
Newsletter
Simak Perang Dagang AS-China Sampai Penyelamatan Rupiah
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 September 2018 06:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh, tetapi rupiah bertahan stagnan.
Kemarin, IHSG ditutup anjlok 3,76%. Ini merupakan koreksi harian terdalam sejak November 2016.
Bursa saham Asia memang sama-sama melemah, tetapi IHSG menjadi yang paling dalam. Indeks Nikkei 225 turun 0,51%, Hang Seng anjlok 2,61%, Shanghai Composite amblas 1,68%, Kospi melemah 1,03%, dan Straits Time berkurang 1,69%.
Ada beberapa faktor, baik dalam dan luar negeri, yang membuat IHSG terperosok lumayan dalam. Dari dalam negeri, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut oleh Bank Indonesia (BI) membuat pasar saham ditinggalkan. Persepsi ini muncul kala rupiah sudah menembus level psikologis Rp 14.900/US$.
Jika suku bunga acuan kembali dinaikkan, maka kinerja dari emiten-emiten perbankan bisa terganggu, seiring dengan tertekannya penyaluran kredit lantaran kenaikan suku bunga. Padahal, penyaluran kredit perbankan baru saja menggeliat.
Selain itu, ketika rupiah melemah dengan besaran yang signifikan, ada ketakutan bahwa rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) dari bank-bank di tanah air akan terkerek naik seperti pada 2015. Maka dari itu, investor begitu gencar melepas saham-saham emiten perbankan.
Dari sisi eksternal, kekhawatiran investor datang dari potensi memanasnya perang dagang antara AS dan China. Hari ini, tahapan dengar pendapat untuk aturan pengenaan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir. Beredar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.
Kemudian, dari serangkaian data ekonomi di kawasan regional yang dirilis kemarin, tidak ada satu pun yang mampu mengalahkan ekspektasi. Di Singapura, data Nikkei PMI periode Agustus berada di 51,1, di bawah konsensus yang sebesar 52,3.
Di China, Caixin Composite PMI periode Agustus diumumkan sebesar 52, sama dengan konsensus. Sementara, Caixin Services PMI periode yang sama adalah 51,5, atau lebih rendah dari konsensus yang sebesar 52,2. Di Hong Kong, data Nikkei PMI periode Agustus sebesar 48,5, lebih rendah dari estimasi yang sebesar 49.
Terakhir, investor juga tengah memantau perkembangan di negara-negara berkembang setelah gonjang-ganjing yang disebabkan Turki, Argentina, dan teranyar Afrika Selatan. Investor cenderung melepas mata uang dan aset berbasis mata uang negara yang mengidap defisit di transaksi berjalan (current account).
Sebab, arus modal dari pasar keuangan kemungkinan besar akan seret karena tersedot ke AS. Oleh karena itu, mata uang hanya akan mengandalkan transaksi berjalan agar bisa menguat. Saat transaksi berjalan tekor, maka tidak ada lagi pijakan untuk mata uang tersebut bisa menguat.
Itulah yang dialami Indonesia. Pada kuartal II-2018, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), paling dalam sejak kuartal II-2014.
Kemungkinan defisit yang cukup dalam akan terulang pada kuartal III-2018. Pertanda ke sana terlihat dari defisit neraca perdagangan Juli yang lumayan besar yaitu mencapai US$ 2,03 miliar.
Melihat potensi rupiah sulit menguat, investor (terutama asing) pun cenderung menghindari Indonesia. Sebab kalau mereka masuk sekarang, ada kemungkinan nantinya malah rugi karena pelemahan nilai tukar.
Beruntungnya, nilai tukar rupiah ditutup stagnan di pasar spot. Meski stagnan, pencapaian ini mengakhiri tren depresiasi rupiah yang terjadi selama 6 hari perdagangan terakhir.
Rupiah berhasil menghindari zona negatif berkat peran Bank Indonesia (BI) yang aktif 'bergerilya' di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN). Intervensi BI berhasil menjaga rupiah tetap menguat sampai jelang akhir perdagangan.
Meski demikian, perlu diingat bahwa saat BI melakukan intervensi secara masif, maka cadangan devisa yang menjadi taruhannya. Sepanjang 2018, cadangan devisa Indonesia sudah tergerus sebesar US$ 11,9 miliar, utamanya guna menahan pelemahan rupiah.
Kemarin, IHSG ditutup anjlok 3,76%. Ini merupakan koreksi harian terdalam sejak November 2016.
Bursa saham Asia memang sama-sama melemah, tetapi IHSG menjadi yang paling dalam. Indeks Nikkei 225 turun 0,51%, Hang Seng anjlok 2,61%, Shanghai Composite amblas 1,68%, Kospi melemah 1,03%, dan Straits Time berkurang 1,69%.
Ada beberapa faktor, baik dalam dan luar negeri, yang membuat IHSG terperosok lumayan dalam. Dari dalam negeri, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut oleh Bank Indonesia (BI) membuat pasar saham ditinggalkan. Persepsi ini muncul kala rupiah sudah menembus level psikologis Rp 14.900/US$.
Jika suku bunga acuan kembali dinaikkan, maka kinerja dari emiten-emiten perbankan bisa terganggu, seiring dengan tertekannya penyaluran kredit lantaran kenaikan suku bunga. Padahal, penyaluran kredit perbankan baru saja menggeliat.
Selain itu, ketika rupiah melemah dengan besaran yang signifikan, ada ketakutan bahwa rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) dari bank-bank di tanah air akan terkerek naik seperti pada 2015. Maka dari itu, investor begitu gencar melepas saham-saham emiten perbankan.
Dari sisi eksternal, kekhawatiran investor datang dari potensi memanasnya perang dagang antara AS dan China. Hari ini, tahapan dengar pendapat untuk aturan pengenaan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir. Beredar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.
Kemudian, dari serangkaian data ekonomi di kawasan regional yang dirilis kemarin, tidak ada satu pun yang mampu mengalahkan ekspektasi. Di Singapura, data Nikkei PMI periode Agustus berada di 51,1, di bawah konsensus yang sebesar 52,3.
Di China, Caixin Composite PMI periode Agustus diumumkan sebesar 52, sama dengan konsensus. Sementara, Caixin Services PMI periode yang sama adalah 51,5, atau lebih rendah dari konsensus yang sebesar 52,2. Di Hong Kong, data Nikkei PMI periode Agustus sebesar 48,5, lebih rendah dari estimasi yang sebesar 49.
Terakhir, investor juga tengah memantau perkembangan di negara-negara berkembang setelah gonjang-ganjing yang disebabkan Turki, Argentina, dan teranyar Afrika Selatan. Investor cenderung melepas mata uang dan aset berbasis mata uang negara yang mengidap defisit di transaksi berjalan (current account).
Sebab, arus modal dari pasar keuangan kemungkinan besar akan seret karena tersedot ke AS. Oleh karena itu, mata uang hanya akan mengandalkan transaksi berjalan agar bisa menguat. Saat transaksi berjalan tekor, maka tidak ada lagi pijakan untuk mata uang tersebut bisa menguat.
Itulah yang dialami Indonesia. Pada kuartal II-2018, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), paling dalam sejak kuartal II-2014.
Kemungkinan defisit yang cukup dalam akan terulang pada kuartal III-2018. Pertanda ke sana terlihat dari defisit neraca perdagangan Juli yang lumayan besar yaitu mencapai US$ 2,03 miliar.
Melihat potensi rupiah sulit menguat, investor (terutama asing) pun cenderung menghindari Indonesia. Sebab kalau mereka masuk sekarang, ada kemungkinan nantinya malah rugi karena pelemahan nilai tukar.
Beruntungnya, nilai tukar rupiah ditutup stagnan di pasar spot. Meski stagnan, pencapaian ini mengakhiri tren depresiasi rupiah yang terjadi selama 6 hari perdagangan terakhir.
Rupiah berhasil menghindari zona negatif berkat peran Bank Indonesia (BI) yang aktif 'bergerilya' di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN). Intervensi BI berhasil menjaga rupiah tetap menguat sampai jelang akhir perdagangan.
Meski demikian, perlu diingat bahwa saat BI melakukan intervensi secara masif, maka cadangan devisa yang menjadi taruhannya. Sepanjang 2018, cadangan devisa Indonesia sudah tergerus sebesar US$ 11,9 miliar, utamanya guna menahan pelemahan rupiah.
Pages
Most Popular