Masih Ada 'Kanker' yang Bikin Rupiah Sulit Menguat
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2018 12:47

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah dan akan terus melakukan operasi penyelamatan rupiah. Maklum, saat ini prioritas utama otoritas fiskal dan moneter adalah stabilitas rupiah.
Bank Indonesia telah mengeluarkan amunisi utamanya, yaitu kenaikan suku bunga acuan. Sejak awal tahun, Perry Warjiyo dan kolega telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin.
Kenaikan suku bunga diharapkan mampu membuat pasar keuangan Indonesia lebih atraktif karena menjanjikan peningkatan imbalan, khususnya di instrumen berpendapatan tetap (fixed income). Kebijakan ini mungkin lumayan berhasil, karena menaikkan kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN).
Per 31 Agustus, posisi kepemilikan asing di SBN tercatat Rp 855,79 triliun, naik 2,24% dibandingkan awal tahun. Bisa saja minat investor asing yang bertambah ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga.
Sementara dari sisi pemerintah, pekan lalu kebijakan wajib pencampuran 20% bahan bakar nabati ke minyak disel/solar sudah mulai berlaku. Kebijakan yang dikenal dengan nama B20 ini diharapkan mampu menekan impor solar, yang pada akhirnya menekan devisa yang terbang ke luar negeri.
Teranyar, pemerintah mewacanakan untuk mengambil langkah hukum bagi pihak-pihak yang berspekulasi dengan mata uang. Mereka yang 'beternak' dolar AS tanpa ada kebutuhan bisa ditindak.
"Kami akan meneliti dan memonitor secara detail tingkah laku pelaku pasar, mana yang transaksi legitimate demi memenuhi keperluan industrinya, atau tidak legitimate. Kalau tidak legitimate, kami akan lakukan tindakan tegas agar tidak menimbulkan spekulasi atau sentimen negatif," tegas Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, usai rapat di Istana Negara, kemarin.
Langkah-langkah tersebut patut mendapat apresiasi, karena menunjukkan komitmen pemerintah dan BI dalam mendukung rupiah. Namun (mohon maaf), langkah-langkah tersebut hanya antiseptik untuk membersihkan luka. Rupiah mengidap penyakit yang sudah akut bin kronis, 'kanker' yang belum bisa disembuhkan.
'Kanker' itu adalah deindustrialisasi. Sudah cukup lama industri pengolahan tidak mampu tumbuh lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi umum. Padahal, sektor ini adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada kuartal II-2018, ekonomi Indonesia secara umum tumbuh 5,27%. Namun industri pengolahan tumbuh jauh di bawah itu yaitu 3,97%.
Tanpa industri yang memadai, Indonesia selalu membutuhkan impor untuk memenuhi peningkatan permintaan. Setiap kali ekonomi tumbuh lebih baik, impor pun mengalir deras. Akibatnya, neraca perdagangan defisit dan menular ke transaksi berjalan.
Dengan industrialisasi, kebutuhan impor itu akan berkurang bahkan mungkin punah. Kalau permintaan sudah bisa dipenuhi industri dalam negeri, buat apa lagi mengimpor?
Selain itu, industrialisasi juga akan meningkatkan ekspor. Kombinasi penurunan impor dan kenaikan ekspor akan membuat arus devisa yang diterima Indonesia menjadi lebih gemuk. Devisa ini akan bertahan lama, tidak mudah keluar-masuk, dan menjadi jaminan mutu untuk menopang rupiah.
Membangkitkan kembali industri nasional memang butuh waktu, tidak bisa dilakukan dalam semalam. Namun kalau saja ini dilakukan sejak belasan tahun lalu, mungkin hasilnya sudah bisa dinikmati sekarang. Rupiah tidak akan selemah hari ini.
Inilah konsekuensinya kalau industrialisasi dinomorduakan. Inilah akibatnya kalau defisit transaksi berjalan dibiarkan terlalu lama. Sebaiknya pengalaman ini jadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/roy)
Bank Indonesia telah mengeluarkan amunisi utamanya, yaitu kenaikan suku bunga acuan. Sejak awal tahun, Perry Warjiyo dan kolega telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin.
Kenaikan suku bunga diharapkan mampu membuat pasar keuangan Indonesia lebih atraktif karena menjanjikan peningkatan imbalan, khususnya di instrumen berpendapatan tetap (fixed income). Kebijakan ini mungkin lumayan berhasil, karena menaikkan kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN).
Sementara dari sisi pemerintah, pekan lalu kebijakan wajib pencampuran 20% bahan bakar nabati ke minyak disel/solar sudah mulai berlaku. Kebijakan yang dikenal dengan nama B20 ini diharapkan mampu menekan impor solar, yang pada akhirnya menekan devisa yang terbang ke luar negeri.
Teranyar, pemerintah mewacanakan untuk mengambil langkah hukum bagi pihak-pihak yang berspekulasi dengan mata uang. Mereka yang 'beternak' dolar AS tanpa ada kebutuhan bisa ditindak.
"Kami akan meneliti dan memonitor secara detail tingkah laku pelaku pasar, mana yang transaksi legitimate demi memenuhi keperluan industrinya, atau tidak legitimate. Kalau tidak legitimate, kami akan lakukan tindakan tegas agar tidak menimbulkan spekulasi atau sentimen negatif," tegas Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, usai rapat di Istana Negara, kemarin.
Langkah-langkah tersebut patut mendapat apresiasi, karena menunjukkan komitmen pemerintah dan BI dalam mendukung rupiah. Namun (mohon maaf), langkah-langkah tersebut hanya antiseptik untuk membersihkan luka. Rupiah mengidap penyakit yang sudah akut bin kronis, 'kanker' yang belum bisa disembuhkan.
'Kanker' itu adalah deindustrialisasi. Sudah cukup lama industri pengolahan tidak mampu tumbuh lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi umum. Padahal, sektor ini adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada kuartal II-2018, ekonomi Indonesia secara umum tumbuh 5,27%. Namun industri pengolahan tumbuh jauh di bawah itu yaitu 3,97%.
Tanpa industri yang memadai, Indonesia selalu membutuhkan impor untuk memenuhi peningkatan permintaan. Setiap kali ekonomi tumbuh lebih baik, impor pun mengalir deras. Akibatnya, neraca perdagangan defisit dan menular ke transaksi berjalan.
Dengan industrialisasi, kebutuhan impor itu akan berkurang bahkan mungkin punah. Kalau permintaan sudah bisa dipenuhi industri dalam negeri, buat apa lagi mengimpor?
Selain itu, industrialisasi juga akan meningkatkan ekspor. Kombinasi penurunan impor dan kenaikan ekspor akan membuat arus devisa yang diterima Indonesia menjadi lebih gemuk. Devisa ini akan bertahan lama, tidak mudah keluar-masuk, dan menjadi jaminan mutu untuk menopang rupiah.
Membangkitkan kembali industri nasional memang butuh waktu, tidak bisa dilakukan dalam semalam. Namun kalau saja ini dilakukan sejak belasan tahun lalu, mungkin hasilnya sudah bisa dinikmati sekarang. Rupiah tidak akan selemah hari ini.
Inilah konsekuensinya kalau industrialisasi dinomorduakan. Inilah akibatnya kalau defisit transaksi berjalan dibiarkan terlalu lama. Sebaiknya pengalaman ini jadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages
Most Popular