
Biaya Utang Makin Mahal, Pertumbuhan Ekonomi Dipertaruhkan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 September 2018 12:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Depresiasi rupiah membawa dampak yang luas. Akibat pelemahan rupiah, pertumbuhan ekonomi bisa terancam. Mengapa begitu?
Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 8,5% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, depresiasi rupiah menjadi yang terdalam kedua setelah rupee India.
Oleh karena itu, stabilisasi nilai tukar rupiah menjadi prioritas utama Bank Indonesia (BI) dalam jangka pendek. Berbagai jurus sudah dikeluarkan, termasuk ajian pamungkas yaitu menaikkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate.
Sepanjang 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin (bps). Perry Warjiyo, Gubernur BI, kerap kali menyatakan bahwa alasan utama kenaikan suku bunga acuan adalah untuk membuat pasar keuangan Indonesia menjadi atraktif. Sebab dari sisi inflasi domestik, belum ada alasan kuat untuk menjangkar inflasi. Hingga Agustus, inflasi cukup terkendali di 3,2% year-on-year (YoY) atau berada di kisaran tengah target BI yaitu 2,5-4,5%.
Kenaikan suku bunga acuan akan membuat imbalan investasi (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan naik. Ini tentunya bisa menjadi pemanis bagi investor, terutama asing, untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Tambahan modal asing ini yang menjadi harapan bagi rupiah agar bisa stabil, syukur-syukur berbalik menguat.
Namun langkah itu punya efek samping yang lumayan berat. Bagi investor kenaikan imbalan investasi adalah sesuatu yang menyenangkan, tapi bagaimana dengan pihak penerbit obligasi?
Mereka tentu harus membayar imbalan yang lebih tinggi. Kenaikan imbalan itu bisa terlihat dari perkembangan imbal hasil (yield) obligasi negara, yang menjadi market maker di pasar obligasi. Yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun sejak BI menaikkan suku bunga acuan, yaitu Mei, sudah naik 155,7 bps.
Ini baru obligasi negara, yield obligasi korporasi lebih tinggi lagi. Biasanya yield obligasi korporasi berkisar antara 135-200 bps di atas obligasi pemerintah.
Artinya, biaya yang dikeluarkan korporasi untuk penerbitan obligasi semakin besar. Sebagian korporasi pun mulai mengurungkan niat menerbitkan surat utang karena tidak mampu menanggung bebannya.
Padahal, penerbitan obligasi merupakan salah satu cara korporasi untuk melakukan ekspansi usaha atau berinvestasi di sektor baru. Saat pembiayaan sulit diakses, maka laju investasi pun terhambat.
Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 8,5% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, depresiasi rupiah menjadi yang terdalam kedua setelah rupee India.
Sepanjang 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin (bps). Perry Warjiyo, Gubernur BI, kerap kali menyatakan bahwa alasan utama kenaikan suku bunga acuan adalah untuk membuat pasar keuangan Indonesia menjadi atraktif. Sebab dari sisi inflasi domestik, belum ada alasan kuat untuk menjangkar inflasi. Hingga Agustus, inflasi cukup terkendali di 3,2% year-on-year (YoY) atau berada di kisaran tengah target BI yaitu 2,5-4,5%.
Kenaikan suku bunga acuan akan membuat imbalan investasi (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan naik. Ini tentunya bisa menjadi pemanis bagi investor, terutama asing, untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Tambahan modal asing ini yang menjadi harapan bagi rupiah agar bisa stabil, syukur-syukur berbalik menguat.
Namun langkah itu punya efek samping yang lumayan berat. Bagi investor kenaikan imbalan investasi adalah sesuatu yang menyenangkan, tapi bagaimana dengan pihak penerbit obligasi?
Mereka tentu harus membayar imbalan yang lebih tinggi. Kenaikan imbalan itu bisa terlihat dari perkembangan imbal hasil (yield) obligasi negara, yang menjadi market maker di pasar obligasi. Yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun sejak BI menaikkan suku bunga acuan, yaitu Mei, sudah naik 155,7 bps.
Ini baru obligasi negara, yield obligasi korporasi lebih tinggi lagi. Biasanya yield obligasi korporasi berkisar antara 135-200 bps di atas obligasi pemerintah.
Artinya, biaya yang dikeluarkan korporasi untuk penerbitan obligasi semakin besar. Sebagian korporasi pun mulai mengurungkan niat menerbitkan surat utang karena tidak mampu menanggung bebannya.
Padahal, penerbitan obligasi merupakan salah satu cara korporasi untuk melakukan ekspansi usaha atau berinvestasi di sektor baru. Saat pembiayaan sulit diakses, maka laju investasi pun terhambat.
Next Page
Pinjam Bank Juga Mahal
Pages
Most Popular