
Penjelasan Lengkap Sri Mulyani Soal Ekonomi RI di Hadapan DPR
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
10 September 2018 13:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan kondisi perekonomian terkini di hadapan anggota Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/9/2018).
Menurut dia, kondisi perekonomian global yang ditandai kebijakan demi kebijakan di Amerika Serikat (AS) sehingga sangat memengaruhi perekonomian dalam negeri.
Berikut penjelasan lengkap Sri Mulyani dalam rapat yang juga dihadiri petinggi Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian PPN/Bappenas, tersebut:
Perkembangan ekonomi global masih berlangsung. Pemulihan yang terjadi sejak 2017 dan seperti disampaikan IMF mereka bersifat broadbased.
Pemulihan diharapkan terjadi di seluruh negara, advance country, developing country, dan emerging markets. Namun narasi tersebut akan ditinjau kembali bahwa pemulihan ekonomi dunia makin menunjukkan risiko yang meningkat.
Hal ini diakibatkan. Pertama, normalisasi dari kebijakan moneter AS itu ada dua, yaitu pertama tingkat bunga dan kedua tingkat likuiditasnya. Normalisasi itu artinya mereka melakukan tahapan untuk menyesuaikan kembali dua tindakan extraordinary dalam rangka pada saat menghadapi krisis 2008.
Pada saat itu, menurunkan bunga serendah mungkin dan mencetak dolar cukup banyak. Dengan demikian normalisasi kebijakan moneter itu ada dua implikasi
Suku bunga akan dinaikkan dan sesuai kemajuan pemulihan ekonomi AS dan ancaman inflasi sesuai target inflasi yang ditetapkan Fed pada level 2%. Kemudian likuditas secara bertahap dikurangi kembali. Dengan demikian likuiditas akan disedot.
Dolar AS adalah mata uang yang digunakan di dunia. Dia komponen basket currency dunia. Kita melihat kenaikan bunga AS secara kuartal terakhir kenaikannya cukup signifikan, kenaikan lebih dari 175 bps. Dari sisi implikasinya, tentu saja down side risk pemulihan ekonomi dunia akan terjadi.
Kedua, perkembagnan kebijakan perdagangan AS. Kita mungkin sudah ikuti berita setiap hari. Pertama 50 billion impor dari China yang diberikan tarif Presiden Trump dan pada saat yang sama disampaikan akan dikenakan tarif yang sama, dan ketiga pada saat pengumuman 267 billion.
Total keseluruhan impor dari RRT ke AS lebih dari 500 milion merupakan target policy perdagangan AS. Arah kebijakan di AS adalah meminta manufaktur untuk kembali ke AS.
Ini adalah risiko kedua yang sangat nyata, karena AS lakukan terhadap Kanada, Eropa, dan bahkan potensi terhadap Jepang bukan hanya RRT. Kondisi ini timbulkan dinamika pada 2018 yang tentu memberikan pengaruh risiko terhadap outlook di 2018 dan diperkirakan akan terus 2019
Dari sisi ekonomi riil, pertumbuhan ekonomi di banyak negara, terutama di advance country, AS adalah growth terkuat. Namun yang lain sudah menunjukkan adanya kemungkinan down side risk tersebut.
EU, Jerman sudah walaupun mereka paling kuat di Eropa, tapi negara-negara sudah hadapi down side risk yang sama. Aktivitas riil ini, kuartal tiga masih cukup solid, pergerakan ke arah moderat dari berbagai policy akan terjadi pada kuartal IV.
Ini dari indeks PMI yang dalam ini trend sudah menunjukkan menurun dan dalam hal ini akan memunculkan moderasi ekspektasi.
Pertumbuhan negara di seluruh dunia proyeksi di 2018 adalah 3,9%, di mana AS menunjukkan dari negara advance outlook 2,9%. Sedangkan zona Eropa, diperkirakan akan sedikit menurun dibandingkan 2017 ke 2,2, terutama disumbangkan negara-negara besar.
Jerman, turun dari 2,5 jadi 2,2, Prancis turun di bawah 2%, Italia lebih rendah, bahkan diperkirakan GDP sangat besar, maka apabila Italia masuk resesi dead dynamic yang mengkahwatirkan.
Inggris diwarnai ketidakpastian dari Brexit. Ini gambarkan 2018 outlook total 3,9%, namun dinamika perlu kita waspadai antara negara advance berkembang, dan emerging.
RRT akan tumbh moderat dari tahun lalu, outlok India nilai tukar akan terkoreksi dan current account akan jauh lebih berat. Karena itu di 2019 meskipun belum ada revisi, biasanya lembaga internaisonal issue revisi di Oktober.
Mungkin diperkirakan 2019 akan ada outlook baru yann mencapture dinamika yang terjadi sejak April sampai Oktober nanti. Down side risk 2019 akan makin tinggi.
Dengan konteks tersebut, maka di 2018 melihat tren ke belakang outlook ke depan, momentum sudah mulai muncul, Namun ada beberapa faktor yang tidak ikut sinkron sehingga memberikan dinamika.
2019 kita dihadapkan lingkungan global kenaikan bunga acuan, trade war, dan pertumbuhan global ekonomi yang mengalami revisi karena adanya down side risk.
2019 dipersepsikan tahun politik, mungkn akan timbulkan adanya dinamika persepsi pelaku ekonomi.
Dari sisi policy pemerintah, karena kita lihat adanya situasi dinamika yang dilihat meningkat pada semester II, kebijakan fiskal pemerintah akan lebih mementingkan fungsi stabilisasi dibandingkan distribusi atau alokasi. Jadi counter cyclical. Growth sedang momentum, jadi tidak perlu lagi. Ini bacground arah kebijakan fiskal
Kami mengunakan 5,3% growth, konsumsi di atas 5%-5,1%. Konsumsi pemerintah 5,4%, PMTB 7%, ekspor 6,3% melemah, 7,1% impor. Ini karena semester kedua karena langkah-langkah kebijakan untuk mengurangi dan mengendalikan impor.
Growth 5,3% hadapi down side risik yang disampaikan pada penjelasan tadi. Kalau dilihat berbagai lembaga dunia yang lakukan forecast ekonomi Indonesia. Bank Dunia diupdate Juni perkirakan 5,2%, konsensus forecats agustus masih 5,3% hampir sama nota keuangan kita.
OECD terakhir di Mei, masih sangat up beat di 5,4. ADB Juli forecast 5,3%, dan IMF April forecast 5,5%.
Kita ihat pada semester kedua, mereka akan update. PE 2019, menurut produksi di tabel ini, pertanian kehutanan perikanan relatif kuat pada level 3,8 sedikit di bawah namun tetap solid di bawah 3%. Pertambangan relatif tidak meningkat tinggi karena ketidakpastian meningkat. Industri pengolahan tinggi
(miq/miq) Next Article Tahun Depan, Sri Mulyani Sebut Rupiah Bisa ke Rp 15.000/US$
Menurut dia, kondisi perekonomian global yang ditandai kebijakan demi kebijakan di Amerika Serikat (AS) sehingga sangat memengaruhi perekonomian dalam negeri.
Berikut penjelasan lengkap Sri Mulyani dalam rapat yang juga dihadiri petinggi Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian PPN/Bappenas, tersebut:
Pemulihan diharapkan terjadi di seluruh negara, advance country, developing country, dan emerging markets. Namun narasi tersebut akan ditinjau kembali bahwa pemulihan ekonomi dunia makin menunjukkan risiko yang meningkat.
Hal ini diakibatkan. Pertama, normalisasi dari kebijakan moneter AS itu ada dua, yaitu pertama tingkat bunga dan kedua tingkat likuiditasnya. Normalisasi itu artinya mereka melakukan tahapan untuk menyesuaikan kembali dua tindakan extraordinary dalam rangka pada saat menghadapi krisis 2008.
Pada saat itu, menurunkan bunga serendah mungkin dan mencetak dolar cukup banyak. Dengan demikian normalisasi kebijakan moneter itu ada dua implikasi
Suku bunga akan dinaikkan dan sesuai kemajuan pemulihan ekonomi AS dan ancaman inflasi sesuai target inflasi yang ditetapkan Fed pada level 2%. Kemudian likuditas secara bertahap dikurangi kembali. Dengan demikian likuiditas akan disedot.
Dolar AS adalah mata uang yang digunakan di dunia. Dia komponen basket currency dunia. Kita melihat kenaikan bunga AS secara kuartal terakhir kenaikannya cukup signifikan, kenaikan lebih dari 175 bps. Dari sisi implikasinya, tentu saja down side risk pemulihan ekonomi dunia akan terjadi.
Kedua, perkembagnan kebijakan perdagangan AS. Kita mungkin sudah ikuti berita setiap hari. Pertama 50 billion impor dari China yang diberikan tarif Presiden Trump dan pada saat yang sama disampaikan akan dikenakan tarif yang sama, dan ketiga pada saat pengumuman 267 billion.
Total keseluruhan impor dari RRT ke AS lebih dari 500 milion merupakan target policy perdagangan AS. Arah kebijakan di AS adalah meminta manufaktur untuk kembali ke AS.
Ini adalah risiko kedua yang sangat nyata, karena AS lakukan terhadap Kanada, Eropa, dan bahkan potensi terhadap Jepang bukan hanya RRT. Kondisi ini timbulkan dinamika pada 2018 yang tentu memberikan pengaruh risiko terhadap outlook di 2018 dan diperkirakan akan terus 2019
Dari sisi ekonomi riil, pertumbuhan ekonomi di banyak negara, terutama di advance country, AS adalah growth terkuat. Namun yang lain sudah menunjukkan adanya kemungkinan down side risk tersebut.
EU, Jerman sudah walaupun mereka paling kuat di Eropa, tapi negara-negara sudah hadapi down side risk yang sama. Aktivitas riil ini, kuartal tiga masih cukup solid, pergerakan ke arah moderat dari berbagai policy akan terjadi pada kuartal IV.
Ini dari indeks PMI yang dalam ini trend sudah menunjukkan menurun dan dalam hal ini akan memunculkan moderasi ekspektasi.
Jerman, turun dari 2,5 jadi 2,2, Prancis turun di bawah 2%, Italia lebih rendah, bahkan diperkirakan GDP sangat besar, maka apabila Italia masuk resesi dead dynamic yang mengkahwatirkan.
Inggris diwarnai ketidakpastian dari Brexit. Ini gambarkan 2018 outlook total 3,9%, namun dinamika perlu kita waspadai antara negara advance berkembang, dan emerging.
RRT akan tumbh moderat dari tahun lalu, outlok India nilai tukar akan terkoreksi dan current account akan jauh lebih berat. Karena itu di 2019 meskipun belum ada revisi, biasanya lembaga internaisonal issue revisi di Oktober.
Mungkin diperkirakan 2019 akan ada outlook baru yann mencapture dinamika yang terjadi sejak April sampai Oktober nanti. Down side risk 2019 akan makin tinggi.
Dengan konteks tersebut, maka di 2018 melihat tren ke belakang outlook ke depan, momentum sudah mulai muncul, Namun ada beberapa faktor yang tidak ikut sinkron sehingga memberikan dinamika.
![]() |
2019 kita dihadapkan lingkungan global kenaikan bunga acuan, trade war, dan pertumbuhan global ekonomi yang mengalami revisi karena adanya down side risk.
2019 dipersepsikan tahun politik, mungkn akan timbulkan adanya dinamika persepsi pelaku ekonomi.
Dari sisi policy pemerintah, karena kita lihat adanya situasi dinamika yang dilihat meningkat pada semester II, kebijakan fiskal pemerintah akan lebih mementingkan fungsi stabilisasi dibandingkan distribusi atau alokasi. Jadi counter cyclical. Growth sedang momentum, jadi tidak perlu lagi. Ini bacground arah kebijakan fiskal
Kami mengunakan 5,3% growth, konsumsi di atas 5%-5,1%. Konsumsi pemerintah 5,4%, PMTB 7%, ekspor 6,3% melemah, 7,1% impor. Ini karena semester kedua karena langkah-langkah kebijakan untuk mengurangi dan mengendalikan impor.
Growth 5,3% hadapi down side risik yang disampaikan pada penjelasan tadi. Kalau dilihat berbagai lembaga dunia yang lakukan forecast ekonomi Indonesia. Bank Dunia diupdate Juni perkirakan 5,2%, konsensus forecats agustus masih 5,3% hampir sama nota keuangan kita.
OECD terakhir di Mei, masih sangat up beat di 5,4. ADB Juli forecast 5,3%, dan IMF April forecast 5,5%.
Kita ihat pada semester kedua, mereka akan update. PE 2019, menurut produksi di tabel ini, pertanian kehutanan perikanan relatif kuat pada level 3,8 sedikit di bawah namun tetap solid di bawah 3%. Pertambangan relatif tidak meningkat tinggi karena ketidakpastian meningkat. Industri pengolahan tinggi
(miq/miq) Next Article Tahun Depan, Sri Mulyani Sebut Rupiah Bisa ke Rp 15.000/US$
Most Popular