Apakah Benar Indonesia di Ujung Jurang Jebakan Utang?
Lidya Julita S, CNBC Indonesia
27 August 2018 09:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Porsi pembayaran utang pemerintah di tahun depan akan naik tipis dari tahun ini. Dikutip dari RAPBN 2019, bunga utang dalam negeri naik 10,1% dari Rp 232 triliun menjadi Rp 255 triliun. Sementara bunga utang luar negeri naik 14,8% dari Rp 17,3 triliun menjadi Rp 19,9 triliun.
Dengan demikian, maka totalĀ bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah jika menggunakan tingkat bunga SPN 3 bulan 5,3% dan rata-rata nilai tukar Rp 14.400/US$, sebesar Rp 275,4 triliun.
Dengan pembayaran yang semakin tinggi ini maka APBN selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak sehat. Pengambilan utang yang selalu lebih besar dari pada pembayaran bunga utang sejak 2015 lalu dinilai sangat tidak baik sehingga Indonesia bisa masuk dalam jebakan utang.
Lalu benarkah Indonesia nyaris masuk dalam jebakan utang?
Project Consultant ADB Institute Eric Sugandi mengatakan, Indonesia masih jauh dari jebakan utang selama masih bisa membayar bunga utang meski mengalami kenaikan. Oleh karena itu, untuk dimasa mendatang pemerintah harus bisa lebih berhati-hati dalam berhutang.
"Belum masuk jebakan hutang karena pemerintah masih bisa bayar dan rollover utang, tapi ke depannya mesti mulai rem utang baru. Dalam beberapa tahun terakhir akselerasi penambahan utangnya relatif cepat," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Senin (27/8/2018).
Eric menjelaskan, jika dilihat dari komposisi utang pemerintah masih lebih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN). Oleh karenanya, jika share kepemilikan asing di SBN masih signifikan maka akan memberikan tekanan pada nilai tukar tupiah.
"Risiko tekanan terhadap rupiah dari outflows investor asing masih ada. Idealnya share SBN terhadap total utang baru harusnya bisa turun dan share pinjaman multilateral dan bilateral terhadap total utang bisa naik," kata dia.
Selain itu, dia melihat porsi kepemilikan asing terhadal total SBN harusnya secara bertahap bisa diturunkan. Tapi bukan dengan dipaksa lewat regulasi, tapi dengan mendorong investor domestik untuk membeli SBN.
Sementara itu, walau rasio utang terhadap PDB nominal masih aman, tapi pertumbuhan utang pemerintah mengalami akselerasi dalam bebera tahun terakhir sehingga harus waspada dan mengurangi pinjaman.
"Mesti tetap waspada karena rasio seperti ini menggunakan data PDB dan utang yang sudah terjadi, sehingga sebenarnya tidak bisa sepenuhnya digunakan untuk mengukur kondisi ke depan. Jika suatu perekonomian negara mengalami krisis, rasio ini bisa berubah drastis naik."
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa total utang selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak periode 2014 - 2018, dari Rp 2.608,8 triliun menjadi Rp 4.227,8 triliun masih dalam aman.
Ia menilai, sngka utang meningkat namun rasio utang pemerintah terhadap PDB masih tercatat 29,74%. Dia menyebut angka itu masih aman.
"Utang dijaga supaya sustainable," tutur Sri Mulyani pekan lalu di JCC.
(dru) Next Article RAPBN Tahun Politik, Realistis atau Populis?
Dengan demikian, maka totalĀ bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah jika menggunakan tingkat bunga SPN 3 bulan 5,3% dan rata-rata nilai tukar Rp 14.400/US$, sebesar Rp 275,4 triliun.
Dengan pembayaran yang semakin tinggi ini maka APBN selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak sehat. Pengambilan utang yang selalu lebih besar dari pada pembayaran bunga utang sejak 2015 lalu dinilai sangat tidak baik sehingga Indonesia bisa masuk dalam jebakan utang.
Project Consultant ADB Institute Eric Sugandi mengatakan, Indonesia masih jauh dari jebakan utang selama masih bisa membayar bunga utang meski mengalami kenaikan. Oleh karena itu, untuk dimasa mendatang pemerintah harus bisa lebih berhati-hati dalam berhutang.
"Belum masuk jebakan hutang karena pemerintah masih bisa bayar dan rollover utang, tapi ke depannya mesti mulai rem utang baru. Dalam beberapa tahun terakhir akselerasi penambahan utangnya relatif cepat," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Senin (27/8/2018).
"Risiko tekanan terhadap rupiah dari outflows investor asing masih ada. Idealnya share SBN terhadap total utang baru harusnya bisa turun dan share pinjaman multilateral dan bilateral terhadap total utang bisa naik," kata dia.
Selain itu, dia melihat porsi kepemilikan asing terhadal total SBN harusnya secara bertahap bisa diturunkan. Tapi bukan dengan dipaksa lewat regulasi, tapi dengan mendorong investor domestik untuk membeli SBN.
Sementara itu, walau rasio utang terhadap PDB nominal masih aman, tapi pertumbuhan utang pemerintah mengalami akselerasi dalam bebera tahun terakhir sehingga harus waspada dan mengurangi pinjaman.
"Mesti tetap waspada karena rasio seperti ini menggunakan data PDB dan utang yang sudah terjadi, sehingga sebenarnya tidak bisa sepenuhnya digunakan untuk mengukur kondisi ke depan. Jika suatu perekonomian negara mengalami krisis, rasio ini bisa berubah drastis naik."
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa total utang selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak periode 2014 - 2018, dari Rp 2.608,8 triliun menjadi Rp 4.227,8 triliun masih dalam aman.
Ia menilai, sngka utang meningkat namun rasio utang pemerintah terhadap PDB masih tercatat 29,74%. Dia menyebut angka itu masih aman.
"Utang dijaga supaya sustainable," tutur Sri Mulyani pekan lalu di JCC.
(dru) Next Article RAPBN Tahun Politik, Realistis atau Populis?
Most Popular