
Dolar AS Perkasa Lagi, Harga Batu Bara Kembali Terkoreksi
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
31 August 2018 11:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara ICE Newcastle kontrak acuan terkoreksi 0,13% ke US$117,50/metrik ton (MT), pada perdagangan hari Kamis (29/08/2018).
Harga si batu hitam kembali terperosok ke zona merah setelah sehari sebelumnya naik tipis 0,13%. Energi negatif bagi harga batu bara datang dari Amerika Serikat (AS) yang perkasa, serta kekhawatiran makin parahnya perang dagang AS-China.
Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, bergerak menguat sebesar 0,13% pada penutupan perdagangan hari Kamis (29/08/2018). Sebelumnya, indeks ini berada di zona merah selama 4 hari berturut-turut.
Pulihnya dolar AS didukung oleh potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed), atau dikenal Fed Fund Rate (FFR). Penyebabnya, indeks Personal Consumption Expenditure inti (Core PCE) AS di bulan Juli 2018 sudah tumbuh sebesar 2% secara tahunan (year-on-year/YoY). T
he Fed menargetkan Core PCE di kisaran 2% dalam jangka menengah. Kini target tersebut sudah tercapai, mencerminkan inflasi AS sudah berada di ujung batas aman. Artinya, kenaikan suku bunga acuan AS makin dibutuhkan, demi mengendalikan ekspektasi inflasi ke depan.
Seperti diketahui, komoditas batu bara yang diperdagangkan dengan mata uang dolar AS, akan relatif lebih mahal saat greenback terapresiasi. Hal ini tentunya memberikan sentimen bahwa permintaan batu bara pun akan tertekan.
BACA: Dolar AS Terkoreksi, Harga Batu Bara Mulai Rebound
Selain itu, sentimen negatif lainnya datang dari kekhawatiran investor terhadap perang dagang AS-China. Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengatakan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk kepada impor produk China senilai US$ 200 miliar pekan depan, segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.
Trump tengah menggodok rencana pengenaan bea masuk itu, dan kini sedang dalam fase dengar pendapat yang dimulai 20 Agustus sampai 6 September. Setelah dengar pendapat ini selesai, Trump dikabarkan langsung mengeksekusi bea masuk tersebut.
Gedung Putih menolak memberikan konfirmasi mengenai kebenaran kabar tersebut. Namun, pemberitaannya saja sudah cukup untuk membuat pelaku pasar khawatir. Jika perang dagang bertambah parah, sudah pasti pertumbuhan ekonomi global yang akan menjadi korban. Alhasil, pelaku pasar pun mencemaskan bahwa permintaan energi dunia bisa terkena dampak negatif.
Di sisi lain, kejatuhan harga batu bara terbatas oleh tingginya permintaan dari India, salah satu negara impotir si batu hitam terbesar. Meski harga batu bara terus naik sejak Mei 2018, impor batu bara Negeri Bollywood masih tercatat kuat di bulan Agustus 2018 ini. Berdasarkan data pelabuhan dan vessel-tracking yang dikompilasi Thomson Reuters, total impor batu bara India diproyeksikan mencapai 17,7 juta ton di bulan ini.
Jumlah itu bahkan lebih besar dari capaian bulan Juli 2018 sebesar 17,4 juta ton. Padahal, impor batu bara bulan lalu merupakan yang terbesar di tahun ini.
Selain itu, produksi batu bara domestik China yang mengalami penurunan sebesar 2% YoY ke angka 281,5 juta MT pada bulan lalu, juga masih menyokong harga si batu hitam. Penyebabnya adalah inspeksi lingkungan yang dilakukan oleh Pemerintah China pada sejumlah sentra produksi batu bara, yang dimulai pada bulan Juni 2018.
Akibatnya, impor batu bara Negeri Tirai Bambu pun masih tercatat cukup tinggi di bulan Juli 2018. Mengutip data Reuters, impor batu bara China bulan lalu naik 14% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 29,01 juta ton, tertinggi dalam 4,5 tahun.
(RHG/gus) Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Harga si batu hitam kembali terperosok ke zona merah setelah sehari sebelumnya naik tipis 0,13%. Energi negatif bagi harga batu bara datang dari Amerika Serikat (AS) yang perkasa, serta kekhawatiran makin parahnya perang dagang AS-China.
Pulihnya dolar AS didukung oleh potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed), atau dikenal Fed Fund Rate (FFR). Penyebabnya, indeks Personal Consumption Expenditure inti (Core PCE) AS di bulan Juli 2018 sudah tumbuh sebesar 2% secara tahunan (year-on-year/YoY). T
he Fed menargetkan Core PCE di kisaran 2% dalam jangka menengah. Kini target tersebut sudah tercapai, mencerminkan inflasi AS sudah berada di ujung batas aman. Artinya, kenaikan suku bunga acuan AS makin dibutuhkan, demi mengendalikan ekspektasi inflasi ke depan.
Seperti diketahui, komoditas batu bara yang diperdagangkan dengan mata uang dolar AS, akan relatif lebih mahal saat greenback terapresiasi. Hal ini tentunya memberikan sentimen bahwa permintaan batu bara pun akan tertekan.
BACA: Dolar AS Terkoreksi, Harga Batu Bara Mulai Rebound
Selain itu, sentimen negatif lainnya datang dari kekhawatiran investor terhadap perang dagang AS-China. Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengatakan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk kepada impor produk China senilai US$ 200 miliar pekan depan, segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.
Trump tengah menggodok rencana pengenaan bea masuk itu, dan kini sedang dalam fase dengar pendapat yang dimulai 20 Agustus sampai 6 September. Setelah dengar pendapat ini selesai, Trump dikabarkan langsung mengeksekusi bea masuk tersebut.
Gedung Putih menolak memberikan konfirmasi mengenai kebenaran kabar tersebut. Namun, pemberitaannya saja sudah cukup untuk membuat pelaku pasar khawatir. Jika perang dagang bertambah parah, sudah pasti pertumbuhan ekonomi global yang akan menjadi korban. Alhasil, pelaku pasar pun mencemaskan bahwa permintaan energi dunia bisa terkena dampak negatif.
Di sisi lain, kejatuhan harga batu bara terbatas oleh tingginya permintaan dari India, salah satu negara impotir si batu hitam terbesar. Meski harga batu bara terus naik sejak Mei 2018, impor batu bara Negeri Bollywood masih tercatat kuat di bulan Agustus 2018 ini. Berdasarkan data pelabuhan dan vessel-tracking yang dikompilasi Thomson Reuters, total impor batu bara India diproyeksikan mencapai 17,7 juta ton di bulan ini.
Jumlah itu bahkan lebih besar dari capaian bulan Juli 2018 sebesar 17,4 juta ton. Padahal, impor batu bara bulan lalu merupakan yang terbesar di tahun ini.
Selain itu, produksi batu bara domestik China yang mengalami penurunan sebesar 2% YoY ke angka 281,5 juta MT pada bulan lalu, juga masih menyokong harga si batu hitam. Penyebabnya adalah inspeksi lingkungan yang dilakukan oleh Pemerintah China pada sejumlah sentra produksi batu bara, yang dimulai pada bulan Juni 2018.
Akibatnya, impor batu bara Negeri Tirai Bambu pun masih tercatat cukup tinggi di bulan Juli 2018. Mengutip data Reuters, impor batu bara China bulan lalu naik 14% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 29,01 juta ton, tertinggi dalam 4,5 tahun.
(RHG/gus) Next Article China Serap Batu Bara Australia, Harga Berangsur Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular