
Ini Masalah Ekonomi RI yang Tak Kelar dan Bikin Rupiah Anjlok
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
04 October 2018 12:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mengalami pelemahan. Sampai dengan Kamis (4/10/2018) pukul 12.00 WIB, US$ 1 diperdagangkan pada level Rp 15.180 di pasar spot.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, menilai pelemahan rupiah tak dapat dilepaskan dari struktural perekonomian Indonesia, yaitu defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Sampai dengan kuartal II 2018, CAD sudah mencapai US$ 8 miliar atau sekitar 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Mirza lantas menceritakan, pada periode 2000-2010, CAD pernah mencatatkan surplus. Mengapa demikian? Ini karena harga komoditas berupa kelapa sawit, nikel, hingga timah, begitu tinggi.
"Tapi sekarang sejak 2011, kita alami lagi seperti 1998. Ini yang buat kenapa suplai valuta asing selalu kurang," kata Mirza.
Kekurangan valas, menurut dia, bisa ditutupi dari penanaman modal asing (PMA) yang masuk. Namun, yang paling dibutuhkan adalah PMA berorientasi ekspor.
"Selama ini defisit valas itu ditutup portofolio masuk," kata Mirza.
Mantan kepala ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk itu menjelaskan, tahun ini, portofolio yang masuk belum menggembirakan. Sebab, masih terjadi outflow dengan kisaran 2 miliar dolar AS sampai 3 miliar dolar AS.
Kenapa hal itu terjadi? Sebab, suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) terus naik ditambah fakta ekonomi AS berjaya dengan berbagai indikatornya. Di sisi lain, ekonomi Eropa melambat sehingga portofolio kembali ke AS.
"Maka penting kita tunjukkan ke investor portofolio bahwa kita kelola dengan baik. BI sudah naikkan (bunga acuan) 150 bps. Kita harus tunjukkan financial market tetap kompetitif dan kendalikan defisit impor barang dan jasa," ujar Mirza.
Lebih lanjut, dia mengatakan situasi volatil sedang dialami semua emerging market. Tapi, gejolak lebih besar terjadi pada CAD yang mengalami defisit lebih besar.
Kendati pun begitu, Mirza bersyukur pemerintah dan BI bersatu pada supaya CAD berkurang.
"Kita yakinkan, kita friendly pada PMA orientasi ekspor. Proyek infrastruktur yang belum financial close. Kapan volatilty di emerging market selesai? Mudah-mudahan semester I selesai," katanya.
(miq/wed) Next Article CAD 2020 Ramping, Awas 2021 Bisa Melar!
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, menilai pelemahan rupiah tak dapat dilepaskan dari struktural perekonomian Indonesia, yaitu defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Sampai dengan kuartal II 2018, CAD sudah mencapai US$ 8 miliar atau sekitar 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
"Apa yang jadi pekerjaan rumah? Masalah CAD. Ini masalah yang belum bisa diselesaikan," ujar Mirza seusai acara peluncuran IMF Book Launch dengan tema "Realizing Indonesia's Economic Potential" di Ruang Serbaguna, Gedung B, Kompleks BI, Jakarta, Kamis (4/10/2018).
![]() |
Mirza lantas menceritakan, pada periode 2000-2010, CAD pernah mencatatkan surplus. Mengapa demikian? Ini karena harga komoditas berupa kelapa sawit, nikel, hingga timah, begitu tinggi.
"Tapi sekarang sejak 2011, kita alami lagi seperti 1998. Ini yang buat kenapa suplai valuta asing selalu kurang," kata Mirza.
Kekurangan valas, menurut dia, bisa ditutupi dari penanaman modal asing (PMA) yang masuk. Namun, yang paling dibutuhkan adalah PMA berorientasi ekspor.
"Selama ini defisit valas itu ditutup portofolio masuk," kata Mirza.
Kenapa hal itu terjadi? Sebab, suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) terus naik ditambah fakta ekonomi AS berjaya dengan berbagai indikatornya. Di sisi lain, ekonomi Eropa melambat sehingga portofolio kembali ke AS.
"Maka penting kita tunjukkan ke investor portofolio bahwa kita kelola dengan baik. BI sudah naikkan (bunga acuan) 150 bps. Kita harus tunjukkan financial market tetap kompetitif dan kendalikan defisit impor barang dan jasa," ujar Mirza.
Lebih lanjut, dia mengatakan situasi volatil sedang dialami semua emerging market. Tapi, gejolak lebih besar terjadi pada CAD yang mengalami defisit lebih besar.
Kendati pun begitu, Mirza bersyukur pemerintah dan BI bersatu pada supaya CAD berkurang.
"Kita yakinkan, kita friendly pada PMA orientasi ekspor. Proyek infrastruktur yang belum financial close. Kapan volatilty di emerging market selesai? Mudah-mudahan semester I selesai," katanya.
(miq/wed) Next Article CAD 2020 Ramping, Awas 2021 Bisa Melar!
Most Popular