
Rupiah Masih Terlemah di Asia, Masih Terlemah Sejak Krismon
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2018 17:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah pada perdagangan awal pekan ini. Rupiah pun menyentuh titik terlemah sejak 1998.
Pada Senin (3/9/2018), US$ 1 di pasar spot ditutup di Rp 14.810. Rupiah melemah 0,58% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Ini merupakan posisi penutupan terlemah sejak Juli 1998, saat Indonesia dilanda krisis moneter (krismon).
Depresiasi rupiah hari ini menggenapi tren pelemahan menjadi 5 hari beruntun. Selama 5 hari itu, rupiah melemah 1,3% dan secara nominal naik 193 poin.
Untuk perdagangan hari ini, rupiah dibuka melemah tipis 0,07%. Seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin menjadi. Posisi terlemah rupiah hari ini adalah Rp 14.825/US$ sementara terkuatnya ada di Rp 14.735/US$.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah pada perdagangan hari ini:
Mata uang utama Asia sebenarnya cenderung menguat terhadap dolar AS. Selain rupiah, hanya ringgit Malaysia, peso Filipina, dan dolar Taiwan yang tidak berdaya di hadapan mata uang Negeri Paman Sam. Namun di antara mereka, depresiasi rupiah menjadi yang terdalam.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia:
Penyebab pelemahan rupiah hari ini sepertinya murni faktor domestik. Sebab, dolar AS tengah dalam posisi defensif. Pada pukul 16:47 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama) melemah tipis 0,02%.
Ada kemungkinan dolar AS kena ambil untung alias profit taking. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index naik 0,4%. Sementara dalam 3 bulan ke belakang penguatannya mencapai 1,21%, 6 bulan 5,64%, dan sejak awal tahun 3,3%. Angka-angka ini cukup merangsang minat investor untuk merealisasikan keuntungan.
Apalagi pasar keuangan AS sedang libur memperingati Hari Buruh, sehingga menjadi waktu yang tepat untuk keluar sementara waktu.
Faktor domestik menjadi dominan. Ada kabar bahwa para eksportir sengaja menahan dolar AS sehingga likuiditasnya menjadi ketat.
"Eksportir tidak mau melepas dolar AS. Mereka mematok di level kurs di atas Rp 14.850/US$, kalau sudah lebih baru mau melepas. Jadi stok dolar AS di pasar kurang," bisik pejabat negara yang tak ingin disebutkan namanya.
Bagi eksportir, rupiah yang melemah memang berpotensi membawa untung. Kala rupiah melemah, maka harga produk Indonesia di pasar global semakin murah. Akibatnya, permintaan naik dan pendapatan meningkat.
Apalagi ke depan memang ada potensi rupiah untuk melemah lebih lanjut. Dari sisi eksternal, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun.
Setiap kali Bank Sentral AS itu menaikkan suku bunga, arus modal selalu tersedot ke Negeri Adidaya karena investor mengincar kenaikan imbalan. Kalau aliran dana terpusat ke AS, maka Indonesia akan mengalami kekeringan sehingga rupiah minim pijakan untuk menguat.
Dari dalam negeri, sepertinya transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018 masih akan mengalami defisit yang lumayan dalam. Tanda-tanda ke arah sana terlihat dari defisit neraca perdagangan yang mencapai US$ 2,03 miliar pada Juli, terdalam sejak 2014.
Tanpa dukungan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah makin tidak punya daya untuk merengkuh penguatan. Ditambah arus modal portofolio yang juga seret karena tersedot ke AS, nasib rupiah memang masih penuh tanda tanya.
Oleh karena itu, memang ada alasan yang bagi eksportir untuk menahan valasnya. Namun ada baiknya persepsi itu diubah, demi kepentingan yang lebih besar.
Depresiasi rupiah berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia secara umum, dampak yang nantinya akan dirasakan juga oleh eksportir. Lagipula, sebenarnya pelemahan kurs belum terlalu berdampak kepada peningkatan ekspor Indonesia secara umum, sebab masih didominasi komoditas. Ekspor yang berbasis komoditas tidak terlampau elastis terhadap kurs, lebih dipengaruhi oleh permintaan dan harga global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Pada Senin (3/9/2018), US$ 1 di pasar spot ditutup di Rp 14.810. Rupiah melemah 0,58% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Ini merupakan posisi penutupan terlemah sejak Juli 1998, saat Indonesia dilanda krisis moneter (krismon).
Depresiasi rupiah hari ini menggenapi tren pelemahan menjadi 5 hari beruntun. Selama 5 hari itu, rupiah melemah 1,3% dan secara nominal naik 193 poin.
Untuk perdagangan hari ini, rupiah dibuka melemah tipis 0,07%. Seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin menjadi. Posisi terlemah rupiah hari ini adalah Rp 14.825/US$ sementara terkuatnya ada di Rp 14.735/US$.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah pada perdagangan hari ini:
Mata uang utama Asia sebenarnya cenderung menguat terhadap dolar AS. Selain rupiah, hanya ringgit Malaysia, peso Filipina, dan dolar Taiwan yang tidak berdaya di hadapan mata uang Negeri Paman Sam. Namun di antara mereka, depresiasi rupiah menjadi yang terdalam.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia:
Penyebab pelemahan rupiah hari ini sepertinya murni faktor domestik. Sebab, dolar AS tengah dalam posisi defensif. Pada pukul 16:47 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama) melemah tipis 0,02%.
Ada kemungkinan dolar AS kena ambil untung alias profit taking. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index naik 0,4%. Sementara dalam 3 bulan ke belakang penguatannya mencapai 1,21%, 6 bulan 5,64%, dan sejak awal tahun 3,3%. Angka-angka ini cukup merangsang minat investor untuk merealisasikan keuntungan.
Apalagi pasar keuangan AS sedang libur memperingati Hari Buruh, sehingga menjadi waktu yang tepat untuk keluar sementara waktu.
Faktor domestik menjadi dominan. Ada kabar bahwa para eksportir sengaja menahan dolar AS sehingga likuiditasnya menjadi ketat.
"Eksportir tidak mau melepas dolar AS. Mereka mematok di level kurs di atas Rp 14.850/US$, kalau sudah lebih baru mau melepas. Jadi stok dolar AS di pasar kurang," bisik pejabat negara yang tak ingin disebutkan namanya.
Bagi eksportir, rupiah yang melemah memang berpotensi membawa untung. Kala rupiah melemah, maka harga produk Indonesia di pasar global semakin murah. Akibatnya, permintaan naik dan pendapatan meningkat.
Apalagi ke depan memang ada potensi rupiah untuk melemah lebih lanjut. Dari sisi eksternal, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun.
Setiap kali Bank Sentral AS itu menaikkan suku bunga, arus modal selalu tersedot ke Negeri Adidaya karena investor mengincar kenaikan imbalan. Kalau aliran dana terpusat ke AS, maka Indonesia akan mengalami kekeringan sehingga rupiah minim pijakan untuk menguat.
Dari dalam negeri, sepertinya transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018 masih akan mengalami defisit yang lumayan dalam. Tanda-tanda ke arah sana terlihat dari defisit neraca perdagangan yang mencapai US$ 2,03 miliar pada Juli, terdalam sejak 2014.
Tanpa dukungan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah makin tidak punya daya untuk merengkuh penguatan. Ditambah arus modal portofolio yang juga seret karena tersedot ke AS, nasib rupiah memang masih penuh tanda tanya.
Oleh karena itu, memang ada alasan yang bagi eksportir untuk menahan valasnya. Namun ada baiknya persepsi itu diubah, demi kepentingan yang lebih besar.
Depresiasi rupiah berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia secara umum, dampak yang nantinya akan dirasakan juga oleh eksportir. Lagipula, sebenarnya pelemahan kurs belum terlalu berdampak kepada peningkatan ekspor Indonesia secara umum, sebab masih didominasi komoditas. Ekspor yang berbasis komoditas tidak terlampau elastis terhadap kurs, lebih dipengaruhi oleh permintaan dan harga global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular