
Internasional
Investor Kakap Senang Investasi di Perusahaan Rugi, Kenapa?
Bernhart Farras, CNBC Indonesia
29 August 2018 20:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Laba atau profit merupakan hal yang krusial untuk menjaga pertumbuhan sebuah perusahaan, tetapi beberapa perusahaan raksasa masih belum menghasilkan laba dan investor masih tetap tertarik berinvestasi di sana.
Perusahaan yang tercatat di bursa saham seperti pembuat mobil listrik Tesla dan perusahaan musik streaming Spotify mencatatkan rugi miliaran dolar AS. Uber, perusahaan berbagi tumpang (ride-hailing) akan melantai di bursa saham tahun depan tetapi mencatatkan rugi US$4,5 miliar (Rp 65,7 triliun) tahun lalu.
Bahkan, proporsi perusahaan yang melaporkan kerugian sebelum IPO di Amerika Serikat (AS) adalah yang tertinggi sejak ledakan dotcom (dotcom bubble) pada tahun 2000.
Tahun lalu, 76% perusahaan yang tercatat di bursa merupakan perusahaan yang masih rugi setahun sebelum melantai di bursa atau intial public offering (IPO), menurut data Jay Ritter, seorang profesor di University of Florida Warrington College of Business.
Angka ini lebih kecil dari tahun 2000 yang mencapai 81%, tetapi tetap saja lebih tinggi dari rata-rata dalam 4 dekade sebesar 38%.
Meski begitu, investor tetap saja berinvestasi pada perusahaan rugi tersebut. Pertumbuhan nan cepat yang terjadi pada sektor teknologi, adalah salah satu alasan para investor berani untuk menaruh uang pada perusahaan rugi. Banyak investor yang lebih memperhatikan pertumbuhan nilai pemegang saham dan terkesan lebih nyaman walaupun perusahaan belum menghasilkan margin besar.
Data Ritter menunjukkan, dari perusahaan yang IPO tahun lalu hanya 17% perusahaan teknologi yang menghasilkan profit. Dibandingkan dengan 43% dari perusahaan di sektor non-teknologi.
Munculnya raksasa teknologi seperti Amazon, memperlihatkan bahwa investor tertarik pada perusahaan dengan bisnis model baru. Walaupun hanya menciptakan sedikit profit, Amazon adalah perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar kedua di dunia. Para investor sangat menyukai saham Amazon, yang profit perusahaan dalam dua dekade ini tidak sebanding dengan perusahaan bervaluasi tinggi lainnya di AS.
Menurut data Thomson Reuters, profit Amazon dalam 20 tahun terakhir kurang dari US$8 miliar. Dibandingkan dengan Apple yang menciptakan profit sebesar US$327 miliar di periode yang sama, serta facebook berhasil meraup US$37 miliar di dekade sebelumnya.
Euforia pasar pada entitas yang disebut "perusahaan bertumbuh" membuat hedge fund miliuner David Einhorn mempertanyakan metode klasik yang sukses digunakan sebelumnya, apakah masih bisa diterapkan saat ini?
Dalam catatannya kepada investor pada tahun lalu, Einhorn membuat pertaruhan dengan berinvestasi pada Tesla dan Amazon. Ia menulis bahwa pasar "sangat menantang dalam menerapkan strategi value investing, sebab harga saham terus naik di atas nilai sahamnya."
"Bagaimana jika nilai ekuitas tidak berkaitan dengan profit hari ini atau masa depan. Justru nilai tersebut didorong oleh kemampuan perusahaan untuk menjadi distruktif, menciptakan perubahan sosial atau menjadi terdepan dalam teknologi yang menguntungkan. Walaupun hasilnya saat ini atau di masa depan menciptakan kerugian ekonomi?"
Tetapi ada juga beberapa tanda pembalikan arah dan perusahaan kemudian berbalih arah untuk mengejar laba.
Ofo, perusahaan sepeda online (bike sharing) yang didanai sebesar US$ 1 miliar, telah meninggalkan pasar Australia dan India untuk fokus pada mengejar laba.
Sedangkan, modal ventura (venture capital) seperti Indie.vc yang dibesut oleh O'Reilly AlphaTech Ventures, sangat fokus pada laba, saat memilih perusahaan. Indive.vc mengatakan mereka melihat perusahaan rintisan yang "kembali dari berdarah", menandakan bahwa perusahaan menghasilkan profit.
"Bisnis sebenarnya menghasilkan produk dan menjualnya untuk profit. Mereka fokus pada pelanggan, pemasukkan dan profitabilitas. Bukan pada investor, valuasi dan pendanaan selanjutnya," dikutip dari tulisan website. "Kami percaya bisnis sebenarnya membuat investasi yang sangat hebat."
(roy) Next Article GOTO Rugi Rp 20 Triliun Dalam 9 Bulan
Perusahaan yang tercatat di bursa saham seperti pembuat mobil listrik Tesla dan perusahaan musik streaming Spotify mencatatkan rugi miliaran dolar AS. Uber, perusahaan berbagi tumpang (ride-hailing) akan melantai di bursa saham tahun depan tetapi mencatatkan rugi US$4,5 miliar (Rp 65,7 triliun) tahun lalu.
Angka ini lebih kecil dari tahun 2000 yang mencapai 81%, tetapi tetap saja lebih tinggi dari rata-rata dalam 4 dekade sebesar 38%.
Meski begitu, investor tetap saja berinvestasi pada perusahaan rugi tersebut. Pertumbuhan nan cepat yang terjadi pada sektor teknologi, adalah salah satu alasan para investor berani untuk menaruh uang pada perusahaan rugi. Banyak investor yang lebih memperhatikan pertumbuhan nilai pemegang saham dan terkesan lebih nyaman walaupun perusahaan belum menghasilkan margin besar.
Data Ritter menunjukkan, dari perusahaan yang IPO tahun lalu hanya 17% perusahaan teknologi yang menghasilkan profit. Dibandingkan dengan 43% dari perusahaan di sektor non-teknologi.
Munculnya raksasa teknologi seperti Amazon, memperlihatkan bahwa investor tertarik pada perusahaan dengan bisnis model baru. Walaupun hanya menciptakan sedikit profit, Amazon adalah perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar kedua di dunia. Para investor sangat menyukai saham Amazon, yang profit perusahaan dalam dua dekade ini tidak sebanding dengan perusahaan bervaluasi tinggi lainnya di AS.
Menurut data Thomson Reuters, profit Amazon dalam 20 tahun terakhir kurang dari US$8 miliar. Dibandingkan dengan Apple yang menciptakan profit sebesar US$327 miliar di periode yang sama, serta facebook berhasil meraup US$37 miliar di dekade sebelumnya.
Euforia pasar pada entitas yang disebut "perusahaan bertumbuh" membuat hedge fund miliuner David Einhorn mempertanyakan metode klasik yang sukses digunakan sebelumnya, apakah masih bisa diterapkan saat ini?
Dalam catatannya kepada investor pada tahun lalu, Einhorn membuat pertaruhan dengan berinvestasi pada Tesla dan Amazon. Ia menulis bahwa pasar "sangat menantang dalam menerapkan strategi value investing, sebab harga saham terus naik di atas nilai sahamnya."
Tetapi ada juga beberapa tanda pembalikan arah dan perusahaan kemudian berbalih arah untuk mengejar laba.
Ofo, perusahaan sepeda online (bike sharing) yang didanai sebesar US$ 1 miliar, telah meninggalkan pasar Australia dan India untuk fokus pada mengejar laba.
Sedangkan, modal ventura (venture capital) seperti Indie.vc yang dibesut oleh O'Reilly AlphaTech Ventures, sangat fokus pada laba, saat memilih perusahaan. Indive.vc mengatakan mereka melihat perusahaan rintisan yang "kembali dari berdarah", menandakan bahwa perusahaan menghasilkan profit.
"Bisnis sebenarnya menghasilkan produk dan menjualnya untuk profit. Mereka fokus pada pelanggan, pemasukkan dan profitabilitas. Bukan pada investor, valuasi dan pendanaan selanjutnya," dikutip dari tulisan website. "Kami percaya bisnis sebenarnya membuat investasi yang sangat hebat."
(roy) Next Article GOTO Rugi Rp 20 Triliun Dalam 9 Bulan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular