah, kemungkinan bahwa the Fed akan mengerek suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini 'baru' berada di level 80,3%. Ini artinya, ruang bagi pelemahan mata uang negara-negara lain, termasuk Indonesia, masih cukup terbuka.
Bersamaan dengan pengumuman tingkat suku bunga acuan terbarunya, the Fed akan merilis dot plot versi terbaru. Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari anggota-anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun. Melalui dot plot versi terbaru, akan dilihat apakah semakin banyak anggota FOMC yang melihat kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini. (ank/hps)
Next Page
Hard-Brexit Mungkin Terjadi
Pages
Most Popular