Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan penguatan sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,67%, S&P 500 menguat 0,93%, dan Nasdaq Composite lompat 2,06%. Senada dengan di Asia, bursa saham New York bergairah karena pernyataan Powell di Jackson Hole serta damai dagang AS-Meksiko.
Namun pada perdagangan akhir pekan, Wall Street agak variatif. DJIA minus 0,09%, S&P 500 naik 0,01%, dan Nasdaq menguat 0,16%.
Akhir pekan lalu, Wall Street dibuat
wait and see oleh perundingan dagang AS-Kanada. Setelah AS dan Meksiko mencapai kesepahaman, maka dibutuhkan kepingan
puzzle terakhir untuk pembaruan kerangka NAFTA yaitu kesepakatan AS-Kanada.
Sikap investor yang cenderung menunggu dan hari-hati terlihat dari volume perdagangan di Wall Street akhir pekan lalu yang hanya 5,77 miliar saham. Lumayan jauh di bawah rata-rata perdagangan 20 hari terakhir yaitu 6,08 miliar saham.
"Saat volume perdagangan turun, ada sebuah kabar yang sedang menjadi sorotan. Kabar tersebut kemudian meningkatkan volatilitas di pasar," kata Don Steinbrugge, Managing Partner di Agcroft Partner yang berbasis di Virginia, dikutip dari Reuters.
Kebetulan hasil dari pembicaraan AS-Kanada baru keluar setelah pasar ditutup. Wall Street mungkin patut bersyukur karena bisa relatif selamat. Namun sepertinya tidak dengan bursa saham Asia hari ini.
Pada perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati dampak dari hasil perundingan AS-Kanada. Hasil dari perundingan itu adalah nol besar. Apa yang diperkirakan berjalan mudah, ternyata malah alot dan tidak bisa menghasilkan kesepakatan sama sekali.
"Bagi Kanada, fokus kami adalah mendapatkan perjanjian yang menguntungkan. Begitu itu tercapai, selesai," ujar Chrystia Freeland, Menteri Luar Negeri Kanada, seusai perundingan di Washington, akhir pekan lalu, dikutip dari Reuters.
Salah satu isu yang menjadi pemberat dalam dialog ini adalah kebijakan Kanada yang mengenakan bea masuk tinggi untuk produk olahan susu (
dairy product). Kanada melakukan itu demi melindungi peternak dalam negeri, tetapi AS menudingnya sebagai upaya proteksi dan perdagangan tidak adil.
Dengan tertundanya kesepakatan AS-Kanada, maka ada kemungkinan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk bagi mobil
made in Canada. Hal tersebut dikatakan Trump sebelum perundingan.
"Saya rasa kalau dengan Kanada yang paling gampang adalah mengenakan bea masuk bagi mobil-mobil mereka. Itu uang yang sangat besar," ujar Trump sebelum negosiasi dimulai, dikutip dari Reuters.
Kini, walau belum bicara soal pengenaan bea masuk untuk mobil, Trump mulai galak terhadap Kanada. Trump sepertinya akan mengajukan rencana pembaruan NAFTA dengan hanya menyertakan kesepakatan AS-Meksiko, sementara dengan Kanada berstatus ditunda (
pending).
"Tidak ada kebutuhan untuk mengikutsertakan Kanada dalam perjanjian NAFTA yang baru. Jika mereka tidak bisa menerapkan perdagangan yang adil kepada AS setelah puluhan tahun menindas, maka Kanada akan keluar," tegas Trump melalui cuitan di Twitter.
Namun, parlemen AS tidak akan begitu saja menyetujui rencana tersebut. Sebab, NAFTA berisi kesepakatan tiga negara bukan dua negara saja.
"Kalau bukan kesepakatan trilateral, maka Kongres tidak akan memberikan restu. Pemerintah juga bisa saja kehilangan dukungan dunia usaha," tegas Thomas Donohue, Chief Executive di US Chambers of Commerce, seperti dikutip dari Reuters.
Bukan Trump kalau tidak keras kepala dan
ngambek seperti anak kecil. Menghadapi kritik tersebut, Trump kembali melontarkan ancaman dengan membatalkan NAFTA jika tidak ada persetujuan Kongres.
"Kongres sebaiknya jangan ikut campur dengan negosiasi ini, atau saya akan membatalkan NAFTA. Itu justru akan lebih baik," cuit Trump di Twitter.
Panasnya hubungan AS-Kanada bisa menjadi risiko besar bagi pasar keuangan Asia hari ini, termasuk Indonesia. Sepertinya kedua tetangga ini masih akan memasang mode perang dagang, dan bisa sangat mempengaruhi
mood pelaku pasar.
Belum lagi pekan lalu beredar kabar bahwa AS akan segera memberlakukan bea masuk baru bagi impor asal China senilai total US$ 200 miliar. Rancangan kebijakan ini tengah menjalani proses dengar pendapat yang akan selesai pada 6 September mendatang. Setelah masa dengar pendapat selesai, Trump dikabarkan akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut.
Biasanya investor cenderung hati-hati dan bermain aman saat isu perang dagang mengemuka. Maklum, perang dagang adalah isu besar yang bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dunia. Perilaku ini ditunjukkan dengan melepas aset-aset berisiko, terutama di negara-negara berkembang.
Kalau ini terjadi, maka tentunya bukan kabar baik bagi IHSG dan rupiah. Kemungkinan keduanya akan melanjutkan koreksi.
Sementara dari dalam negeri, investor perlu mencermati rilis data inflasi periode Agustus 2018. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi sebesar 0,07% secara bulanan (
month-to-month/MtM). Kemudian inflasi secara tahunan (
year-on-year/YoY) diperkirakan 3,33%, sedangkan inflasi inti YoY ada di 2,89%.
Sementara Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi Agustus sebesar 0,06% MtM. Ini membuat inflasi secara YoY ada di 3,19%. Proyeksi BI lebih optimistis dibandingkan pelaku pasar.
Walau inflasi diperkirakan rendah rendah, BI melihat tidak ada pertanda perlambatan konsumsi atau daya beli. Hal ini terlihat dari fungsi intermediasi perbankan yang meningkat.
"
Message-nya, inflasi sangat rendah. Kondisi stabilitas sistem keuangan kita terjaga, intermediasi juga kuat. Dari berbagai indikator ekonomi makro kita, stabilitas ekonomi, pertumbuhan juga terjaga," tegas Perry Warjiyo, Gubernur BI.
Menurut catatan BI, pertumbuhan kredit perbankan pada Juni 2018 adalah 10,7% YoY. Lebih cepat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 10,3% YoY. Sampai akhir tahun ini, BI memperkirakan kredit perbankan tumbuh dalam kisaran 10-12%.
Bila realisasi inflasi sesuai dengan konsensus, maka laju inflasi 2018 akan melambat lumayan signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juli, inflasi MtM ada di 0,28%. Hal ini terjadi seiring siklus penurunan permintaan setelah mencapai puncaknya pada periode Ramadhan-Idul Fitri.
Meski begitu, secara tahunan malah terjadi akselerasi yang cukup tajam karena inflasi Juli secara YoY adalah 3,18%. Inflasi inti juga menunjukkan akselerasi, karena posisi Juli ada di 2,87% YoY. Hal ini bisa menjadi pertanda bahwa konsumsi masyarakat masih menggeliat.
Oleh karena itu, apabila realisasi inflasi (khususnya peningkatan inflasi inti) ternyata sesuai ekspektasi pasar, maka bisa menjadi berita baik bagi saham-saham sektor konsumsi dan perbankan yang sejatinya sangat erat dengan konsumsi masyarakat.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data indeks Nikkei PMI Indonesia periode Agustus 2018 (07:30 WIB).
- Rilis data indeks manufaktur PMI Caixin China periode Agustus 2018 (08:45 WIB).
- Rilis data inflasi Indonesia periode Agustus 2018 (11:00 WIB).
- Pidato Gubernur Bank Sentral Jepang Haruhiko Kuroda (12:40 WIB).
- Indeks manufaktur PMI Inggris periode Agustus 2018 (15:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
| Indikator | Tingkat |
| Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
| Inflasi (Juli 2018 YoY) | 3.18% |
| Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
| Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
| Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
| Cadangan devisa (Juli 2018) | US$ 118.3 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di
sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA