Don't Cry For Me Argentina & Cerita di Balik Krisisnya

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
01 September 2018 09:53
Don't Cry For Me Argentina & Cerita di Balik Krisisnya
Foto: Mata Uang Argentina Peso (REUTERS/Marcos Brindicci)
Don't cry for me, Argentina
The truth is, I never left you
All through my wild days, my mad existence
I kept my promise
Don't keep your distance
(*Kutipan Lirik Lagu Don't Cry For Me, Argentina)

Untuk beberapa orang di seluruh dunia, mengenal Argentina sebetulnya bukan hanya melalui Lionel Messi seperti (mungkin) era milenial saat ini.

Evita, film yang dirilis pada 1996 dan dibintangi Madonna sebagai Eva María Duarte de Perón menceritakan bagaimana negara tersebut bisa besar. Ia merupakan istri kedua dari Presiden Argentina Juan Perón dan First Lady of Argentina sejak 1946 sampai 1952.

Sosok Evita ini kerap memperjuangkan hak para pekerja dan penduduk miskin. Pastinya, memperjuangkan hak-hak para wanita untuk bisa selevel dengan Pria di negaranya. Sayang ia harus meninggal karena kanker di usia 33 tahun. Lagu Don't Cry For Me Argentina dan film Evita bisa menceritakan sosok wanita paling berkuasa di eranya.
Don't Cry For Me Argentina & Cerita di Balik KrisisnyaFoto: Eva Peron (Doc Keystone-Getty)

Namun apa yang terjadi saat ini, Argentina tengah sedih. Ketika seorang konservatif yang business-friendly terpilih sebagai presiden Argentina pada bulan Oktober 2015, harapan membumbung tinggi bahwa ia akan membuat perekonomian negara Amerika Selatan itu menjadi stabil.

Sang presiden, Mauricio Macri, berjanji akan menghidupkan kembali ekonomi Argentina dan mewujudkan "nol kemiskinan". Layakya cita-cita Evita Peron.

Namun kurang dari tiga tahun kemudian, tanpa diduga dia meminta pencairan bantuan pinjaman lebih awal dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF). Apa yang terjadi?

Nilai tukar peso, mata uang Argentina, sudah melemah lebih dari 40% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tahun ini dan inflasi merajalela. Biaya hidup sehari-hari menjadi lebih mahal bagi para warga Argentina karena harga kebanyakan makanan dan jasa masih cukup terkait dengan dolar AS.

Pemerintahan Macri belum bisa menurunkan inflasi, yang tertinggi di antara negara-negara G20 (Kelompok 20 ekonomi utama di dunia). Pemerintah juga gagal menjalankan reformasi ekonomi yang dijanjikan ke IMF. Sebagian dari reformasi yang dimaksud adalah pembatasan belanja dan utang negara.

Kombinasi dari peningkatan inflasi dan pemangkasan pengeluaran publik menunjukkan bahwa upah tidak sejalan dengan harga, sehingga sebagian besar masyarakat jatuh miskin.
Don't Cry For Me Argentina & Cerita di Balik KrisisnyaFoto: Infografis/Jatuh bangun pertumbuhan Ekonomi Argentina/Aristya Rahadian Krisabella


(NEXT)






Argentina dilanda masalah ekonomi selama bertahun-tahun. Namun, kenaikan harga komoditas selama beberapa dekade belakangan dapat membantu negara itu membayar utangnya ke IMF.

Negara asal Lionel Messi itu melunasi semua utangnya ke IMF pada tahun 2007.

Perekonomian Argentina mulai stabil di bawah kepemimpinan Presiden Néstor Kirchner, yang memimpin sejak tahun 2003 sampai 2007. Namun, kondisi ekonomi mulai bergejolak lagi di bawah kepemimpinan penerus sekaligus istrinya yaitu Cristina Fernández de Kirchner.

Pemerintahannya yang berkuasa sejak tahun 2007 sampai 2015 menaikkan belanja publik, menasionalisasi perusahaan-perusahaan, dan memberikan subsidi tinggi ke berbagai keperluan sehari-hari, mulai dari utilitas sampai penayangan sepak bola di televisi.

Yang terpenting, pemerintah juga mengendalikan nilai tukar mata uang yang menciptakan berbagai macam masalah praktis, seperti meningkatnya pasar gelap untuk dolar dan harga-harga yang sangat terganggu. Macri terpilih karena berjanji menghentikan segala gangguan dan mengembalikan ekonomi Argentina yang berorientasi pasar, di mana penawaran dan permintaan yang akan menentukan harga, bukannya negara.

Dalam hitungan jam setelah resmi menjabat, dia menghentikan kebijakan capital control dan memulai kampanye global untuk memperbaiki reputasi Argentina di kalangan investor-investor asing.

Dia juga berjanji menurunkan inflasi, yang tingginya sekitar 40% setiap tahun, dengan membatasi pengeluaran publik.

Lantas, mampukah upaya Macri bersama IMF membawa Argentina keluar dari krisis mata uang kali ini? Dalam rapat insidental, Bank Sentral Argentina (BCRA) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan dari 45% menjadi 60%. Tujuannya adalah untuk memancing masuknya arus modal sehingga mampu menahan pelemahan mata uang peso.

Namun upaya ini belum membuahkan hasil signifikan. Peso masih anjlok 11,99% di hadapan dolar AS. Sejak awal tahun ini, peso sudah melemah 45,3%, terdalam di antara mata uang dunia.

Pelaku pasar membaca ada kepanikan dalam pemerintahan Presiden Mauricio Macri. Kemarin, Macri memutuskan untuk mengundang Dana Moneter Internasional (IMF). Sepertinya fasilitas utang US$ 50 miliar akan segera ditarik, dan IMF masuk untuk mendikte kebijakan ekonomi Negeri Tango.

Namun masuknya IMF bukan tanpa hambatan. Sebagian besar rakyat Argentina masih trauma dengan kehadiran IMF, yang juga hadir kala Argentina mengalami krisis pada awal dekade 2000-an.

Resep IMF, yaitu pengetatan fiskal dengan pemangkasan berbagai subsidi, ditengarai menjadi penyebab orang miskin menjadi tambah miskin. Kehadiran IMF kali ini kemungkinan masih membawa resep yang sama.

Oleh karena itu, posisi politik Macri menjadi kurang menguntungkan. Orang-orang yang dulu mendukungnya kini berbalik mencaci.

"Saya tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, bayangkan ada banyak orang di luar sana yang penghasilannya lebih kecil dari saya. Kami susah, dan saya dulu memilih Macri," tegas Julio Varela, seorang pegawai bank di Buenos Aires, dikutip dari Reuters.

Dikhawatirkan situasi Argentina akan meledak seperti Turki beberapa hari lalu. Investor menjadi memilih bermain aman dan meninggalkan negara-negara berkembang. Jika ini terjadi, maka IHSG dan rupiah akan kekurangan pasokan modal sehingga pelemahan sangat mungkin terjadi.

Perkembangan di AS dan Argentina berpotensi membuat dolar AS semakin kuat karena menjadi buruan investor yang memilih bermain aman. Beban rupiah akan semakin berat dan depresiasi kemungkinan akan berlanjut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak lepas dari faktor eksternal. Secara khusus, Darmin menggarisbawahi kejatuhan nilai tukar mata uang Argentina, peso.

Ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (31/8/2018), Darmin menjelaskan pelemahan nilai tukar tidak hanya terjadi di Indonesia. Nilai mata uang negara-negara peer di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand juga melemah.

"Semua negara di kawasan ini mengalami itu dan memang ada unsur, ada surprise juga urusan Argentina itu," ujar Darmin.

Menurut dia, bantuan dari IMF senilai 50 miliar dolar AS seyogianya dapat menyelamatkan ekonomi Argentina. Namun ternyata aliran modal keluar (capital outflow) masih besar. Imbasnya, Bank Sentral Argentina pun memutuskan menaikkan suku bunga acuan hingga mencapai 60 persen.

"Jadi itu sudah tingkat yang luar biasa besarnya sehingga ya biasanya kalau lihat gitu pasar jitter melihatnya. Wah enggak beres ini kalau begini. Tapi ya pasti ya negara yang memang mempunyai masalah yang cukup mendalam soal neraca pembayaran dan sebagainya ya pasti akan ada saja caranya kemudian terkena," kata Darmin menjelaskan.

Mantan gubernur Bank Indonesia itu lantas mengomentari pengaruh krisis Argentina terhadap perekonomian Indonesia. Menurut dia, dampak ke Tanah Air tidak jauh berbeda dibandingkan permasalahan Turki beberapa waktu lalu. Sebab, hubungan dagang dengan Argentina dan negara-negara Amerika Latin masih lebih kecil dibandingkan Turki.

Terkait dampak ke pasar obligasi dan pasar uang, Darmin membenarkan secara umum sudah ada dampak. Setelah itu, pasar baru akan menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut.

"Coba saja negara-negara paling maju pun di dunia, apa saja, Inggris apa saja semua kena, bukan hanya negara berkembang," ujar Darmin.


(dru) Next Article Mirip Rupiah 1998, Bisakah Peso Bangkit dengan Presiden Baru?

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular