Jadi, pelemahan rupiah bisa dibilang bukan sepenuhnya kesalahan Indonesia. Dolar AS memang begitu kuat sehingga menekan mata uang dunia. Keperkasaan greenback utamanya didorong oleh kenaikan suku bunga acuan.
Perekonomian AS di bawah Presiden Donald Trump harus diakui tumbuh kencang. Teranyar, ekonomi AS tumbuh 4,2% pada kuartal II-2018.
Laju ekonomi Negeri Paman Sam didorong oleh insentif pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk badan maupun orang pribadi. Insentif ini berhasil menjadi pelumas yang ampuh bagi mesin pertumbuhan ekonomi AS, dia membuat gerak konsumsi dan investasi melesat.
Percepatan laju konsumsi ditunjukkan oleh inflasi AS yang kian cepat. Pada Juli 2018, inflasi AS tercatat 2,4% secara
year-on-year (YoY). Itu adalah laju tercepat sejak September 2018, alias nyaris 10 tahun. Artinya, bisa dibilang konsumsi masyarakat sudah pulih dan kembali ke era sebelum krisis keuangan global.
Sementara investasi yang tumbuh tercermin dari optimisme dunia usaha, yang terlihat dari Puchasing Managers Index (PMI). Jika indeks ini di atas 50, artinya dunia usaha cenderung ekspansif.
Pada Juli 2018, PMI versi Markit menunjukkan angka 55,7. Indeks ini sempat mencapai 56,6 pada Mei, tertinggi sejak April 2015.
Kalau ekonomi dibiarkan melaju begitu saja, maka akan menyebabkan
overhating. Inflasi akan melaju kencang, karena permintaan tumbuh tanpa pasokan yang memadai. Inflasi yang sebenarnya tidak perlu, bisa dihindari.
Oleh karena itu, The Fed mencoba mengerem sisi permintaan dengan menaikkan suku bunga acuan. Sejak 2015 suku bunga acuan di AS memang terus naik, tetapi tahun ini lajunya lebih cepat.
Awalnya, investor memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018. Namun melihat pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi AS yang semakin gegas, maka dosisnya perlu dinaikkan menjadi empat kali.
Meski bertujuan untuk mengerem permintaan, tetapi kenaikan suku bunga acuan otomatis membuat instrumen berbasis dolar AS menjadi menarik. Imbalan berinvestasi di Negeri Adidaya naik, sehingga dolar AS dan aset-aset berbasis mata uang ini semakin jadi favorit.
Tingginya minat terhadap dolar AS membuat nilai atau harga mata uang ini naik. Mata uang lain pun dilepas untuk membeli dolar AS. Hasilnya jelas, dolar AS
seng ada lawan.
NEXT
Itu dari sisi eksternal yang di luar kuasa Indonesia. Namun sebenarnya rupiah juga terbeban oleh faktor domestik yaitu transaksi berjalan (
current account).
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa. Devisa dari sisi ini dianggap lebih mumpuni, lebih mampu menopang nilai tukar dalam jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti portofolio di sektor keuangan.
Malang bagi Indonesia. Sejak 2011, Indonesia tidak pernah mengalami surplus di neraca ini. Artinya, devisa dari sisi ekspor barang dan jasa lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Dampaknya, rupiah seakan berdiri tanpa pijakan yang kuat.
Saat ini investor global sepertinya tengah menyoroti transaksi berjalan di negara-negara berkembang. Pasalnya, arus modal portofolio hampir dipastikan kering karena tersedot ke AS. Oleh karena itu, semestinya memang transaksi berjalan yang menopang nilai tukar.
Faktor ini ini yang membuat selama beberapa waktu terakhir investor cenderung meninggalkan negara-negara berkembang dengan transaksi berjalan yang defisit. Sebab, negara yang mengidap 'penyakit' itu akan sulit mengalami apresiasi kurs karena memang tidak ada yang menopang.
Diawali dari Turki, aksi jual berlanjut ke Argentina. Dalam sebulan terakhir, mata uang lira Turki anjlok 24,18% sementara peso Argentina merosot 38,45%. Rupiah juga melemah, tetapi 'hanya' 2,99%.
Sementara negara-negara yang mencatat surplus di transaksi perdagangan nasibnya lebih baik. Misalnya dolar Singapura yang hanya terdepresiasi 0,39%, ringgit Malaysia melemah 1,39%, bahkan baht Thailand mampu menguat 1,8%. Andai saja Indonesia tidak mengalami defisit transaksi berjalan, mungkin rupiah tidak perlu melemah sedalam sekarang.
NEXT Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah dan akan terus melakukan operasi penyelamatan rupiah. Maklum, saat ini prioritas utama otoritas fiskal dan moneter adalah stabilitas rupiah.
Bank Indonesia telah mengeluarkan amunisi utamanya, yaitu kenaikan suku bunga acuan. Sejak awal tahun, Perry Warjiyo dan kolega telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin.
Kenaikan suku bunga diharapkan mampu membuat pasar keuangan Indonesia lebih atraktif karena menjanjikan peningkatan imbalan, khususnya di instrumen berpendapatan tetap (
fixed income). Kebijakan ini mungkin lumayan berhasil, karena menaikkan kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN).
Per 31 Agustus, posisi kepemilikan asing di SBN tercatat Rp 855,79 triliun, naik 2,24% dibandingkan awal tahun. Bisa saja minat investor asing yang bertambah ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga.
Sementara dari sisi pemerintah, pekan lalu kebijakan wajib pencampuran 20% bahan bakar nabati ke minyak disel/solar sudah mulai berlaku. Kebijakan yang dikenal dengan nama B20 ini diharapkan mampu menekan impor solar, yang pada akhirnya menekan devisa yang terbang ke luar negeri.
Teranyar, pemerintah mewacanakan untuk mengambil langkah hukum bagi pihak-pihak yang berspekulasi dengan mata uang. Mereka yang 'beternak' dolar AS tanpa ada kebutuhan bisa ditindak.
"Kami akan meneliti dan memonitor secara detail tingkah laku pelaku pasar, mana yang transaksi legitimate demi memenuhi keperluan industrinya, atau tidak
legitimate. Kalau tidak
legitimate, kami akan lakukan tindakan tegas agar tidak menimbulkan spekulasi atau sentimen negatif," tegas Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, usai rapat di Istana Negara, kemarin.
Langkah-langkah tersebut patut mendapat apresiasi, karena menunjukkan komitmen pemerintah dan BI dalam mendukung rupiah. Namun (mohon maaf), langkah-langkah tersebut hanya antiseptik untuk membersihkan luka. Rupiah mengidap penyakit yang sudah akut bin kronis, 'kanker' yang belum bisa disembuhkan.
'Kanker' itu adalah deindustrialisasi. Sudah cukup lama industri pengolahan tidak mampu tumbuh lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi umum. Padahal, sektor ini adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada kuartal II-2018, ekonomi Indonesia secara umum tumbuh 5,27%. Namun industri pengolahan tumbuh jauh di bawah itu yaitu 3,97%.
Tanpa industri yang memadai, Indonesia selalu membutuhkan impor untuk memenuhi peningkatan permintaan. Setiap kali ekonomi tumbuh lebih baik, impor pun mengalir deras. Akibatnya, neraca perdagangan defisit dan menular ke transaksi berjalan.
Dengan industrialisasi, kebutuhan impor itu akan berkurang bahkan mungkin punah. Kalau permintaan sudah bisa dipenuhi industri dalam negeri, buat apa lagi mengimpor?
Selain itu, industrialisasi juga akan meningkatkan ekspor. Kombinasi penurunan impor dan kenaikan ekspor akan membuat arus devisa yang diterima Indonesia menjadi lebih gemuk. Devisa ini akan bertahan lama, tidak mudah keluar-masuk, dan menjadi jaminan mutu untuk menopang rupiah.
Membangkitkan kembali industri nasional memang butuh waktu, tidak bisa dilakukan dalam semalam. Namun kalau saja ini dilakukan sejak belasan tahun lalu, mungkin hasilnya sudah bisa dinikmati sekarang. Rupiah tidak akan selemah hari ini.
Inilah konsekuensinya kalau industrialisasi dinomorduakan. Inilah akibatnya kalau defisit transaksi berjalan dibiarkan terlalu lama. Sebaiknya pengalaman ini jadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA