
Harga Batu Bara Merosot 1,7% Sepanjang Pekan Lalu
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
24 September 2018 10:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak acuan menguat 0,26% ke US$113,45/Metrik Ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Jumat (21/9/2018). Secara akumulatif, harga si batu hitam terkoreksi 1,69% di sepanjang pekan lalu.
Harga batu bara bahkan sempat menyentuh level terendahnya dalam 3,5 bulan atau sejak 6 Juni 2018, pada perdagangan hari Kamis (20/9/2018). Sedangkan, di sepanjang bulan September 2018, harganya sudah anjlok sebesar 3,86%.
Sentimen negatif bagi harga batu bara pekan lalu datang dari menipisnya permintaan sumber energi utama dunia ini. Tidak hanya dari China sebagai importir utama, sinyal turunnya permintaan juga datang dari importir besar lainnya, seperti Jepang dan India.
Selain itu, kembali berkecamuknya perang dagang AS-China juga menjadi pemberat harga sumber energi tidak ramah lingkungan ini.
Di sisi lain, kejatuhan harga batu bara masih lumayan dapat diredam oleh ekspektasi permintaan yang tinggi di musim dingin, serta persepsi disrupsi pasokan dari Indonesia dan Australia.
Persepsi penurunan konsumsi batu bara di China semakin nyata memasuki bulan September 2018. Menurut data China Coal Resources, stok batu bara di 6 pembangkit listrik utama China kembali menanjak secara mingguan (week-to-week/WtW) ke angka 15,4 juta ton, per hari Jumat (14/9/2018). Capaian itu merupakan yang tertinggi sejak Januari 2015.
Akibat masih tingginya level stok batu bara tersebut, pengguna akhir batu bara lantas menahan pembeliannya. Hal itu diindikasikan oleh impor batu bara China yang turun nyaris 40% WtW ke 1,98 juta ton per hari Jumat (7/9/2018), yang merupakan level terendah sejak sepekan yang berakhir 6 April, berdasarkan data dari Global Ports.
Berlalunya puncak musim panas nampaknya mulai memberikan dampak bagi menipisnya konsumsi batu bara Negeri Tirai Bambu. Sentimen ini lantas memberikan tekanan bagi harga batu bara, seiring China merupakan importir batu bara terbesar di dunia.
Namun, ternyata sentimen menipisnya permintaan batu bara tidak hanya dari Beijing. Mengutip data Global Ports, impor batu bara Jepang turun 1,55 juta ton WtW dalam sepekan hingga tanggal 14 September. Level itu menjadi yang terendah sejak April 2017.
Tidak hanya di Negeri Sakura, impor batu bara Korea Selatan dan India juga turun masing-masing sebesar 1,69 juta ton dan 2,56 juta ton secara mingguan, di periode yang sama. Lesunya permintaan komoditas ini lantas sukses menekan harga batu bara kemarin.
Sebagai tambahan, sentimen perang dagang ikut-ikutan jadi pemberat harga batu bara. Awal pekan lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan Negeri Adidaya akan menerapkan bea masuk baru bagi importasi produk made in China senilai US$200 miliar per 24 September. Tarif yang dikenakan adalah 10%, tetapi akan naik menjadi 25% pada akhir tahun.
China kemudian memutuskan untuk membalas kebijakan AS dengan membebankan bea masuk 10% untuk importasi produk made in USA senilai US$60 miliar, juga berlaku mulai 24 September. Ada 5.207 produk made in USA yang masuk daftar kena bea masuk baru ini. Mulai dari gas alam cair (LNG), pesawat terbang, bubuk kakao, sampai sayuran beku.
Mengingat AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi, friksi di antara keduanya tentu akan mempengaruhi seluruh negara. Arus perdagangan global akan seret dan pertumbuhan ekonomi melambat.
Perlambatan arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi sama dengan penurunan permintaan energi. Potensi penurunan permintaan ini lantas menjadi beban tambahan bagi pergerakan harga batu bara sepekan lalu.
(NEXT)
Harga batu bara bahkan sempat menyentuh level terendahnya dalam 3,5 bulan atau sejak 6 Juni 2018, pada perdagangan hari Kamis (20/9/2018). Sedangkan, di sepanjang bulan September 2018, harganya sudah anjlok sebesar 3,86%.
Sentimen negatif bagi harga batu bara pekan lalu datang dari menipisnya permintaan sumber energi utama dunia ini. Tidak hanya dari China sebagai importir utama, sinyal turunnya permintaan juga datang dari importir besar lainnya, seperti Jepang dan India.
Di sisi lain, kejatuhan harga batu bara masih lumayan dapat diredam oleh ekspektasi permintaan yang tinggi di musim dingin, serta persepsi disrupsi pasokan dari Indonesia dan Australia.
Persepsi penurunan konsumsi batu bara di China semakin nyata memasuki bulan September 2018. Menurut data China Coal Resources, stok batu bara di 6 pembangkit listrik utama China kembali menanjak secara mingguan (week-to-week/WtW) ke angka 15,4 juta ton, per hari Jumat (14/9/2018). Capaian itu merupakan yang tertinggi sejak Januari 2015.
Akibat masih tingginya level stok batu bara tersebut, pengguna akhir batu bara lantas menahan pembeliannya. Hal itu diindikasikan oleh impor batu bara China yang turun nyaris 40% WtW ke 1,98 juta ton per hari Jumat (7/9/2018), yang merupakan level terendah sejak sepekan yang berakhir 6 April, berdasarkan data dari Global Ports.
Berlalunya puncak musim panas nampaknya mulai memberikan dampak bagi menipisnya konsumsi batu bara Negeri Tirai Bambu. Sentimen ini lantas memberikan tekanan bagi harga batu bara, seiring China merupakan importir batu bara terbesar di dunia.
Namun, ternyata sentimen menipisnya permintaan batu bara tidak hanya dari Beijing. Mengutip data Global Ports, impor batu bara Jepang turun 1,55 juta ton WtW dalam sepekan hingga tanggal 14 September. Level itu menjadi yang terendah sejak April 2017.
Tidak hanya di Negeri Sakura, impor batu bara Korea Selatan dan India juga turun masing-masing sebesar 1,69 juta ton dan 2,56 juta ton secara mingguan, di periode yang sama. Lesunya permintaan komoditas ini lantas sukses menekan harga batu bara kemarin.
Sebagai tambahan, sentimen perang dagang ikut-ikutan jadi pemberat harga batu bara. Awal pekan lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan Negeri Adidaya akan menerapkan bea masuk baru bagi importasi produk made in China senilai US$200 miliar per 24 September. Tarif yang dikenakan adalah 10%, tetapi akan naik menjadi 25% pada akhir tahun.
China kemudian memutuskan untuk membalas kebijakan AS dengan membebankan bea masuk 10% untuk importasi produk made in USA senilai US$60 miliar, juga berlaku mulai 24 September. Ada 5.207 produk made in USA yang masuk daftar kena bea masuk baru ini. Mulai dari gas alam cair (LNG), pesawat terbang, bubuk kakao, sampai sayuran beku.
Mengingat AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi, friksi di antara keduanya tentu akan mempengaruhi seluruh negara. Arus perdagangan global akan seret dan pertumbuhan ekonomi melambat.
Perlambatan arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi sama dengan penurunan permintaan energi. Potensi penurunan permintaan ini lantas menjadi beban tambahan bagi pergerakan harga batu bara sepekan lalu.
(NEXT)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular