Harga Minyak Stagnan Gara-gara Iran dan Perang Dagang

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 August 2018 11:05
Harga Minyak Stagnan Gara-gara Iran dan Perang Dagang
Foto: Ilustrasi/Minyak
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia melemah tipis pada perdagangan pagi ini. Sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran menjadi faktor yang menyebabkan kenaikan harga, tetapi tertahan oleh risiko perang dagang. 

Pada Senin (27/8/2018), harga minyak jenis brent turun 0,07% ke US$ 75,77/barel. Sementara light sweet turun 0,03% ke US$ 68,7/barel. Harga minyak boleh dibilang cenderung stagnan, netral saja.



Sejatinya harga minyak berpotensi naik karena kekhawatiran pasokan si emas hitam. Pelaku pasar masih mencemaskan ancaman sanksi AS terhadap Iran.
 

Saat ini, AS telah memberlakukan sanksi terhadap Iran yang mencakup pembelian dolar AS, logam mulia dan produk pertambangan lainnya, serta sektor otomotif. Pada November mendatang, AS berpotensi akan mengenakan sanksi terhadap sektor terpenting dalam perekonomian AS: minyak. 

AS sudah mengajak negara-negara lain untuk tidak lagi membeli minyak dari Negeri Persia mulai November mendatang. Bila ini terjadi, maka pasokan minyak dunia akan berkurang signifikan. 

Berdasarkan data Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC), ekspor minyak Iran tahun lalu mencapai 2,12 juta barel/hari. Iran berada di posisi keenam, di bawah Arab Saudi, Rusia, Irak, Kanada, dan Uni Emirat Arab. 

Bila Iran tidak bisa lagi mengekspor, maka pasokan minyak dunia akan berkurang. Berkurangnya pasokan tentu menyebabkan harga terkerek ke atas. 



Namun, potensi kenaikan harga ini terhambat oleh kemungkinan berkurangnya permintaan akibat perang dagang. Akhir pekan lalu, pembicaraan dagang AS-China di Washington berakhir garing. Tidak ada kesepakatan signifikan yang diraih dari pertemuan Wakil Menteri Keuangan AS David Malpass dan Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen. 

Akibatnya, investor kembali menyoroti saling balas bea masuk yang dilakukan AS dan China. Pekan lalu, AS mulai memberlakukan bea masuk 25% terhadap impor produk China senilai US$ 16 miliar. China pun demikian, membebani bea masuk 25% untuk impor produk-produk made in USA senilai US$ 16 milliar. 

Belum adanya kesepakatan antara Washington dan Beijing membuat aksi 'balas pantun' ini bisa terus terjadi. Perang dagang AS vs China pun masih terus berkobar dan dampaknya bisa dirasakan oleh seluruh negara. Sebab, China dan AS adalah dua perekonomian terbesar di bumi. 

Kajian Bank Dunia menyebutkan, perang dagang akan menggerus perekonomian AS, China, dan Uni Eropa sekitar 1%. Sementara negara-negara berkembang akan merasakan dampak yang sedikit lebih besar, yaitu penurunan sekitar 1,1%. 

Ketika pertumbuhan ekonomi global melambat, maka permintaan energi pun berkurang. Persepsi ini kemudian menyebabkan harga minyak dunia terseret ke zona merah. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular