
Rupiah Masih Terlemah di Asia, Masih Terlemah Sejak Krismon
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2018 17:26

Penyebab pelemahan rupiah hari ini sepertinya murni faktor domestik. Sebab, dolar AS tengah dalam posisi defensif. Pada pukul 16:47 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama) melemah tipis 0,02%.
Ada kemungkinan dolar AS kena ambil untung alias profit taking. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index naik 0,4%. Sementara dalam 3 bulan ke belakang penguatannya mencapai 1,21%, 6 bulan 5,64%, dan sejak awal tahun 3,3%. Angka-angka ini cukup merangsang minat investor untuk merealisasikan keuntungan.
Apalagi pasar keuangan AS sedang libur memperingati Hari Buruh, sehingga menjadi waktu yang tepat untuk keluar sementara waktu.
Faktor domestik menjadi dominan. Ada kabar bahwa para eksportir sengaja menahan dolar AS sehingga likuiditasnya menjadi ketat.
"Eksportir tidak mau melepas dolar AS. Mereka mematok di level kurs di atas Rp 14.850/US$, kalau sudah lebih baru mau melepas. Jadi stok dolar AS di pasar kurang," bisik pejabat negara yang tak ingin disebutkan namanya.
Bagi eksportir, rupiah yang melemah memang berpotensi membawa untung. Kala rupiah melemah, maka harga produk Indonesia di pasar global semakin murah. Akibatnya, permintaan naik dan pendapatan meningkat.
Apalagi ke depan memang ada potensi rupiah untuk melemah lebih lanjut. Dari sisi eksternal, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun.
Setiap kali Bank Sentral AS itu menaikkan suku bunga, arus modal selalu tersedot ke Negeri Adidaya karena investor mengincar kenaikan imbalan. Kalau aliran dana terpusat ke AS, maka Indonesia akan mengalami kekeringan sehingga rupiah minim pijakan untuk menguat.
Dari dalam negeri, sepertinya transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018 masih akan mengalami defisit yang lumayan dalam. Tanda-tanda ke arah sana terlihat dari defisit neraca perdagangan yang mencapai US$ 2,03 miliar pada Juli, terdalam sejak 2014.
Tanpa dukungan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah makin tidak punya daya untuk merengkuh penguatan. Ditambah arus modal portofolio yang juga seret karena tersedot ke AS, nasib rupiah memang masih penuh tanda tanya.
Oleh karena itu, memang ada alasan yang bagi eksportir untuk menahan valasnya. Namun ada baiknya persepsi itu diubah, demi kepentingan yang lebih besar.
Depresiasi rupiah berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia secara umum, dampak yang nantinya akan dirasakan juga oleh eksportir. Lagipula, sebenarnya pelemahan kurs belum terlalu berdampak kepada peningkatan ekspor Indonesia secara umum, sebab masih didominasi komoditas. Ekspor yang berbasis komoditas tidak terlampau elastis terhadap kurs, lebih dipengaruhi oleh permintaan dan harga global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Ada kemungkinan dolar AS kena ambil untung alias profit taking. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index naik 0,4%. Sementara dalam 3 bulan ke belakang penguatannya mencapai 1,21%, 6 bulan 5,64%, dan sejak awal tahun 3,3%. Angka-angka ini cukup merangsang minat investor untuk merealisasikan keuntungan.
Apalagi pasar keuangan AS sedang libur memperingati Hari Buruh, sehingga menjadi waktu yang tepat untuk keluar sementara waktu.
"Eksportir tidak mau melepas dolar AS. Mereka mematok di level kurs di atas Rp 14.850/US$, kalau sudah lebih baru mau melepas. Jadi stok dolar AS di pasar kurang," bisik pejabat negara yang tak ingin disebutkan namanya.
Bagi eksportir, rupiah yang melemah memang berpotensi membawa untung. Kala rupiah melemah, maka harga produk Indonesia di pasar global semakin murah. Akibatnya, permintaan naik dan pendapatan meningkat.
Apalagi ke depan memang ada potensi rupiah untuk melemah lebih lanjut. Dari sisi eksternal, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun.
Setiap kali Bank Sentral AS itu menaikkan suku bunga, arus modal selalu tersedot ke Negeri Adidaya karena investor mengincar kenaikan imbalan. Kalau aliran dana terpusat ke AS, maka Indonesia akan mengalami kekeringan sehingga rupiah minim pijakan untuk menguat.
Dari dalam negeri, sepertinya transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018 masih akan mengalami defisit yang lumayan dalam. Tanda-tanda ke arah sana terlihat dari defisit neraca perdagangan yang mencapai US$ 2,03 miliar pada Juli, terdalam sejak 2014.
Tanpa dukungan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah makin tidak punya daya untuk merengkuh penguatan. Ditambah arus modal portofolio yang juga seret karena tersedot ke AS, nasib rupiah memang masih penuh tanda tanya.
Oleh karena itu, memang ada alasan yang bagi eksportir untuk menahan valasnya. Namun ada baiknya persepsi itu diubah, demi kepentingan yang lebih besar.
Depresiasi rupiah berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia secara umum, dampak yang nantinya akan dirasakan juga oleh eksportir. Lagipula, sebenarnya pelemahan kurs belum terlalu berdampak kepada peningkatan ekspor Indonesia secara umum, sebab masih didominasi komoditas. Ekspor yang berbasis komoditas tidak terlampau elastis terhadap kurs, lebih dipengaruhi oleh permintaan dan harga global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular