Di DPR, BI Jelaskan Tantangan Eksternal & Domestik Ekonomi RI

Lidya J Sembiring, CNBC Indonesia
10 September 2018 15:40
Dari pandangan BI, perekonomian Indonesia hingga saat ini sudah baik, kuat, dan solid.
Foto: CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) dan pemerintah kembali memberikan penjelasan kepada Komisi XI DPR mengenai asumsi dasar ekonomi makro RAPBN 2019.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, dari pandangan BI, perekonomian Indonesia hingga saat ini sudah baik, kuat, dan solid, terutama didukung dengan permintaan domestik yang masih besar.

Di sisi lain stabilitas makroekonomi kuat sebagaimana tercermin dengan inflasi yang terkendali pada level yang lebih rendah dan stabil serta sistem keuangan yang tetap terjaga.

"Berbagai catatan positif perekonomian tersebut bukanlah hal yang mudah untuk diraih. Sejak 2013, bank sentral AS terus menaikkan bunga dari 0,25% sampai saat ini 2,0%. Berbagai tantangan terutama dari global yang apabila tidak kita respons dengan baik maka menggangu stabilitas makroekonomi dan keuangan serta ketahanan eksternal," ujarnya di ruang rapat Komisi XI, Jakarta, Senin (10/9/2018).

Meski cukup baik, tapi ada sejumlah tantangan yang masih akan dihadapi terutama dari global.

Tantangan Global
Tantangan dari global berasal dari pertumbuhan ekonomi dunia di kisaran 3,9% baik di 2018 maupun 2019 yang tidak akan merata. Ekonomi AS hanya menguat sendiri di tengah melemahnya pertumbuhan ekonomi Eropa, Jepang, dan China.

Menurut Mirza, pertmbuhan ekonomi yang tidak merata memengaruhi volume perdagangan dunia yang kemudian berdampak pada harga komoditas yang cenderung melambat kecuali harga minyak yang tetap tinggi.

Selain itu, ketidakpastian pasar keuangan meningkat sejalan dengan divergensi kebijakan moneter dan risiko hambatan dari gejala ekonomi Turki dan Argentina sebagai respons atas perekonomian global.

Tantangan lanjutan, yakni dari Bank Sentral AS yang diperkirakan tetap melanjutkan rencana kenaikan suku bunga sebanyak empat kali di 2018. Itu artinya masih ada dua kali kenaikan lagi hingga akhir tahun.

Lalu di 2019 ada rencana kenaikan sebanyak tiga kali sehingga diharapkan ini akan berhenti di atas 2019.

"Mudah-mudahan tahun 2019 titik puncak kebijakan moneter di AS. Kami perkirakan jika suku bunga AS di 2019 sudah pada titik puncak dan akan turun setelah 2019 bisa saja di tahun 2020 atau 2021. Maka kami perkirakan volatilitas kurs 2019 harusnya lebih rendah dibandingkan 2018," ujar Mirza.

Kemudian, ketidakpastian global juga dipicu ketegangan perdagangan AS dan sejumlah negara yang mendorong balasan lebih luas. Sebagai gambaran China telah melakukan depresiasi kurs empat bulan terkhir sebesar 7% yang dipahami sebagai respons trade war dengan AS.

Tantangan Sisi Domestik
Mirza menyebut dari sisi domestik ekonomi Indonesia cukup baik dan kuat menahan tekanan dari ekonomi global. Hal itu ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2018 sebesar 5,27% dan inflasi yang terjaga sesuai dengan range yang ditetapkan pemerintah dan BI.

"Inflasi rendah tersebut terjadi merata di seluruh wilayah. Inflasi yang rendah sesuai dengan ekspektasi, kapasitas produksi nasional yang memadai, terbatasnya depresiasi rupiah terhadap inflasi serta didukung kordinasi BI dan pemerintah," kata dia.

Meski demikian ada tantangan juga yang muncul dari dalam negeri yang harus diperbaiki yakni defisit transaksi berjalan (current acount defisit/CAD) yang melebar capai 3% di kuartal II 2018..

"Dari sisi neraca pembayaran, CAD meningkat dan ini bagi BI harus waspadai. CAD kuartal II-2018 tercatat US$ 8 miliar atau 3% dari PDB. Kami dalam mengkomunikasikan pada pasar keuangan yang jadi investor terutama di SBN. Kami selalu menyampaikan bahwa kami berusaha agar CAD tidak melebihi 3% dari PDB," kata dia.

Dia menjelaskan, ke depan BI akan menjaga CAD tetap berada di bawah 3% dan akan lebih menurun di 2019. BI, pemerintah, dan OJK akan melakukan koordinasi untuk menurunkan CAD tersebut sehingga tekanan untuk nilai tukar rupiah juga tidak semakin dalam.

Akan tetapi, hal itu tentu banyak tergantung dari bagaimana kita bisa lakukan upaya-upaya kurangi CAD termasuk upaya-upaya yang mengurangi impor yang terkait dengan proyek infrastruktur yang saat ini beberapa akan dilakukan penjadwalan dan kemudian juga implementasi B20.

"Berbagai bauran kebijakan yang dilakukan pemerintah, BI dan OJK, diharapkan memperbaiki CAD di 2019." ujar Mirza.

Kemudian, tekanan global untuk nilai tukar di 2019 dinilai tidak akan setinggi saat ini. Oleh karena itu, kurs rata-rata pada 2019 diproyeksi tertinggi hanya di level Rp 14.700 per US$.

"Proyeksi rata-rata nilai tukar pada 2019 akan berada kisaran Rp 14.300- Rp 14.700," kata Mirza.


(miq/miq) Next Article Penjelasan DGS BI Soal Makroekonomi RI yang Rentan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular