
Penjelasan DGS BI Soal Makroekonomi RI yang Rentan
Lidya Julita S, CNBC Indonesia
10 September 2018 14:19

Jakarta, CNBC Indonesia -- Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menuturkan perkembangan makroekonomi Indonesia hingga September 2018 positif dan patut disyukuri.
Pertumbuhan ekonomi tetap solid dan di sisi lain stabilitas makroekonomi cukup kuat dengan inflasi terkendali.
Menurut Mirza, berbagai catatan positif tidak diraih dengan mudah. Apalagi sejak 2013 Bank Sentral AS (The Fed) terus menaikkan suku bunga.
Berikut penjelasan lengkap Mirza di hadapan anggota Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/9/2018):
Kita banyak mengalami tantangan dari global yang jika kita tidak respons dengan baik maka akan sulit dan ke depan akan lebih banyak tekanan.
Di sisi global meningkat, pertumbuhan ekonomi meningkat. Ekonomi AS terus menguat di tengah melemahnya pertumbuhan ekonomi Eropa dan Jepang. Pertumbuhan ekonomi tidak merata tersebut mempengaruhi harga komoditas yang cenderung melambat kecuali harga minyak.
Sebagai respons atas ekonomi global terjadi kebijakan moneter AS dengan negara-negara lainnya. Di satu sisi The Fed akan masih menaikkan suku bunga dan 2019 mudah-mudahan titik puncak kebijakan moneter AS.
Di sisi lain, kondisi itu membuat negara-negara emerging market menaikkan suku bunganya, di mana bukan Indonesia yang naikkan suku bunga merespons suku bunga The Fed tapi negara-negara lain juga.
Sebagai gambaran China. Tiongkok lakukan depresiasi kurs sekitar 7%. Ketidakpastian ekonomi global semakin tinggi dengan gejolak Turki dan Argentina.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Indo cukup kuat 5,27% di kuartal II atau tertinggi. Konsumsi rumah tangga tumbuh kuat sejalan dengan stimulus fiskal dan inflasi.
Sementara investasi tetap tigngi sejalan dengan pertumbuhan infrastruktur. Inflasi masih rendah 3,5% plus minus 1%. IHK deflasi 0,05%. Inflasi rendah merata di seluruh wilayah terjaga dengan kapasitas produksi, dampak depresiasi rupiah yang kuat dan koordinasi pemerintah dan BI
CAD meningkat dan ini bagi BI yang harus kita waspada. CAD kuartal II 8 miliar US$ atau 3%. Kami dari BI komunikasikan ke pasar keuangan di SBN. Kami sampaikan bahwa kami berusaha agar defisit transaksi berjalan tidak melebihi 3% dr PBD.
Sampai dengan semester I 2018 berada 2,5% dari PDB. Itu kemudian sumber utama dari pelemahan kurs di tengah interest rate dari AS yang meningkat dan ditambah trade war yang China respons melakukan pelamahan kurs.
CAD akan dibatas 3% dan menurun di 2019 dan ini tentu catatan kami adalah banyak tergantung dari banyak melakukan upaya-upaya menurunkan CAD, kurangi impor terkait proyek infrastruktur yang akan dilakukan penjadwalan dan implementasi B20.
Berbagai bauran kebijakan pemerintah, BI, dan OJK diharapkan dapat memperbaiki CAD di 2019. Rupiah mengalami tekanan tapi lebih baik dari negara lain, disebabkan faktor eksternal dan kemudian faktor internal CAD yang hampir dekati 3% dr PDB.
Berdasarkan perkembangan terkini, BI lakukan bauran kebijakan untuk stabilisasi. Respons suku bunga sudah dinaikkan 1,25% menjadi 5,5%. Kebijakan tersebut dilakukan agar obligasi menarik bagi pasar global.
Kedua, BI akan selalu ada di pasar lakukan intervensi ganda, khususnya saat terjadi pembalikkan modal. Ketiga, sediakan swap valas dan hedging dengan tingkat bunga rendah dan kami juga baru luncurkan Indonia dan kami juga akan luncurkan over night swap.
Ini kami lakukan untuk dorong pertumbuhan ekonomi. Kami juga longgrakan DP. Pemerintah dan BI akan terus koordinasi menghadapi tekanan global dan fokus turunkan CAD.
Berdasarkan perkembangan ekonomi terkini, kami lakukan beberapa penyesuaian, pertumbuhan ekonomi 2018 tetap akan kuat 5.0-5.4% ssejalan dengan risiko ekternal terus meningkat.
Dan titik tengah 5,1-5,2%. Ke depan BI melihat pertumbuhan ekonomi lebih meningkat di 2019 menjadi 5,1-5,5%. Kami melihat sutuasi global menantang kami di kisaran bawah 5,1-5,5% tersebut.
Kami perkirakan volatilitas kurs 2019 harusnya lebih rendah dari 2018. Kisaran proyeksi tersebut di 2019 lebih rendah dari sebelumnya. Proyeksi rata-rata nilai tukar 2019 Rp 14.300 sampai Rp 14.700. Inflasi 3,5 plus minus 1%,
(miq/miq) Next Article BI Optimistis Rupiah Bisa ke Rp 15.000/ US$
Pertumbuhan ekonomi tetap solid dan di sisi lain stabilitas makroekonomi cukup kuat dengan inflasi terkendali.
Menurut Mirza, berbagai catatan positif tidak diraih dengan mudah. Apalagi sejak 2013 Bank Sentral AS (The Fed) terus menaikkan suku bunga.
Kita banyak mengalami tantangan dari global yang jika kita tidak respons dengan baik maka akan sulit dan ke depan akan lebih banyak tekanan.
Di sisi global meningkat, pertumbuhan ekonomi meningkat. Ekonomi AS terus menguat di tengah melemahnya pertumbuhan ekonomi Eropa dan Jepang. Pertumbuhan ekonomi tidak merata tersebut mempengaruhi harga komoditas yang cenderung melambat kecuali harga minyak.
Sebagai respons atas ekonomi global terjadi kebijakan moneter AS dengan negara-negara lainnya. Di satu sisi The Fed akan masih menaikkan suku bunga dan 2019 mudah-mudahan titik puncak kebijakan moneter AS.
Di sisi lain, kondisi itu membuat negara-negara emerging market menaikkan suku bunganya, di mana bukan Indonesia yang naikkan suku bunga merespons suku bunga The Fed tapi negara-negara lain juga.
Sebagai gambaran China. Tiongkok lakukan depresiasi kurs sekitar 7%. Ketidakpastian ekonomi global semakin tinggi dengan gejolak Turki dan Argentina.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Indo cukup kuat 5,27% di kuartal II atau tertinggi. Konsumsi rumah tangga tumbuh kuat sejalan dengan stimulus fiskal dan inflasi.
Sementara investasi tetap tigngi sejalan dengan pertumbuhan infrastruktur. Inflasi masih rendah 3,5% plus minus 1%. IHK deflasi 0,05%. Inflasi rendah merata di seluruh wilayah terjaga dengan kapasitas produksi, dampak depresiasi rupiah yang kuat dan koordinasi pemerintah dan BI
Sampai dengan semester I 2018 berada 2,5% dari PDB. Itu kemudian sumber utama dari pelemahan kurs di tengah interest rate dari AS yang meningkat dan ditambah trade war yang China respons melakukan pelamahan kurs.
CAD akan dibatas 3% dan menurun di 2019 dan ini tentu catatan kami adalah banyak tergantung dari banyak melakukan upaya-upaya menurunkan CAD, kurangi impor terkait proyek infrastruktur yang akan dilakukan penjadwalan dan implementasi B20.
Berbagai bauran kebijakan pemerintah, BI, dan OJK diharapkan dapat memperbaiki CAD di 2019. Rupiah mengalami tekanan tapi lebih baik dari negara lain, disebabkan faktor eksternal dan kemudian faktor internal CAD yang hampir dekati 3% dr PDB.
Berdasarkan perkembangan terkini, BI lakukan bauran kebijakan untuk stabilisasi. Respons suku bunga sudah dinaikkan 1,25% menjadi 5,5%. Kebijakan tersebut dilakukan agar obligasi menarik bagi pasar global.
Kedua, BI akan selalu ada di pasar lakukan intervensi ganda, khususnya saat terjadi pembalikkan modal. Ketiga, sediakan swap valas dan hedging dengan tingkat bunga rendah dan kami juga baru luncurkan Indonia dan kami juga akan luncurkan over night swap.
Ini kami lakukan untuk dorong pertumbuhan ekonomi. Kami juga longgrakan DP. Pemerintah dan BI akan terus koordinasi menghadapi tekanan global dan fokus turunkan CAD.
Berdasarkan perkembangan ekonomi terkini, kami lakukan beberapa penyesuaian, pertumbuhan ekonomi 2018 tetap akan kuat 5.0-5.4% ssejalan dengan risiko ekternal terus meningkat.
Dan titik tengah 5,1-5,2%. Ke depan BI melihat pertumbuhan ekonomi lebih meningkat di 2019 menjadi 5,1-5,5%. Kami melihat sutuasi global menantang kami di kisaran bawah 5,1-5,5% tersebut.
Kami perkirakan volatilitas kurs 2019 harusnya lebih rendah dari 2018. Kisaran proyeksi tersebut di 2019 lebih rendah dari sebelumnya. Proyeksi rata-rata nilai tukar 2019 Rp 14.300 sampai Rp 14.700. Inflasi 3,5 plus minus 1%,
(miq/miq) Next Article BI Optimistis Rupiah Bisa ke Rp 15.000/ US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular